(Arrahmah.com) – Beberapa waktu yang lalu SBY memproklamasikan ‘Jihad Melawan Korupsi’, namun sampai hari ini tidak ada bukti jihad tersebut, padahal kejahatan korupsi sungguh sudah sangat menggurita. Oleh karena kejahatan korupsi sudah sangat luar biasa, maka harus ditempuh tindakan hukum yang juga luar biasa.
Tindakan hukum yang luar biasa itu bukan dengan membuat panitia adhoc seperti KPK dengan gaji ratusan juta perbulan, melainkan harus diterapkan hukum yang luar biasa yakni hukum yang berasal dari ‘langit’ (wahyu). Jika tidak maka kejahatan tersebut akan semakin merajalela dan segera menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melihat urgensi masalah ini maka MUI akan menyelenggarakan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada 29 Juni-2 Juli 2012 di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam pertemuan itu, MUI akan merumuskan sejumlah fatwa, salah satunya mengenai boleh tidaknya negara merampas aset koruptor. Mungkin yang akan menjadi perdebatan dalam ijtima ulama nanti lebih kepada aset yang tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, tetapi juga tidak bisa dibuktikan aset tersebut miliknya. Kegiatan ini sebagai bentuk respons MUI atas isu pemiskinan koruptor. Bagaimana respon MUI tentang upaya penerapan hukum potong tangan bagi pencuri dan takzir bagi koruptor, belum ada tanggapan. Maka dalam makalah singkat ini saya ingin memberikan masukan kepada MUI dan semua pihak yang ingin membasmi korupsi dengan hukum Islam.
Taat Syariat
Syariat adalah peraturan Allah swt yang diturunkan kepada umat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan menuju kebahagiaan yang abadi di akhirat. Syariat yang paling akhir untuk umat manusia adalah syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, sebagaimana firman Allah swt: “Kemudian Kami telah menjadikan engkau (Muhammad) di atas syariah yang diperintahkan itu. Maka, ikutilah dia dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Al-Jatsiyah/45: 18).
Semua ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw itulah yang dikatakan syariat Islam. Di dalamnya termasuk aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum yang tidak boleh dilanggar yang dinamakan hudud, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nisa’/4: 14: “Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum (hudud) Allah, Dia akan memasukkannya ke dalam neraka, kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.”
Batas-batas hukum Allah tersebut bukan saja tidak boleh dilanggar, tetapi juga harus dipelihara, dijaga, dan ditegakkan agar kehidupan umat manusia senantiasa aman dan tentram, sebagaimana firman-Nya: “…dan mereka yang memelihara hukum-hukum Allah, maka gembirakanlah orang-orang yang beriman itu.” (QS. At-Taubah/9: 112).
Oleh sebab itu, kalau hududullah itu tidak ditegakkan, maka sampai kapan pun kehidupan manusia tidak akan mencapai kebahagiaan yang hakiki. Yang ada hanya kesenangan sesaat yang menghanyutkan dan keamanan yang tak kunjung terwujud. Manusia akan terus dibayangi oleh rasa ketakutan, karena adanya potensi ancaman dari manusia lainnya yang lebih kuat. Karenanya, Islam mensyariatkan hudud Allah supaya ditegakkan di tengah-tengah kehidupan manusia.
Setiap hukum pasti memiliki sifat mengikat dan mengandung sanksi bagi pelanggarnya di wilayah tertentu. Demikian pula sifat hukum Islam. Namun, tidak semua hukum Allah yang dilanggar oleh seseorang ada sanksi hukumnya di dunia ini. Walaupun setiap pelanggarnya pasti akan mendapatkan balasan di akhirat nanti. Salah satu hukum Allah yang sanksinya telah ditetapkan di dunia ini adalah tindak pidana mencuri (sariqah).
Fitnah Harta
Salah satu kenikmatan yang Allah swt karuniakan kepada manusia adalah harta sehingga banyak manusia berebut harta untuk memenuhi kebutuhannya bahkan untuk kesenangannya. Sehingga seringkali harta menjadi sumber masalah, padahal harta bisa menjadi sarana penyempurna taqwa, seperti untuk biaya haji dan membangun sekolah-sekolah. Oleh sebab itu, supaya harta tetap berfungsi sebagai instrument penyempurna taqwa, maka Allah swt menurunkan syariat potong tangan bagi pelanggar kejahatan terhadap harta yakni pencuri.
