(Arrahmah.com) – “Jika gagal jadi Gubernur, Ahok bisa jadi ketua KPK.” Ini kata Jubir Presiden Johan Budi. Tidak jelas benar-tidaknya Johan mengucapkan kalimat tersebut. Namun yang pasti, sejak 21 Februari silam, di media online dan media sosial beredar artikel dia yang memuji-muji setinggi langit si Ahok tersebut. Yang pasti lagi, hingga kini tidak ada secuil pun bantahan dari yang bersangkutan dan atau dari istana.
Jika benar Johan Budi berkata seperti itu, benar-benar di luar nalar waras. Membaca artikel Johan yang memuji-muji Ahok buat saya benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia bisa begitu naif, hingga mampu antara lain menulis;
“Sempat terbesit tanya didalam hati, apakah dengan lengsernya Ahok bangsa ini jadi lebih baik? Apakah dengan tidak menjabatnya Ahok sebagai Gubernur DKI jadi jaminan aman dan damainya negeri ini? Siapakah yang paling tenang dan paling damai jika Ahok lengser? Jawabnya tentu para koruptor, apakah warga DKI jadi lebih baik? Tidak, apakah para koruptor didalam Pemprov dan diluar Pemprov akan benar-benar aman, nyaman dan damai? Belum tentu.”
Bayangkan, betapa mengerikannya kalimat-kalimat tersebut jika benar merupakan pernyataan Johan Budi yang menjadi Jubir Istana. Lebih miris lagi menyimak kalimat berikutnya:
“Seperti kita tahu bahwa Ahok adalah pribadi yang jujur, bersih, adil dan transparan, oleh sebab itu saya sangat yakin bahwa orang semacam Ahok ini tidak akan pernah mungkin jadi pengangguran di Negeri ini, dia bisa jadi apa saja, dia bisa menjabat apa saja di negeri ini salah satunya Ketua KPK.”
Sebagai mantan Jubir KPK, semestinya dia tahu persis, bahwa lembaga superbody seperti KPK harus dipimpin sosok yang unsur malaikatnya jauh lebih dominan ketimbang unsur iblis. Pimpinan, apalagi ketua, KPK haruslah orang yang teruji intergitasnya, bersih dari prilaku korup, serta punya kapasitas dan kapabelitas mumpuni.
Dengan membuat pernyataan-pernyataan seperti itu, masihkah Johan Budi punya dan menggunakan hati nuraninya? Terlampau banyak kasus hukum yang melibatkan Ahok yang begitu benderang. Berikut ini hanya sebagian saja dari serenceng kasus korupsi yang melibatkannya. Taman BMW, pembelian bus Trans Jakarta, RS Sumber Waras, lahan Cengkareng, korupsi yang dinyatakan BPK (86 proyek) pada APBD 2013 senilai Rp1,54 triliun,korupsi temuan BPK pada 70 penyimpangan laporan keuangan DKI senilai Rp2,16 triliun, dan lainnya dan lainnya.
Itu baru skandal-skandal di Jakarta. Sebelumnya, lelaki bermulut jamban ini juga meninggalkan seabrek kasus hukum di Kabupaten Belitung Timur. Di antaranya, penebang liar hutan lindung Gunung Nayo, korupsi Rp22 miliar pembangunan dermaga Manggar, dan korupsi pembangunan Puskesmas di Belitung Timur. Juga ada kasus anggaran ganda pengadaan/revitalisasi Muara Baltim karena proyek itu dikerjakan PT Timah, korupsi pembuatan jalan tembus menuju resort miliknya, korupsi pengadaan/monopoli obat-obatan milik ibunya sendiri, dan KKN proyek Rp 1 miliar di Belitung Timur.
Rentetan skandal tadi baru terkait masalah hukum. Belum lagi kalau kita bicara soal moral dan empati yang semestinya melekat pada seorang pejabat publik. Fakta menunjukkan Ahok berprilakukasar, sombong, suka memaki, kata-katanya kotor, dan berkali-kali mengkhianati pihak-pihak yang amat berjasa kepadanya.
