Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA
“Seribu kali kebohongan maka hasilnya adalah kebenaran“, pepatah ini tepat untuk menjelaskan upaya-upaya sebagian orang untuk mendaur ulang pengertian jihad. Jihad selalu didekatkan dengan tindakan terorisme, jihad sama dengan tindakan kekerasan, jihad identik dengan usaha merusak tanpa pandang bulu. Ada juga jihad dengan arti usaha keseharian mencari nafkah dengan sungguh-sungguh juga termasuk jihad, jihad melawan korupsi, jihad dalam menuntut ilmu, bekerja keras, disiplin, mengekang hawa nafsu dan makna-makna lain yang menyimpang dari makna hakikinya (syara’).
Pengertian ini mengalir deras dari mulut-mulut orang kufar atau dari kalangan muslim yang kurang paham tentang hakikat jihad. Atau keluar dari ulama-ulama bayaran dan kaum munafikin yang hendak merusak ajaran-ajaran Islam. Cuma karena sokongan media yang pro mereka maka ‘kebohongan’ dalam memberi arti jihad telah merubah ‘arti bohong’ menjadi benar dan akhirnya sebagian umat (awam) yang masih butuh bimbingan ini termakan dan menelan mentah-mentah.
Menilik sejarah masa lalu;umat Islam Indonesia tidak asing dengan kata ‘jihad’, mengingat begitu besarnya nilai istilah ini bagi Indonesia dimasa-masa kritisnya merebut kemerdekaan dari penjajah(imperialis) Portugis, Jepang dan Belanda.Hanya orang-orang buta sejarah dan munafik yang tidak mengakui bahwa berkat resolusi ‘jihad’ yang dikeluarkan oleh para ulama’ secara individu atau institusi(kelembagaan seperti KH.Hasyim Asyari dengan NU-nya) sejak penjajah menginjakkan bumi Indonesia telah melahirkan pribadi-pribadi pejuang.
Nyawa perlawanan bangkit subur karena panggilan jihad, dan orang-orang yang memahami keagungan jihadlah yang pada akhirnya menyingsingkan lengan baju berangkat kemedan-medan pertempuran; kembali dengan kemenangan atau syahid dimedan juang. Indonesia bisa merdeka seperti sekarang karena berkat ‘jihad’, apakah kita lupa dengan pekikan; ‘Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu Akbar..” dari seorang Bung Tomo ketika menggelorakan pertempuran 10 November? Pangeran Diponegoro,Teuku Umar, Pangeran Antasari dan masih banyak lagi pahlawan yang akrab ditelinga kita; perjuangan mereka tegak dengan ruh jihad menyatu dalam aliran darah dan tiap tarikan nafas mereka.
Makanya umat perlu atau sangat perlu mewaspadai niat-niat busuk di balik upaya segelintir orang (karena sokongan media dan dana dari tuannya yang menjadikan seolah-olah besar) untuk menyimpangkan makna ‘jihad’ keluar dari definisi atau arti yang sesungguhnya.Apalagi ada moment atau peristiwa yang bisa dijadikan pintu masuk atau alasan untuk mengotak-atik arti jihad ini. Kasus Bom bali 1&2, eksekusi Amrozi dkk, bom Depok, bom Serpong, bom gereja Komponten Solo, dan lainya, padahal di saat yang sama masyarakat dunia bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa jahat dan biadabnya Amerika, Cs atas tindak terorisme dengan pengeboman-pengeboman yang menumpahkan darah dan nyawa yang jumlahnya ratusan kali lipat dibandingkan kasus bom Bali.Lihatlah nasib rakyat Irak, rakyat Afganistan, yang dicabik-cabik penjajah Amerika cs.
Maka ini adalah proyek penjinakan umat Islam agar mati ruh jihadnya, matinya jiwa perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan baik fisik atau non fisik, hegemoni atau penguasaan negeri-negeri Islam oleh negera-negera imperialis adalah menjadi motif utamanya. Makna-makna jihad yang manipulatif ini terus dipropagandakan di tengah-tengah kaum Muslim untuk mengaburkan dan menyimpangkan pandangan masyarakat terhadap makna jihad sebenarnya. Padahal, ruhul jihad merupakan salah satu tiang pancang bagi tegaknya Islam dan kaum Muslim dari serangan musuh-musuhnya. Cuma sayang sebagian besar umat tidak bisa membaca hal-hal seperti ini, umat masih sangat butuh bimbingan agar bangkit kesadaran politiknya dan menimbang segala fenomena atau peristiwa menurut kacamata keyakinan dan syariatnya.