Mencuri (sariqah) termasuk salah satu hudud Allah yang tidak boleh dilanggar oleh umat Islam. Hudud adalah jenis kejahatan yang bentuk sanksinya sudah ditetapkan oleh Allah swt dan RasulNya saw. Sehingga bagi pencuri akan diberikan sanksi berupa hukuman potong tangan. Hal itu telah disyariatkan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah/5: 38: “Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, maka potonglah oleh kalian tangan keduanya sebagai balasan terhadap apa yang mereka lakukan dan sebagai pelajaran dari Allah swt. Dan Allah Maha Gagah Perkasa dan Bijaksana”.
Bila penerapan hukum potong tangan ini dilakukan secara diskriminatif, misalnya kalau pencurinya dari kalangan rakyat dihukum, tetapi kalau dari pejabat dibebaskan, maka hal itu akan berbuah malapetaka yang amat dahsyat, yakni mengundang kehancuran bagi negeri tersebut, sebagaimana hadits Rasulullah saw: “Hanyalah kerusakan orang-orang sebelum kalian adalah apabila di kalangan mereka yang mencuri orang mulia (pejabat), maka mereka meninggalkan hukum itu, tetapi apabila yang mencuri adalah orang lemah (rakyat biasa), maka mereka memotong tangannya”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasai dan At-Tirmidzi dari Aisyah).
Hukum potong tangan ini juga diterapkan sepeninggal Nabi saw, misalnya pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra: Dari Yahya bin Abdurrahman bin Hathib: “Sesungguhnya budak milik Hathib bin Abi Balta’ah mencuri onta milik seorang lelaki dari Muzainah, lalu mereka menyembelih onta tersebut. Kemudian kasusnya sampai kepada Umar bin Al-Khattab, maka Umar meerintahkan kepada Katsir bin As-Shalt untuk memotong tangan mereka…” (HR. Asy-Syafii dari Malik).
Inilah kebijakan dan pelajaran dari Allah swt dan RasulNya kepada kita sekalian agar para calon pelaku kejahatan dan calon korbannya bisa mengambil hikmahnya. Sayangnya, amat sedikit orang-orang yang mampu mengambil pelajaran berharga ini, karena memang syariat ini membutuhkan tingkat kecerdasan tertentu.
Definisi Mencuri (Sariqah)
Mencuri ialah suatu tindak kejahatan mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi, baik dari pandangan pemilik harta yang dicuri atau pihak lain menurut anggapan orang yang mencurinya, sedangkan harta itu telah disimpan di tempat yang aman (harz). Mencuri adalah perbuatan haram dan termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah swt: “Hai Nabi, apabila datang kepada engkau wanita-wanita mukminat untuk berjanji setia (bai’at), bahwa mereka tidak akan menyekutukan sesuatu apa pun dengan Allah, tidak akan mencuri dan tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah/60: 12).
Berdasarkan definisi di atas, maka kejahatan menjambret, merampas harta secara terang-terangan, korupsi (ghulul) atau mengkhianati harta orang lain tidak termasuk kategori mencuri. Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw: “Tidak ada atas orang yang berkhianat (korupsi), tidak pula atas orang yang mencopet dan merampas itu dipotong tangannya.” (HR. Ahmad dan Imam Empat serta Ibnu Hibban). “Tidak ada hukum potong tangan bagi orang yang menjambret harta orang lain” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Sepintas lalu, ketentuan hadits di atas terasa kurang adil. Karena, di dalam kehidupan sehari-hari, pencuri ayam atau sandal bisa dikeroyok massa sampai mati. Sedangkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dan “konglomerat hitam” bernilai milyaran bahkan trilyunan, malah dielu-elukan bagai pahlawan dan menempati sel mewah di hotel prodeo.
Jangan salah, bahwa dalam syariat Islam, korupsi (ghulul) memang tidak termasuk kejahatan mencuri, karena mencuri itu dilakukan secara diam-diam terhadap harta orang lain yang memang berada di luar kekuasaannya. Sedangkan korupsi adalah tindakan mengambil barang milik orang lain yang memang barang itu diamanahkan kepadanya. Misalnya, seorang pejabat diserahi proyek pembangunan kemudian tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat), uang itu dipotong sebagai komisi atau apa pun namanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Sehingga kualitas bangunan tidak sesuai spesifikasinya, sehingga mudah ambles atau rusak. Maka untuk kejahatan ini tentu saja tidak adil jika koruptor hanya dipotong tangannya.
Takzir
Kejahatan korupsi dijelaskan dalam surat Ali Imron/3: 161 yang artinya: “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tiada dianiaya”.
