Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc.
(Arrahmah.com) – Andalus sangat beruntung memiliki perpaduan antara ulama sekaliber dan sesholeh Mundzir bin Said Al Baluthi dan pemimpin sehebat dan sesholeh Abdurahman An Nashir. Duet yang berlangsung selama 11 tahun ini sebenarnya merupakan rangkaian dari duet Abdurahman An Nashir dengan ulama-ulama hebat sebelumnya. Hasilnya: puncak kebesaran dan kemakmuran Andalus.
Menjelang akhir pemerintahan An Nashir (350 H), terjadi kekeringan. Hujan tak kunjung datang. Abdurahman An Nashir menulis surat perintah untuk Hakim Mundzir bin Said Al Baluthi agar memimpin shalat Istisqo’ (minta hujan).
Pada hari pelaksanaan, masyarakat sudah berkumpul. Tapi, Khalifah Abdurrahman An Nashir belum kunjung datang. Hakim Mundzir mengirimkan utusan agar memberitahu Khalifah Abdurrahman untuk segera ke lapangan.
Utusan yang datang ke Hakim Mundzir ditanya: Seperti apa keadaan Khalifah saat kau tinggalkan?
Utusan: Tidak pernah aku melihatnya lebih khusyu’ kepada Allah melebihi hari ini. Ia menyendiri. Memakai pakaian kasar. Menangis mengakui dosanya. Dia berdoa: Ini ubun-ubunku di tangan Mu. Apakah Engkau adzab rakyat karena aku. Engkau Hakim paling adil. Tak ada yang terlewatkan dari Mu tentang diriku.
Mendengarkan jawaban itu, Hakim Mundzir dengan yakin memberi jaminan:
“Demi Allah, kalian akan dihujani. Nak, bawa payung. Allah telah mengizinkan untuk turunnya hujan.”
Kita pasti heran. Sangat berani Hakim Mundzir memberi jaminan pasti hujan. Padahal sampai zaman teknologi canggih hari ini saja, tak ada yang berani memberi jaminan akan turun hujan. Karena hujan adalah murni di dalam genggaman Allah. Dia turunkan sesuai dengan kehendak Nya.
Mengapa Hakim Mundzir berani ‘memastikan’?
Ya, karena ada sunnatullah fil kaun (aturan Allah di semesta ini). Hakim Mundzir ulama besar yang sangat memahami ilmu ini. Inilah ilmu di balik keyakinannya, Hakim Mundzir berkata,
إِذَا خَشَعَ جَبَّارُ الْأَرْضِ رَحِمَ جَبَّارُ السَّمَاءِ
“Jika penguasa bumi khusyu’, penguasa langit merahmati.”
Khutbah dimulai. Dan inilah penuturan Ibnu Katsir di Al Bidayah Wan Nihayah,
“Di awal khutbahnya, ia membaca ayat:
(سَلامٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءاً بِجَهالَةٍ ثُمَّ تابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ)
(“Salamun ‘alaikum (selamat sejahtera untuk kamu).” Tuhan-mu telah Menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barangsiapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.(Al An’am: 54)
Ia terus mengulang-ulangi ayat tersebut. Masyarakat mulai menangis dengan penuh taubat dan kembali kepada Allah. Keadaan seperti itu terus berlangsung hingga mereka dihujani dan pulang berjalan di genangan air.”
(Lihat kisah ini di: Tarikhul Islam oleh Adz Dzahabi, Al Kamil fit Tarikh oleh Ibnul Atsir, Al Bidayah Wan Nihayah oleh Ibnu Katsir)
Inilah perpaduan antara ulama rabbani, ahli ilmu yang ikhlas dengan pemimpin besar yang sholeh. Ulamanya menjaga kesholehan diri dan masyarakatnya dengan ilmu dan iman. Pemimpinnya menangis melihat keadaan menyedihkan yang menimpa masyarakatnya.
Rasakan ulang getar iman dari rangkaian doa sang pemimpin tertinggi:
Ini ubun-ubunku di tangan Mu. Apakah Engkau adzab rakyat karena aku. Engkau Hakim paling adil. Tak ada yang terlewatkan dari Mu tentang diriku.
Rasakan getar imannya. Menangis kita mendengarnya. Menangis kita membandingkan dengan zaman kita.
