JAKARTA (Arrahmah.com) – Dari hari ke hari ke hari liberalisme, kapitalisme, dan keberpihakan pada asing dan aseng semakin menjadi di negeri ini. Terkhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui kepemilikan properti oleh warga negara asing (WNA).
Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki menyebut, dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, pengurus Real Estate Indonesia (REI) memang mengusulkan agar pemerintah membuka sektor properti untuk kepemilikan asing. “Presiden setuju,” ujarnya di Kantor Presiden kemarin seperti dilansir JPNN, Rabu (24/6/2015).
Teten memastikan, persetujuan tersebut bakal disertai syarat agar para developer atau pengembang perumahan tetap mengedepankan akses pembelian properti untuk warga negara Indonesia (WNI). “Jadi prioritasnya harus tetap WNI,” katanya.
Menurut Teten, langkah pemerintah membuka akses kepemilikan properti untuk WNA dilakukan sebagai salah satu strategi menghadapi persaingan di tingkat regional. Sebab, negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia juga sudah membuka akses properti untuk warga asing. “Supaya industri properti kita kompetitif,” ucapnya.
REI sebenarnya sudah lama mengusulkan pembukaan akses kepemilikan properti untuk warga negara asing. Bahkan, dalam Rapat Kerja Nasional REI 2012 lalu, Presiden SBY sempat memberi sinyal persetujuan, meskipun mengakui jika masih ada suara serta antiasing dari publik, sehingga perlu penjelasan gamblang terkait kebijakan tersebut. Namun, hingga SBY lengser, kebijakan itu tak juga keluar.
Saat ini, kepemilikan properti oleh WNA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996. Beleid tersebut mengatur bahwa warga asing hanya berhak memiliki hak pakai properti di Indonesia selama 25 tahun yang bisa diperpanjang 20 tahun dan ditambah lagi selama 25 tahun.
Ketua Umum REI Eddy Hussy mengakui, pihaknya memang mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar merevisi aturan terkait kepemilikan properti oleh warga negara asing. “Sebab, pasar properti untuk WNA ini besar sekali,” ujarnya.
Menurut Eddy, banyaknya ekspatriat atau WNA yang bekerja atau memiliki usaha di Indonesia merupakan pasar prospektif. Sebab, sebagian besar dari mereka berminat untuk membeli dan memiliki properti di Indonesia. “Apalagi, jika dibanding harga properti di Singapura atau Malaysia, kita masih jauh lebih rendah,” katanya. (azm/arrahmah.com)