Bagaimana mungkin Johan Budi bisa mengabaikan fakta bahwa si gubernur begitu bengis menggusur dan mencerabut penghidupan rakyatnya dengan tanpa serupiah pun uang ganti rugi? Bagaimana mungkin dia bisa mengabaikan makian Ahok yang menyebut maling kepada seorang ibu hanya karena bertanya tentang Karta Jakarta Pintar (KJP) anaknya? Bagaimana mungkin dia bisa menafikan ucapan Ahok, bahwa ibu-ibu yang menangis karena rumahnya digusur sedang berakting?
Saya tidak ingin berpanjang-panjang dengan berbagai pernyataan Johan Budi soal Ahok dalam artikel tersebut. Sungguh, nalar saya tidak sanggup menerima kenyataan bagaimana mungkin seorang mantan petinggi KPK sanggup membuat pernyataan yang mengingkari nurani, sekaligus menyakiti hati publik.
Negara bela Ahok?
Yang membuat miris, justru pernyataan-pernyataan Jubir Presiden mengkonfirmasi kebenaran bahwa negara telah membela dan melindungi Ahok, si gubernur beringas, penista agama, pemecah persatuan bangsa, dan pelaku berbagai skandal korupsi. Begitu hebatkah Ahok, sehingga seluruh aparatur negara yang gaji dan fasilitasnya dibiayai dengan uang rakyat harus mati-matian menyelamatkan dia?
Masih ingat, bagaimana Polisi begitu sibuk menggembosi peserta aksi-aksi bela Islam dari luar Jakarta yang berjilid-jilid itu? Masih ingat bagaimana polisi begitu gigih mengkriminalisasi para ulama karena mereka dianggap menjadi pimpinan aksi-aksi bela Islam? Masih ingat bagaimana polisi begitu tekun mengungkit kasus-kasus lama yang dianggap bisa melumpuhkan para pesaing Ahok dalam Pilkada DKI?
Masih ingat juga bagaimana Mendagri Cahyo Kumolo siap pasang badan dan siap dipecat hanya karena tidak memberhentikan Ahok sebagai gubernur karena statusnya terdakwa? Bahkan, masih ingat bagaimana Cahyo dalam Raker dengan Komisi II Februari silam, yang mengatakan Presiden Jokowi akan merevisi UU No. 23/2014 tentang Pemda agar sinkron? Sekadar informasi, pasal 83 UU tersebut jelas-jelas mengharuskan kepala daerah yang menjadi terdakwa dengan ancaman hukuman lima tahun harus diberhentikan.
Simak baik-baik kata-kata Cahyo, bahwa Presiden Jokowi akan merevisi UU No. 23/2014 tentang Pemda agar sinkron? Sinkron bagimana? Singkron dengan apa? Supaya bisa menyelamatkan Ahok agar tidak perlu diberhentikan sebagai gubernur? Supaya Ahok bisa ikut putaran kedua dan memenanginya dengan penuh kecurangan?
Dengan rentetan fakta ini, tidak keliru jika tokoh Malari Hariman Siregar menyebut Pilkada DKI 2017 adalah Pilkada paling memalukan dalam sejarah Indonesia. Menurut dia, negara menjadi tim sukses Ahok!
Dalam surat terbukanya, Hariman antara lain mengatakan; “Tulisan ini saya buat dengan sepenuh kekecewaan. Tidak sampai nalar saya menyikapi manuver-manuver politik dalam Pilkada DKI Jakarta, yang kian lama kian kental nuansa main kayunya. Kekuasaan ambrol, bukan lagi untuk memperkuat yang benar, melainkan mati-matian membela jagoannya. Demi kemenangan jagoan versi istana, bahkan melacurkan kebenaran, menginjak moralitas politik pun dilakukan. Sungguh tragis.”
Putaran pertama Pilkada Februari silam dijejali dengan amat banyak kecurangan. Bisa dipastikan, pada putaran kedua nanti, kecurangan akan semakin sistematis, terstruktur, massif, dan telanjang. Karena hanya dengan curang saja Ahok bisa menang.
Selanjutnya, apa yang harus rakyat lakukan? Diam saja? Tentu tidak! Saya sepakat dengan Hariman yang menutup surat terbukanya dengan menulis, “Rakyat harus bergerak untuk menghukum pemimpin yang zalim, sekalipun, pemimpin yang zalim itu nyata-nyata didukung oleh penguasa di level puncak. Jangan takut, jangan abai..!” (*)
Jakarta, 15 Maret 2017
Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta
(*/arrahmah.com)