Sungguh inilah solusi murah dan mudah. Di tengah, kita diminta berpikir untuk menyelesaikan masalah secara teknis dan fisik yang sering berbiaya mahal. Seharusnya solusi yang satu ini dilirik oleh para ulama dan pemimpin.
Mudah dan murah. Tapi perlu ilmu, iman dan kekhusyu’an/ketundukan hati di hadapan kebesaran Nya.
Istishha’
Kalau kisah Andalus di atas adalah istisqo’ (Meminta hujan). Untuk keadaan hari-hari ini yang tepat adalah Istishha’ (Meminta terang). Hanya bedanya, Istisqo’ ada syariat shalat, khutbah dan doa. Sementara Istishha’ hanya doa saja.
Coba anda buka Shahih Bukhari. Ada akan terkejut. Ternyata di dalam kitab yang telah ditulis 12 abad yang lalu, di tengah Arab yang tidak sering hujan, terdapat bab di dalamnya:
(بَابُ الدُّعَاءِ إِذَا انْقَطَعَتِ السُّبُلُ مِنْ كَثْرَةِ الْمَطَرِ)
(Bab Doa Jika Jalan-Jalan Terputus Karena Hujan Lebat)
Masya Allah, kemana kita selama ini. Saya mengamati mereka yang gemar bercuap-cuap di dunia maya dan alat komunikasi. Tak ada satupun yang mengangkat tema dan doa di dalamnya. Entah mengapa. Entah kemana para ulamanya. Mengapa mereka tidak mensosialisasikan hal ini. Padahal tugas mereka tak sekadar sosialisasi. Lebih dari itu, mereka seharusnya memimpin seperti Hakim Mundzir dan seperti dalam kisah di bab ini. Mengawal para pemimpin untuk memberi solusi bagi masyarakat yang sedang terjepit.
Dari Anas bin Malik dia menceritakan bahwa ada seseorang yang pada hari Jumat masuk (ke masjid melalui satu pintu yang lurus dengan mimbar. Rasulullah sedang khutbah. Orang itu berdiri di hadapan Nabi dan berkata: Ya Rasulullah, binatang ternak mati, jalan terputus, doakan agar Allah menurunkan hujan bagi kami.
Rasulullah pun mengangkat kedua tangannya dan berdoa:
«اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا»
Ya Allah hujani kami, Ya Allah hujani kami, Ya Allah hujani kami.
Anas berkata: Demi Allah kami tidak melihat sepotong awan pun langit. Seketika muncullah dari arah belakang beliau, awan seperti tameng. Ketika awan itu telah berada di tengah langit, menyebar dan kemudian hujan turun.
Anas berkata lagi: Demi Allah selama 6 hari kami tidak melihat matahari.
Kemudian ada yang meminta Rasul lagi: Ya Rasulullah, harta benda hancur, jalan terputus, doakan agar Allah menahan hujan.
Rasulullah pun mengangkat kedua tangannya sambil berdoa:
«اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالجِبَالِ وَالآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ»
Ya Allah turunkanlah di sekeliling kami bukan menimpa kami, Ya Allah turunkan pada gundukan tanah, gunung, bukit, lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.
Dan hujan pun berhenti. Kami keluar berjalan di bawah terik matahari.
Syuraik bertanya kepada Anas: Apakah itu orang yang pertama?
Anas menjawab: Saya tidak tahu
(Muttafaq Alaih)
Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini dalam Fathul Bari,
“Disyariatkannya Istishhah’ (minta terang) ketika hujan sangat lebat…tidak disunnahkan keluar (ke lapangan) untuk istishha’, tidak ada shalat juga tidak ada membalikkan selendang. Tetapi doa ini dibaca dalam Khutbah Jumat atau selesai shalat.”
Kalau Rasulullah adalah ahli agamanya sekaligus pemimpinnya. Sementara Mundzir bin Said al Baluthi adalah ahli agamanya dan Abdurahman An Nashir adalah pemimpinnya. Merekalah yang mengawal masyarakat untuk mencari solusi. Tak hanya solusi fisik. Tetapi solusi yang lebih murah dan mudah, solusi kekhusyu’an dan doa. Dan dengan itu, segala permasalahan selesai.
Kemana kumpulan ulama dan pemimpin negeri ini?
Kemana mereka, masyarakat menunggu…
(*/Arrahmah.com)