Edy Mulyadi*
(Arrahmah.com) – Dunia sudah mengenal berbagai macam isme. Ada kapitalisme, sosialisme, liberalisme, juga komunisme. Tapi, tahukah Anda, kalau di Indonesia ada tambahan isme baru. Yang saya maksud adalah hebohisme. Ya, hebohisme.
Hebohisme di Indonesia memang tidak eksis setiap waktu. Tidak sepanjang tahun. Ia cuma musiman, sebagaimana juga halnya dengan musim durian, musim rambutan, musim mangga, dan seterusnya. Hebohisme muncul saat-saat tertentu, terutama menjelang pesta demokrasi. Di Indonesia demokrasi telah terjerembab menjadi demokrasi prosedural, transaksional, dan akhirnya demokrasi kriminal.
Saat-saat pesta demokrasi itulah, hebohisme menemukan lahan yang amat subur. Ia bersemi dan bertumbuh-kembang dengan dahsyat. Lihat saja, bagaimana orang-orang sibuk mematut diri menjual tampang dan kiprah. Inilah saat mereka berheboh ria merebut atensi publik dengan harapan akan memperoleh ganjaran suara.
Nah, hebohisme ini kian menemukan jati dirinya dengan bantuan media. Buat mereka yang punya duit seabrek-abrek, ditambah jurus promosi yang yahud, jadilah mereka dikenal publik secara luas. Maka jangan heran, kalau orang yang selama ini dikenal sebagai penjahat, lewat media tiba-tiba menjadi bak pahlawan. Para koruptor pun ujug-ujug menjadi sangat santun dan perhatian kepada rakyat di pelosok-pelosok negeri. Hmm…
Raja hebohisme
Kendati begitu, tidak semua orang bisa sukses memanfaatkan musim hebohisme. Indonesia mencatat beberapa saja yang terbilang berjaya. Pada menjelang Pilpres, misalnya, ada nama Dahlan Iskan yang sibuk membanting kursi-kursi gardu tol. Publik pun terhentak dengan aksi heboh Dahlan. Lalu, ditambah naik KRL dan ojek ke Istana, makan soto dan melayani sendiri mangkuknya di terminal. Semuanya benar-benar heboh. Rakyat pun tersihir. Inilah Dahlan Iskan, calon pemimpin yang merakyat. Pemimpin Indonesia masa depan. Heboh!
Pada saat yang hampir sama, ada Risma, Walikota Surabaya yang juga membuat heboh dengan tangisannya di televisi. Lalu, pasca Pilpres, publik disuguhi kehebohan Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang bertatto dan merokok di Istana usai pengumuman Kabinet Kerja. Juga ada atraksi heboh Menakertrans Muhammad Hanif Dakhiri yang loncat pagar kantor perusahaan PJTKI.
Tapi di atas semua itu, ada raja heboh yang sukses luar biasa. Siapa lagi kalau bukan Joko Widodo. Lelaki kerempeng dari Solo ini benar-benar membuat Indonesia heboh. Tampangnya yang ndeso, ternyata bisa jadi modal kuat untuk mendulang simpati dan, tentu saja, suara. Buktinya, walau lari dari tugas sebagai Walikota Solo yang belum tuntas, dia berhasil mendepak petahana Fauzi Bowo alias Foke dari kursa DKI-1.
Penyakit desertir Jokowi kembali kumat, ketika dia bertarung memperebutkan kursi RI-1. Hasilnya, lewat media dan hebohisme, dia sukses menyingkirkan Prabowo dari pertarungan. Media berhasil menyihir rakyat dengan sepak terjang Jokowi yang heboh. Blusukan yang menyemai kesan kesederhanaan dan merakyat benar-benar jadi senjata ampuh. Ditambah dengan celetukan-celetukannya yang ndeso, jauh dari bobot intelek, dia benar-benar sanggup merengkuh sukses dengan bekal hebohisme.
Hebohisme = pembohongan publik
Hebohisme menjadi ampuh dengan bantuan media. Di tangan media, dengan segala pertimbangan dan kepentingan pemiliknya, yang biasa-biasa saja bisa jadi luar biasa. Penjahat jadi pahlawan. Koruptor jadi tokoh yang dihormati. Dan seterusnya dan seterusnya.
Sejatinya, hebohisme, pada faktanya, adalah pembohongan sekaligus pembodohan publik. Rakyat disodori segala hal yang heboh padahal kosong-melompong. Hebohisme nyaris senantiasa sepi, untuk menghindari kata nihil, dari substansi. Kerja media yang didahului dengan agenda dan media setting, benar-benar sukses menyihir atensi dan nalar publik.