Makna ‘Jihad’ yang benar;
Seperti diterangkan dalam al Qur’an dan as Sunnah kemudian dibukukan dalam ratusan kitab fiqh oleh ulama’ salafus sholeh dan ulama’-ulama’ zaman sekarang (dan mu’tabar; jadi rujukan dan pegangan umat Islam), bisa diringkas;
Secara bahasa kata “al-jihaad” berasal dari kata “jaahada“, yang bermakna “al-juhd” (kesulitan) atau “al-jahd” (tenaga atau kemampuan).Imam Ibnu Mandzur dalam Kitab Lisaan al-‘Arab nya, secara bahasa, al-jihaad artinya;mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Dalam kitab Syarh al-Qasthalaani ‘alaa Shahiih al-Bukhaariy dinyatakan sebagai berikut Kata jihaad merupakan pecahan dari kata al-jahd, dengan huruf jim difathah yang berarti: at-ta’b (lelah) dan al-masyaqqah (sulit). Sebab, kelelahan dan kesulitan yang ada di dalamnya bersifat terus-menerus. Kata jihaad bisa merupakan bentuk pecahan dari kata al-juhd dengan “jim” didhammah, yang berarti: at-thaaqah (kemampuan atau tenaga). Sebab, masing-masing mengerahkan tenaganya untuk melindungi shahabatnya.
Di dalam al-Quran dan Sunnah, kata jihaad diberi arti baru oleh syariat dari arti asal (bahasanya) atau menuju makna yang lebih khusus, yaitu, “mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung, dengan bantuan keuangan, pendapat (pemikiran), memperbanyak kuantitas (taktsiir al-sawaad) ataupun yang lain (Ibn ‘Abidiin, Haasyiyah, juz III, hal. 336) Dengan demikian, ketika kata “jihad” disebut, secara otomatis orang akan memaknainya dengan makna syariatnya –berperang di jalan Allah”, bukan dengan makna bahasanya. Jihad dengan makna khusus ini, bisa ditemukan pada ayat-ayat Madaniyah. Sedangkan kata jihad di dalam ayat-ayat Makkiyah, maknanya merujuk pada makna bahasanya (bersungguh-sungguh).
Contoh Ayat-ayat yang memberikan pengertian Jihad adalah al Qital (perang):
“Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. al-Nisaa’ : 95)
Jihaad dalam ayat ini mempunyai pengertian: keluar untuk berperang, dan aktivitas ini lebih diutamakan daripada berdiam diri dan tidak berangkat menuju peperangan.
Para ulama empat madzhab juga telah sepakat bahwa jihad harus dimaknai sesuai dengan hakekat syariatnya, yakni berperang di jalan Allah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah dalam al Mughni-nya berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.
Jihad Ofensif dan Jihad Defensif
Dr. Mohammad Khair Haekal di dalam kitab al-Jihad wa al-Qital menyatakan, bahwa sebab dilaksanakannya jihad fi sabilillah bukan hanya karena adanya musuh (jihad defensif), akan tetapi juga dikarenakan tugas Daulah Islamiyyah dalam mengemban dakwah Islam ke negara lain, atau agar negara-negara lain tunduk di bawah kekuasaan Islam (jihad ofensif).
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal jihad yang dilakukan oleh negara. Imam al-Mawardiy dalam kitab al-Iqnaa’, hal.175 menyatakan, “Hukum jihad adalah fardlu kifayah, dan imamlah yang berwenang melaksanakan jihad…ia wajib melaksanakan jihad minimal setahun sekali, baik ia pimpin sendiri, atau mengirim ekspedisi perang.”
Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-Zain, “Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara”.
Berdasarkan pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa jihad yang dilakukan oleh kaum Muslim bisa berujud jihad ofensif maupun defensive. Jadi jihad itu bukan terorisme, dan jihad tidak sama dan tidak identik dengan terminologi kekerasan.
Umat Islam bisa menyaksikan hari ini, penanganan aksi teror selalu di ekpos di media secara sengaja dengan mengkaitkan simbol-simbol Islam, misalkan barang bukti adalah buku-buku yang menjelaskan tentang jihad dan semisalnya. Sekalipun kita juga harus obyektif, barang kali ada segelintir orang muslim yang bias menterjemahkan jihad dalam konteks yang tidak tepat. Namun demikian bukan berarti orang bisa seenak perutnya mengkriminalisasi terma Jihad yang mulia.Bahkan condong penanganan “terorisme” sudah lepas dari konteks historikal politik global maupun lokal yang sedemikian rupa akhirnya mendorong memposisikan umat Islam banyak membuat reaksi daripada aksi. Dan ketika sebagian saudara-saudara kita tidak mampu mengendalikan diri, outputnya adalah sebuah langkah yang akhirnya menjadi kontraproduktif di manipulir oleh media sekuler secara sistematis. Atas nama jihad melakukan tindakan teror yang tidak proporsional, dan membuat salah paham dunia dan umat Islam sendiri yang masih banyak yang awam. Maka, saya selalu katakan motif “teror” tidak relevan lagi dengan terma jihad karena yang tampak adalah teror dan tindakan tidak logis lagi jika motifnya adalah sebuah tatatan politik baru yang disebut dengan negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Umat harus waspada manufer orang-orang yang membenci Islam & kaum muslim melalui permainan bahasa berusaha membikin kacau cara berfikir dan perilakunya.Wallahu a’lam
(arrahmah.com)