Sebuah peradaban membutuhkan tajdid (renovasi), sementara tajdid itu sendiri dicapai setelah melalui proses pencerahan, yang mana proses pencerahan itu adalah keterasingan Islam di tengah-tengah kebobrokan dan kebodohan ummat manusia di dunia. Adapun tajdid itu sendiri adalah dengan jihad dan ijtihad.
Dengan memperbaharui pandangan yang komprehensip terhadap dunia pada srata ilmu pengetahuan, sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai moral yang tengah dilanda kerusakan pada masa-masa belakangan ini. Syekh Abu Qotadah membahas lengkap masalah ini dalam kitab beliau : Al Jihad wal Ijtihad. Berikut ringkasan bebas dari muqadimmah kitab tersebut. Sesungguhnya kata “Jihad” dan “Ijtihad” menurut pengertian bahasa, berasal dari kata ( التعب و المشقّة) yang bermakna: Kepayahan dan kesulitan atau dari kata (الوسع و الطاقة) yang bermakna: Daya dan kekuatan.
Allah Ta’ala berfirman:
{وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين وينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون) [التوبة : 122]
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman pergi berperang semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka berhati-hati.” (Qs At Taubah 122)
Al Qurthubi berkata: “Ayat di atas mengisyaratkan bahwa jihad yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah jihad yang fardhu ‘ain hukumnya, tapi yang fardhu kifayah. Sebab jika kaum muslimin semuanya pergi berperang, tentu keluarga yang mereka tinggalkan di belakang mereka akan terancam keselamatannya. Karena itu, hendaknya sebagian mereka pergi berperang, dan sebagian kecil lainnya tafaqquh fid-din (memperdalam pengetahuan agama) serta melindungi keselamatan kaum wanita dan anak-anak. Sehingga apabila mereka yang pergi berperang telah kembali, maka orang-orang yang tinggal untuk tafaqquh fid-din tadi mengajarkan kepada mereka hukum-hukum syari’at yang telah mereka pelajari” (Tafsir Al Qurthubi VIII/293)
Sayyid Qutb rhm mengatakan setelah menyitir ayat di atas:(Sesungguhnya agama ini tak mungkin dapat dipahami kecuali dalam kancah perjuangan, dan ia tidak diambil dari seorang faqih qaa’id (orang alim yang tak berjuang) tatkala perjuangan itu menjadi satu keharusan. Mereka yang duduk menekuni kitab-kitab dan lembar-lembar tulisan di zaman sekarang, guna mengeluarkan hukum-hukum fiqh daripadanya, mencoba melakukan pembaharuan terhadap fiqh Islam atau mengembangkannya, namun mereka jauh dari kancah perjuangan yang bertujuan membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia, dan mengembalikan mereka kepada ubudiyatullah (penghambaan kepada Allah) saja, dengan jalan menjadikan syari’at Allah sebagai hukum yang berkuasa dan melenyapkan undang-undang hukum buatan thaghut… maka sesungguhnya mereka tidak paham terhadap tabi’at agama ini. Maka dari itu tidak bagus pola pemahaman mereka terhadap agama ini) ( Tafsir Azh Zhilaal (1735)
Dalam ayat ini, Allah Swt membagi orang-orang beriman menjadi dua golongan: Mujahid dan Mujtahid , tak ada kebaikan pada golongan lain di luar mereka. Mujahid yang Mujtahid dan Mujtahid yang Mujahid.
Ketahuilah bahwa tujuan dari jihad dan ijtihad adalah menghambakan manusia hanya kepada Allah saja, dan membebaskan mereka dari penghambaan kepada sesama manusia, serta melenyapkan semua thaghut di muka bumi dan mengikis bersih berbagai kerusakan dari muka bumi. (Haadzaa ad Dien, 15)
Para pendahulu ummat ini, yakni generasi ummat terbaik, memahami benar agama ini. Mereka telah mengaktualisasikannya dalam realita kehidupan nyata, sehingga ajaran-ajaran agama ini menjadi sebuah gambaran yang kokoh terpatri dan menjadi sifat bawaan yang melekat pada diri mereka. Kemudian mereka memenuhi isi dunia dengan kesadaran dan pengetahuan akan risalah Ilahi.
