OSLO (Arrahmah.com) – Perdana Menteri Norwegia mengatakan, ia percaya negaranya akan tetap terbuka dan demokratis, kendati telah terjadi dua serangan mematikan pada Jumat (22/7/2011). Dalam pengadilan di Norwegia, terdakwa atas kasus kedua serangan itu, Anders Behring Breivik, mengatakan ia tidak bertindak sendirian dan berkolaborasi bersama dua kelompok.
Kendati mengklaim bertanggungjawab atas kedua serangan tersebut, dalam sidang tertutup di Oslo itu Anders Behring Breivik menyatakan dirinya tidak bersalah.
Pria berusia 32 tahun itu mengatakan ia perlu melakukan serangan tersebut untuk menyelamatkan Norwegia dan Eropa Barat dari pengambil-alihan oleh budaya Marxisme dan Islam.
Breivik dikenai dakwaan terorisme dan dimasukkan tahanan 8 minggu. Hakim memerintahkan ia dimasukkan sel isolasi untuk menghindari dirinya berhubungan dengan kolaborator atau mengganggu pengusutan polisi.
Kecurigaan dialamatkan pada Muslim
Beberapa korban penembakan di sebuah kamp pemuda di pulau Utoya, Norwegia mengatakan penembak berpakaian sebagai perwira polisi, demikian yang dilaporkan AFP. Setidaknya 92 orang tewas dan beberapa terluka, kebrutalan serangan pada Jumat yang membuat Norwegia terguncang.
Beberapa saat setelah ledakan itu, pada Sabtu (23/7) malam, para pakar dan analis ramai-ramai menyalahkan al-Qaeda atau kelompok lain yang “satu ideologi” dengan al-Qaeda.
Sementara itu, Polisi Norwegia menyimpulkan cukup awal bahwa serangan itu bukan pekerjaan kelompok “teroris asing”. Mereka berhasil menahan Anders Behring Breivik (32 tahun) yang diyakini sebagai pria bersenjata yang melepaskan tembakan pada remaja menghadiri kamp pemuda yang diselenggarakan oleh Partai Buruh.
Laporan lain menyebutkan bahwa Breivik membeli enam ton pupuk pada bulan Mei lalu dari sebuah perusahaan pasokan pertanian, yang tampaknya “meniru” aksi dari sebuah halaman buku yang ditulis oleh “teroris non-Muslim”, yakni Timothy McVeigh, yang bersama rekannya Terry Nichols pernah meledakkan bangunan Alfred P Murrah di Oklahoma City pada 1995 dengan satu truk penuh pupuk, yang menewaskan 168 orang dan melukai 450 lainnya.
Namun, meskipun kurangnya bukti setelah serangan itu (dan setumpuk bukti-bukti yang mengarah pada hal sebaliknya) beberapa pengamat terus mencari hubungan antara “kelompok jihad” dalam serangan Norwegia. Beberapa kelompok menghubung-hubungkan serangan tersebut sebagai bentuk kemarahan yang meletus setelah surat kabar Denmark menerbitkan kartun Nabi Muhammad pada tahun 2005.
Respon Muslim Norwegia
Hal ini secara langsung menohok komunitas Muslim di Norwegia dalam dua cara yang berbeda. Pertama, rasa keamanan yang terancam di Norwegia, dan diatas semua itu mereka secara otomatis dipersalahkan karena kejadian tersebut bisa dikatakan sebagai “hari-hari tergelap dalam sejarah Norwegia”.
Dewan Islam Norwegia segera mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa setiap serangan di Norwegia adalah sebuah serangan terhadap tanah air mereka, selain itu imam dan anggota komunitas Muslim mengunjungi berbagai kelompok Kristen dan pemimpin gereja dalam upaya untuk mengucapkan belasungkawa, serta untuk meningkatkan hubungan baik.
“Kami berada dalam kesedihan mendalam dengan masyarakat Norwegia,” kata Muhammad Tayyib, koordinator Pusat Kebudayaan Islam Norwegia.
Tayyib mengatakan bahwa meskipun sebagian besar komunitas imigran Muslim, bahwa mereka adalah “bagian dari sistem demokrasi dan mendukung kebebasan berekspresi. Kami bereaksi [untuk serangan] sebagai Norwegia, bukan sebagai orang luar”.
Tayyib mengatakan bahwa masjid merupakan pusat kebudayaan, yang terletak di jantung Oslo dan tidak jauh dari ledakan bom. Dia juga mengungkapkan banyak non-Muslim telah datang pada hari Sabtu untuk berbicara tentang serangan tersebut atau hanya untuk mengenal komunitas Muslim yang lebih baik.
Rizwan Ahmad, yang menjabat sekretaris umum di pusat kebudayaan, mengatakan bahwa laporan dari reaksi terhadap umat Islam di Oslo atas kejadian tersebut telah dilaporkan adanya dua perempuan mengenakan jilbab diganggu di jalan sementara laki-laki Pakistan dipukuli di dalam bis.
Namun Ahmad mengatakan bahwa komunitas Muslim tetap dalam solidaritas dengan masyarakat Norwegia yang lebih besar.
Dleen Dhoski, koordinator Asosiasi Mahasiswa Muslim di Universitas Oslo pada Blindern, mengatakan bahwa kekhawatiran itu tidak tentang siapa yang harus disalahkan.
“Perhatian utama kami tidak [apakah] itu kelompok tertentu yang melakukan tindakan yang mengerikan, tapi kami terkejut dan prihatin tentang kesejahteraan mereka yang mendapat terkena serangan,” kata Dhoski, yang mengatakan dia merasa bahwa media Norwegia cukup netral dalam pelaporan.