Abu Hurairah ra berkata: “Ketika Allah memberikan kemenangan dalam perang Khaibar, kami berangkat menuju suatu lembah, dan bersama Rasulullah saw ikut seorang budaknya bernama Mad’am, maka ketika kami singgah di lembah itu, Mad’am terkena anak panah lalu meninggal dunia, maka kami berkata: Dia mati syahid Ya Rasulullah, maka Nabi bersabda: Bukan, Demi Dzat yang diriku di Tangan-Nya, sesungguhnya ada selimut yang diambilnya pada hari perang Khaibar benar-benar akan berkobar menjadi api neraka atasnya, dia mengambilnya dari ghanimah yang belum dibagi-bagikan. Maka orang-orang terkejut, lalu datanglah seseorang dengan membawa tali sandal atau dua sandal, lalu ia berkata: Ya Rasulullah ini aku ambil pada hari perang Khaibar. Maka Nabi bersabda: Satu sendal atau dua sendal dari neraka.” (HR. Bukhari Muslim).
Contoh lain yang tidak dipotong tangannya adalah mencuri harta rampasan perang (ghanimah) adalah hadits dari Ibnu Ubaid bin Al-Abrash: “Aku pernah menyaksikan Ali bin Abi Thalib sedang membagi-bagi rampasan perang di tengah-tengah manusia, lalu ada seorang lelaki dari Hadramaut sedang mencuri baju besi di antara barang-barang itu, maka pencuri itu didatangkan kepada Ali bin Abi Thalib lalu ia berkata: Kepadanya tidak ada hukum potong tangan, dia adalah orang yang berkhianat yang memiliki hak atau bagian dari harta rampasan itu.” (HR. Sa’ied bin Manshur dan Al-Baihaqi).
Orang yang dituduh mencuri harta ghanimah itu tidak dipotong tangannya, karena hakikatnya orang itu mengkhianati amanah yang diserahkan kepadanya atau dengan istilah lain ia melakukan korupsi. Karena, ia berhak menerima harta ghanimah tersebut sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan, tetapi ia tak sabar sehingga nekat mencuri harta itu sebelum dibagikan. Maka jenis-jenis korupsi bisa bermacam-macam, seperti gratifikasi bagi pejabat dan suap, bisa dijerat dengan delik ghulul (korupsi), sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Hadiah-hadiah untuk para pejabat adalah korupsi”. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi).
Jadi, kejahatan korupsi dalam perspektif pidana syariah dimasukkan ke dalam kejahatan ta’zir, yaitu kejahatan yang bentuk hukumannya diserahkan kepada keputusan Hakim (Qadhi). Jika mencuri barang seharga satu juta bisa dipotong tangannya, tentu tidaklah adil jika mengkorupsi uang rakyat trilyunan rupiah cuma dipotong tangannya. Kejahatan korupsi yang merugikan rakyat banyak akan terasa lebih adil jika dihukum gantung di tugu monas supaya rakyat banyak bisa melihat hasil perbuatannya.
Mahkamah Syariah
Untuk menegakkan hudud dibutuhkan otoritas (kekuasaan) dari Negara. Oleh sebab itu, sebaiknya MUI menuntut kepada pemerintah untuk membentuk Mahkamah Syariah sebagai lembaga yang berwenang mengadili para pelaku kejahatan hudud (murtad, pembunuhan, miras/narkoba, perzinaan, dan pencurian). Selain itu juga bisa meng-up grade wewenang Pengadilan Agama tidak hanya boleh mengadili NTCR (nikah-talak-cerai-rujuk) tetapi juga mengadili para koruptor. Mengenai sumberdaya manusia tidak usah khawatir karena para pakar syariat sudah semakin banyak di Indinesoa, baik lulusan dalam negeri maupun Timur Tengah.
Dengan adanya Mahkamah Syariah tidak perlu lagi membuat undang-undang sebagaimana lazimnya system hokum continental yang dianut sekarang ini, karena proses pembuatannya akan menguras energy yang sangat banyak, sedangkan perkembangbiakan kejahatan hudud lebih cepat daripada menunggu disahkannya suatu UU. Dengan demikian terjadi efisiensi yang luar biasa, apalagi sanksi utama bukan penjara yang menguras anggaran Negara dan out putnya juga tidak maksimal. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut proses pembentukan Mahkamah Syariah untuk memfasilitasi pengadilan terhadap para koruptor, apalagi pelakunya banyak yang beragama Islam. Wallahu a’lam.
* Oleh Fauzan Al-Anshari –Direktur Lembaga Kajian Syariat Islam (LKSI)–