Ath Thabari berkata: (Menjelang pecahnya perang Qadisiyah, Sa’ad bin Abi Waqqash mengirim Rib’i bin ‘Amir ke markas pasukan musuh guna memenuhi permintaan panglima perang pasukan Parsi, Rostom. Begitu duta Islam ini sampai ke markas pasukan Rostom, maka dia ditanya oleh Rostom: “Apa sebenarnya yang menjadi misi kalian?” Rib’i menjawab: ” Demi Allah, Allah telah mengutus kami dan membawa kami datang kemari untuk mengeluarkan siapa yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia pada penghambaan kepada Allah saja, dan dari sempitnya dunia kepada keluasannya, dan dari ketidak-adilan agama-agama kepada keadilan Islam. Dia mengutus kami dengan agama-Nya kepada makhluk-Nya, untuk kami seru mereka kepada-Nya. Siapa yang menerima seruan kami, maka kami terima keislamannya, kami lindungi jiwa dan hartanya dan kami pasrahkan negerinya untuk mereka atur sendiri. Dan siapa yang menolak seruan kami, maka kami akan memeranginya hingga kami meraih apa yang dijanjikan Allah.” Panglima Rostom bertanya: “Lalu apa yang dijanjikan itu?” Rib’i menjawab: “Surga bagi yang mati karena memerangi mereka yang menentang. Dan kemenangan bagi mereka yang masih hidup.” (Tarikh Ath Thabari I/2271)
Kemudian berlalulah masa yang sangat panjang atas ummat ini, mereka mundur kembali ke belakang dan lalai dengan masa kejayaannya, seakan-akan zaman berulang seperti keadaan saat pertama kalinya. Agama Islam kembali nampak asing seperti saat awal mula kedatangannya, persis seperti sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadits:
“بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء”
“Islam datang mula pertama dalam keadaan asing, dan dia akan kembali asing sebagaimana keadaan mula pertamanya. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing.” (HR Muslim)
“Seakan-akan alam menyeru kepada dunia supaya melemah dan menyusut, maka segera duniapun menyambut seruan tersebut.” Demikianlah kata Ibnu Khaldun. Saya katakan: “Peradaban membutuhkan tajdid (renovasi), sementara tajdid itu sendiri dicapai setelah melalui proses pencerahan, yang mana proses pencerahan itu adalah keterasingan Islam di tengah-tengah kebobrokan dan kebodohan ummat manusia di dunia. Adapun tajdid itu sendiri adalah dengan jihad dan ijtihad. Dengan memperbaharui pandangan yang komprehensip terhadap dunia pada srata ilmu pengetahuan, sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai moral yang tengah dilanda kerusakan pada masa-masa belakangan ini.
Saudara ‘Umar Abu ‘Umar telah ikut ambil bagian dalam menjawab berbagai tuntutan tajdid untuk meluruskan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tajdid dan ijtihad. Yakni dengan memperluas makna pengertiannya dan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadapnya agar ia memperoleh posisinya yang tepat di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Dia memandang persoalan secara komprehensip (menyeluruh) dan integral (menyatu dalam satu kesatuan), bukan secara parsial (sepotong-potong) dan diferensial (terpisah-pisah). Meski pemikiran-pemikirannya ringkas dan padat, namun ia mengalir seperti hujan deras, sehingga menggugah sanubari kita dan membangkitkan jiwa kita dari kelalaiannya dan keterpulasannya.
Sesungguhnya korelasi yang kuat antara jihad dan ijtihad serta antara ubudiyah dan tauhid yang dipaparkan oleh penulis, mengembalikan agama ini ke jalannya semula, dan menjadikannya segar seperti keadaannya semula saat pertama diturunkan sebelum dijamah oleh tangan takwil (penakwilan) dan tabdil (perubahan).