“Dan [kami] bahkan lebih terkejut bahwa sesuatu seperti ini bisa terjadi di tanah air aman kami … Ini merupakan serangan terhadap perdamaian dan demokrasi di Norwegia, jadi saya tidak percaya itu memiliki efek hanya pada komunitas Muslim, tapi seluruh bangsa, “kata Dhoski.
Muslim yang didiskriminasi
Tentu saja, bukan hanya para pakar dan analis keamanan yang mengungkapkan bahwa komunitas Muslimlah yang harus disalahkan atas serangan tersebut.
Kelompok sayap kanan “lebih memilih” menyalahkan umat Islam atas semua permasalahan terkait keamanan di Eropa. Terutama, kelompok Nordisk (nasionalistik anti-imigrasi, kelompok aktivis digambarkan memiliki keyakinan layaknya Nazi) sibuk menyalahkan Muslim atas serangan pada forum tersebut.
Beberapa poster keluhan berbunyi “imigrasi yang tak terkendali dari negara-negara Islam” adalah sebagai tindakan menyalahkan dan dengan sinis mengatkan dalam tulisan di poster lain yang berbunyi, “teror tidak akan menurun ketika gelombang tikus gurun terus naik di seluruh Eropa”.
Kelompok Nordisk tersebut tidak menanggapi permintaan wawancara pada hari Sabtu (23/7) terkait poster dan tragedy serangan tersebut.
Poster-poster pada forum tampaknya tidak menyadari bahwa Breivik dilaporkan anggota kelompok mereka. Polisi Norwegia menegaskan bahwa Breivik mengidentifikasi dirinya sebagai “fundamentalis Kristen”, sementara media lokal melaporkan bahwa ia telah memposting beberapa pernyataan dalam akun secara online yang mengidentifikasikan sebagai anti-Muslim.
Memang, Breivik telah ditangkap. Seperti halnya Pamela Geller, seorang aktivis anti-Islam yang melawan pembangunan sebuah pusat komunitas Islam di dekat lokasi bekas World Trade Pusat menara di New York.
Geller mengungkapkan pernyataan di blognya bahwa umat Islam lah yang harus bertanggung jawab untuk “semua pemerkosaan dalam lima tahun terakhir” di Norwegia terkait serangan hari Jumat.
Ali Esbati, ekonom di Pusat Manifest untuk Analisis Sosial, mengatakan persepsi negatif tentang Muslim di Eropa telah menjadi “titik konvergensi” di antara kelompok sayap kanan, yang menyebarkan sudut pandang umat Islam sebagai kekuatan “yang mengancam masyarakat Barat “.
“Masalah yang lebih luas adalah bahwa bukan hanya ide tentang Islam radikal yang dilihat sebagai ancaman, tetapi ide bahwa semua Islam atau Muslim adalah ancaman,” kata Esbati.
Dia tidak terkejut dengan respon spontan ketika menyalahkan Muslim dalam serangan tersebut, seperti katanya, wacana tidak didorong oleh fakta atau statistik. Sebaliknya, didorong oleh persepsi – dan sekarang, wajah terorisme tidaklah disematkan terhadap kelompok-kelompok separatis di Eropa (yang pada dasarmua juga merupakan ancaman “terorisme” terbesar Eropa). Hal ini telah mengakibatkan proliferasi dari apa Esbati sebut sebagai Ide fundamental “rasis” terhadap Muslim.
Antara “teroris” dan orang “gila”
Namun, pertanyaannya, Ketika apa yang ditargetkan adalah sebuah gedung pemerintah dan sebuah kamp pemuda dari sebuah partai politik – yang menyerukan pengakuan negara Palestina – mengapa seorang Muslim menjadi tersangka? Bukankah yang lebih mungkin untuk dicurigai adalah selain mereka?
Pada dasarnya, jawabannya setelah hampir satu dekade sejak serangan 11 September, yang tampaknya “memiliki efek membuat semua pria Muslim disebut teroris di dunia Barat”.
“Semua Islamofobia di internet ikut andil di dalamnya”, kata Ibrahim Hooper, juru bicara Council on American-Islamic Relations.
Dia mengatakan bahwa, bahkan pada Sabtu (23/7) malam, l\media AS mengklaim dan menuduh pelakunya dari “Islam ini dan al-Qaeda itu.”
Tapi kemudian, kata Hooper, ada sudut “gila” yang mengacu kepada petugas Norwegia yang mengatakan bahwa serangan itu “bukan merupakan terror yang Islami” dan karena itu stigma “gila” pun dimunculkan.
“Jika seorang non-Muslim melakukan aksi terorisme, mereka tidak menyebutnya seorang teroris. Mereka bilang dia adalah ‘orang gila’,” kata Hooper.
Meskipun Breivik telah diidentifikasi sebagai seorang Kristen, Hooper mengatakan dia yakin tindakannya tidak akan berafiliasi dengan imannya. Ini penting, berkaitan bahwa tindakan terorisme yang dilakukan oleh seorang individu, tidak peduli apa agama atau keyakinannya, pada dasarnya tidak bisa dikaitkan dengan seluruh pemeluk agama yang berkaitan.
Ini, tentu saja, tidak demikian halnya bagi kaum Muslim dalam iklim saat ini. Muslim di Norwegia harus terus membangun koalisi dan bekerja untuk “meminggirkan ekstrimis dari semua agama”, katanya. (rasularasy/arrahmah.com)