(Arrahmah.com) – Cerita ini datang dari negeri yang sangat jauh namun terkenal karena jaminan keberkahannya dari Allah SWT. Yaitu Suriah, secuil bagian dari Negeri Syam.
Adalah Abu Matsan salah seorang pemuda dari Kota Halab (Aleppo). Ia seorang pemuda yang takut kepada Allah SWT. Karena ketakutannya kepada Allah SWT itu, ia pun tak ingin lama-lama bermaksiat dan membujang.
Maka, ia pun bekerja dengan keras untuk mengumpulkan uang. Uang itu nantinya digunakan untuk mahar pernikahannya. Maklum saja, mahar di tanah Arab memang dikenal berharga tinggi. Termasuk di Suriah. Apalagi, saat itu jihad Suriah sudah dimulai. Jihad yang dipicu oleh rentetan Revolusi Musim Semi Arab itu segera meletus di berbagai wilayah. Pekerjaan menjadi barang langka. Huru-hara dimana-mana. Di tengah-tengah aktivitas jihad, Abu Matsan tetap giat berupaya.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Setelah berhasil terkumpul sejumlah uang, Abu Matsan dijodohkan dengan wanita dambaan hatinya. Seluruh keluarga berkumpul, hari pernikahan pun ditentukan. Abu Matsan pun tak sabar menanti datangnya detik-detik yang akan sangat membahagiakan hatinya itu.
Tiba-tiba saja, pesawat tempur rezim Bashar Assad meraung-raung di langit Aleppo. Ia memuntahkan semua peluru yang dikandungnya, meluluhlantakkan seluruh bangunan serta apa saja yang ada di bawahnya. Rumah Abu Matsan, calon istrinya seluruh tetangga dan handai taulan yang ada di kawasan itu hancur lebur, rata dengan tanah.
“Hilang, saudaraku.. Semua hilang.. Rumah-rumah, keluarga, teman-teman dan calon istriku hilang akibat serangan itu,” cerita Abu Matsan kepadaku. Meski, terdengar sedih, tapi Abu Matsan dan kawan-kawannya bercerita dengan gelak tawa.
“Aina dollar.. Aina dollar (mana uang,mana uang)??? Siapa yang sudi memberikanku uang untuk menikah,” ujarnya lagi dengan ekspresi yang mengundang gelak tawa. Kami semua yang saat itu sedang menikmati teh dengan santai ikut tertawa mendengar cerita Abu Matsan.
Banyak korban jatuh akibat serangan Assad di Aleppo saat itu, tapi kabarnya calon istri Abu Matsan selamat, namun mengungsi bersama keluarganya karena ketakutan. Abu Matsan pun hanya bisa gigit jari.
“Sabarlah saudaraku, Insya Allah engkau akan dinikahkan oleh Allah SWT dengan para bidadari di surga nanti,” ujarku menghibur. Tapi dengan bercanda, Abu Matsan malah menjawab, “Hah di surga? Lama sekali. Aku ingin di dunia juga.”
Seteguk teh khas Suriah membasahi kerongkonganku. Rupanya, dalam sedu sedan kisah Suriah masih ada orang-orang setegar Abu Matsan. Ia mampu menghadapi beratnya cobaan dengan senyum di wajahnya.
Penulis, Fajar Shadiq, wartawan perang Suriah, pengurus jurnalis Islam bersatu (Jitu)