(Arrahmah.com) – Manusia tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri. Banyak barang yang dibutuhkan dimiliki oleh orang lain. Misalnya, seorang petani yang memiliki bahan pangan juga membutuhkan pakaian, sehingga dia harus menukar sebagian hasil panennya dengan uang dan membeli pakaian dengan uang tersebut; begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, dia harus berinteraksi dengan orang lain untuk menutupi kebutuhannya.
Interaksi seseorang dengan pihak lainnya untuk bertukar barang/jasa diatur oleh Islam dalam fikih muamalat. Islam menjelaskan syarat-syarat sahnya sebuah muamalat yang bila tidak terpenuhi maka perpindahan barang dan alat tukar (uang) menjadi haram.
Di antara syarat sahnya jual-beli yaitu harus dilakukan oleh kedua belah pihak dengan saling ridha (suka sama suka), tanpa ada unsur keterpaksaan.
Seorang yang terpaksa yaitu orang yang berada di bawah ancaman fisik pihak lain yang mampu melakukan ancaman tersebut, bila pihak yang dipaksa tidak mau melakukan jual-beli.
Seperti jual-beli yang terjadi di sebagian tempat di beberapa kota di Indonesia; pada saat calon pembeli menawar harga sebuah barang maka dia dipaksa dengan berbagai cara untuk membeli, terkadang dengan ancaman dan gertakan bernada tinggi.
Hukum jual-beli ini tidak sah dan status uang serta barang adalah haram. Berdasarkan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’: 29).
Disalin dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm. 23-24, karya Dr. Erwandi Tarmizi, M.A., Penerbit Berkat Mulia Insani.
Dipublikasikan ulang oleh Muslimah.Or.Id, dengan pengeditan bahasa.
(*/Arrahmah.com)