Maaf, kalau saya sepertinya rada kasar dengan mengatakan hebohisme sepi dari substansi. Tapi, setelah berjalan sekian bulan, Jokowi dengan Kabinet Kerja-nya memang nyaris tanpa prestasi substantif, selain hebohisme tadi. Yang ada justru dari ironi ke ironi. Yang lebih tragis lagi, yang terjadi adalah dari paradok ke paradok.
Kesan merakyat dan janji-janji berpihak kepada wong cilik sepanjang Pilpres, ternyata semuanya omdo, alias omong doang. Kenaikan harga BBM jenis premium, penghapusan beras untuk rakyat miskin (raskin), rencana menaikkan harga gas LPG 3kg, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi hingga 400% adalah bukti rencengan ironi dan paradok tadi.
Janji kabinet ramping, kabinet tidak transaksional, Jaksa Agung nonpartai, menjalankan jargon Trisakti, melindungi pengusaha UMKM dan pengusaha nasional, dan lainnya ternyata gombal belaka. Hanya dalam tempo kurang dari dua bulan berkuasa, semuanya disapu bersih dengan berbagai kebijakan yang justru sebaliknya. Kebijakan yang ironis dan paradok.
Tak pelak lagi, media punya peran amat penting dalam menciptakan dan menggoreng hebohisme. Tidak berlebihan jika dikatakan media, khususnya media mainstream, adalah pihak yang paling berdosa atas tertipunya rakyat akibat hebohisme. Masih teringat dengan jelas, bagaimana media mendewa-dewakan Capres Jokowi menjelang Pilpres.
Dengan berlagak seperti Tuhan media dengan jumawa ‘menakdirkan’ kalau Jokowi jadi presiden, maka ekonomi yang morat-marit akan rapi jali. Foreign direct investment (FDI) akan deras menggerojog Indonesia. Rupiah akan menguat hingga menembus Rp10.000/US$, dan lainnya.
Silakan klik lagi sejumlah link media mainstream ini: http://m.tribunnews.com/bisnis/2014/03/14/jokowi-jadi-capres-rupiah-akan-tajam-menguat-rp-10500
http://m.tempo.co/read/news/2014/02/24/087556888/Jokowi-Jadi-Presiden-Rupiah-Bisa-Tembus-10-Ribu. http://microsite.metrotvnews.com/indonesiamemilih/read/2014/02/11/796/214974/Investor-Yakin-Rupiah-Menguat-Andai-Jokowi-Presiden-
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/01/27/1912067/Ekonom.Jokowi.Jadi.Presiden.Rupiah.Bakal.Menguat.Tajam
Semuanya berita itu adalah bentuk hebohisme yang keterlaluan. Kini, rupiah semakin terpuruk. Boro-boro menembus Rp10.000, angkanya justru terus melunglai di kisaran Rp13.000. Level itu pun bisa dicapai setelah Bank Indonesia (BI) bersusah payah berusaha menahan dengan terus menguras devisa rata-rata Rp2,5 triliun/hari. Bahkan, konon, kemarin (Rabu, 17/12) BI mengguyur pasar hingga Rp5 triliun agar rupiah tidak kian terbenam. Waduh…!
Dengan berbagai fakta ini, sudah saatnya bila rakyat Indonesia ke depan tidak gampang termakan rayuan hebohisme. Rakyat harus kian cerdas untuk menilai substansi daripada sekadar kehebohan kosong. Kepada media, berhentilah bermain dengan hebohisme. Tolong sayangi dan kasihani rakyat negeri ini. Jangan korbankan masa depan dan harapan rakyat demi kepentingan sesaat kalian, para pemilik media.
Persoalan yang kita hadapi amat sangat berat dan rumit. Semua itu tidak bisa diselesaikan dengan bermodal hebohisme belaka. Ia perlu kapasitas, kapabelitas, dan integritas yang nihil dari kepentingan pribadi dan kelompok. Jika negeri ini tetap tersihir dengan hebohisme, maka bayang-bayang menjadi Next Philippine cuma soal waktu belaka.
Filipina tidak pernah menjadi negara hebat dan disegani, karena rakyatnya tersihir dengan hebohisme. Para pemimpinnya lahir dari hebohisme media. Ada bintang film, bintang iklan, dan lainnya yang serba heboh tanpa kemampuan substantif.
Jakarta, 18 Desember 2014
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
(*/arrahmah.com)