Uraian yang ia kemukakan mengenai khalqu (ciptaan) dan amru (perintah) serta antara kauni dan syar’i menjadikan pertalian kedua hal ini sebagai satu perkara yang mungkin. Sesungguhnya Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rhm-lah yang pantas mendapatkan keutamaan ini, sebab beliau telah menerangkan makna pengertian ini jauh waktu sebelumnya, hanyasaja kelalaian yang menimpa ummat Islam telah menjadikan syari’at terhapus, pengertiannya menjadi kabur dan hakekatnya menjadi tidak jelas.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Hukum Allah ada dua macam: khalqu dan amru.” Beliau mengatakan lebih lanjut: ”Banyak orang yang tidak jelas didalam memahami hakekat perintah agama yang bersifat imaniyah dengan hakekat ciptaan dan ketentuan ilahi yang bersifat kauniyah. Sesungguhnya hak Allah Swt-lah khalqu (menciptakan) dan amru (memerintah), sebagaimana firman-Nya:
{ألا له الخلق والأمر تبارك الله رب العالمين}
“Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam.” (Qs Al A’raaf 54)
Dia, Allah, Maha Suci Dia, Pencipta segala sesuatu, Pemiliknya, Rajanya, tak ada pencipta selain-Nya, tak ada pengatur alam semesta selain-Nya, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan terjadi. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, yang bergerak dan yang diam, adalah dengan iradah-Nya, qadar-Nya, kehendak-Nya, qudrah-Nya dan ciptaan-Nya.
Allah Swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menta’ati-Nya dan menta’ati para Rasul-Nya, dan melarang mereka dari mendurhakai-Nya dan mendurhakai para Rasul-Nya. Allah memerintahkan tauhid dan ikhlas serta melarang syirik kepada-Nya.
Perlu kiranya disinggung di sini, bahwa obsesi sang penulis adalah mengembalikan makna pengertian jihad dan ijtihad pada tempatnya yang proporsional di tengah-tengah masyarakat Islam sekarang, setelah kedua kata tersebut lama hilang dari benak pikiran kaum muslimin.
Dia mendapatkan kesempatan untuk merealisir obsesinya tersebut, di mana dia dapat mengaitkan antara jihad dan ijtihad dengan qudrah (kemampuan) dan istithaa’ah (kesanggupan) setelah sekian lama kedua hal ini dipercayakan kepada Imam (Khalifah). Jihad adalah kata yang merepresentasikan kekuatan dalam makna pengertiannya yang paling sempurna, sedangkan ijtihad adalah kata yang merepresentasikan pengetahuan dalam makna pengertiannya yang paling menyeluruh/mencakup.
Tidak samar lagi bagi seorang cerdik cendekia bahwa jalinan yang mempertalikan antara kekuatan dan pengetahuan itulah yang membentuk kekuasaan dalam makna pengertiannya yang sempurna dan menyeluruh.
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam topik persoalan jihad dan qudrah: (Mengingat bahwa jihad merupakan kesempurnaan dari amar ma’ruf dan nahi munkar, maka jihadpun sama seperti amar ma’ruf nahi munkar, apabila tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut, maka setiap orang yang mampu akan berdosa. Adapun seberapa dosa yang dipikulnya, maka hal itu tergantung kadar kemampuannya, sebab jihad wajib bagi setiap orang menurut kadar kemampuannya). (Al Fatawa XXVIII/126)
Beliau berkata dalam topik persoalan ijtihad dan qudrah: (Demikian pula seorang awam, jika dia sanggup melakukan ijtihad dalam sesuatu masalah, maka boleh baginya berijtihad, karena sesungguhnya ijtihad adalah suatu kedudukan yang menerima adanya pembagian dan pemisahan. Jadi yang menjadi faktor utama adalah mampu atau tak mampu, dan bisa jadi seseorang mampu dalam sesuatu masalah namun lemah/tak mampu dalam masalah yang lain.) (Al Fatawa V/203)
Saya ingin mengingatkan bahwa buku ini semula merupakan kumpulan makalah yang terpisah-pisah, yang kemudian disusun secara sistematis mengikuti alur pembahasan jihad dan ijtihad, jadi apabila saudara pembaca menemukan adanya keterpisahan dalam susunan, maka sekali-kali tidak akan hilang keterkaitannya dalam makna dan isi, adapun dosa dari kesalahan tersebut ada di pundak penyusunnya bukan penulisnya.
Saya mohon kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa, kiranya Dia berkenan memberi taufik kita kepada sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridha’i, dan kiranya Dia berkenan menjadikan kita termasuk diantara ahli jihad dan ijtihad, wal-hamdulillaahi rabbil ‘aalamien.
Sumber: almuhajirun.net