Oleh: Fajar Shadiq
Anggota Jurnalis Islam Bersatu, Redaktur Pelaksana di media Kiblat.net
(Arrahmah.com) – Bagai tersengat aliran listrik berkekuatan ribuan volt, sejumlah tokoh pengusung ide-ide liberal tersentak hebat. Dalam beberapa hari terakhir ini, mereka ramai-ramai berkicau di media sosial terkait kehadiran Muhammad Jibril Abdurrahman sebagai narasumber dalam siaran langsung di siaran langsung di saluran CNN Indonesia.
Ulil Absar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal, melalui akun media Twitter berkicau, “Menyesalkan CNN Indonesia yang memberikan panggung kepada Arrahmah yg juga pendukung ideologi jihadisme. Tak etis!”
“Silakan CNN kalau mau undang Muhammad Jibriel lagi. Itu hak CNN. Lama kelamaan bisa menjadi al-Qaeda TV :)),” kata Zuhairi Misrawi, tokoh liberal yang akrab dengan kalangan Syiah, dengan nada sinis.
Protes bernada kecaman juga datang dari kalangan aktivis media. Ulin Yusron, mantan pendiri laman beritasatu.com sekaligus, juga mengkritik diangkatnya Jibril sebagai narasumber di portal berita CNN. “Untuk diketahu @CNN, kalau @cnntvindonesia adalah sahabat teroris,” kicaunya.
Luthfi Asyaukanie, aktivis Jaringan Islam Liberal, malah berkomentar lebih pedas lagi, “Suddenly, @CNNIndonesia seems like a fucking idiot @CNN.”
Entah ada yang mengomando atau tidak, agaknya protes bertubi-tubi yang dilayangkan sekelompok kaum liberal ini muncul secara bersamaan. Setidaknya ada sejumlah alasan yang mereka ajukan jikalau Jibril tak layak jadi narasumber yang diwawancarai media sekelas Tempo, CNN, Beritasatu, Tribunnews dan lainnya.
Pertama, segelintir orang yang kerap menjadi corong liberal itu emoh jika media nasional menghadirkan pengamat terorisme yang dulunya pernah dituduh sebagai teroris. Sebagaimana diketahui, Muhammad Jibriel pada tahun 2009 memang pernah ditangkap Densus 88 akibat aktivitasnya mendirikan media Islam, Arrahmah.com.
Kedua, mereka juga memprotes atribusi (penyebutan gelar, red) yang disematkan kepada Jibril sebagai CEO/pendiri Arrahmah. Mereka menuding media Islam seperti Arrahmah.com sebagai media yang intoleran dan mempromosikan jihad sebagai tindak kekerasan. “Tokoh-tokoh media liberal saja tidak ada yang diangkat, lha kok Arrahmah.com malah dijadikan narasumber?” Mungkin demikian para antek-antek liberal itu bergumam. Lalu, sejumlah penulis buku terorisme (yang tak laku) dan peneliti ISIS pun mereka obral untuk menyaingi ‘hegemoni’ Jibriel.
Ketiga, mereka juga khawatir jika pendiri media Islam seperti Jibril diberikan panggung, justru malah akan melegitimasi media-media Islam. Dalam sejumlah kasus-kasus keumatan, media Islam dianggap lebih otoritatif dalam memberitakan ketimbang media arus utama. Dan kelompok liberal enggan ini terjadi.
Cover all sides
Sebagai media yang pertama kali menampilkan sosok Muhammad Jibril, akhirnya CNN Indonesia pun menanggapi kritikan yang masuk. Lewat laman Facebook-nya, CNN Indonesia merilis tulisan berjudul ‘Mengapa Kami Mengundang Muhammad Jibriel Sebagai Narasumber’.
“Kami mendapat banyak pertanyaan di media sosial mengenai Muhammad Jibriel, CEO dan founder situs Ar-Rahmah, yang menjadi narasumber pada Jumat, 15 Januari 2016 malam. Berikut ini jawaban kami: Pascateror ledakan di Jl Thamrin, kami menyiarkan update informasi dan juga analisis terhadap serangan tersebut. Dalam prosesnya, kode etik jurnalisme mengharuskan kami meliput semua pihak (cover all sides). Tidak hanya satu sisi, misalkan aparat. Atau pengamat yang kebetulan banyak mendapat informasi tentang jaringan teroris dari aparat. Atau mantan teroris yang memang sudah bekerjasama dengan aparat. Di tengah tudingan terhadap keterlibatan Bahrun Naim dalam ledakan di Jl Thamrin, kami ingin mencari tahu sebanyak mungkin: apakah demikian halnya? Maka kami mencari narasumber alternatif.”
Menurut CNN Indonesia, Muhammad Jibril memberi banyak konteks dalam proses wawancara. Dia dapat menjelaskan siapa Afif (mereka pernah satu sel di LP Cipinang), siapa Bahrun, bagaimana keterlibatan ISIS, dan sebagainya. Inilah yang dianggap penting bagi CNN Indonesia dan mungkin seluruh warga Indonesia yang haus akan informasi tersebut.
“Dan Muhammad Jibriel, sekali lagi kami tegaskan, bukanlah satu-satunya narasumber yang kami undang. Sebagaimana media lain, kami pun terus mengikuti rilis aparat sebagai sumber resmi yang berwenang terkait investigasi di berbagai lokasi,” tulis CNN Indonesia.
CNN Indonesia juga menyebut atribusi kepada Jibril sebagai CEO Arrahmah muncul di layar diperlukan sebagai status sang narasumber.
Mereka juga menjelaskan bahwa mengundang Jibriel tidaklah sama dengan mengglorifikasi dia. “Dalam konteks ledakan di Jl Thamrin, Jibriel adalah narasumber yang layak berita (news worthy). Dan oleh karena itulah dia diwawancara,” demikian penjelasan CNN Indonesia.
Informasi Jibril Repotkan Siapa?
Bagi para penikmat berita, informasi yang disampaikan oleh Muhammad Jibriel Abdurrahman memang sangat menarik. Komentarnya berbeda dari sejumlah pengamat terorisme lainnya yang cenderung mengamini pernyataan sepihak dari kepolisian yang menyatakan Bahrun Naim adalah aktor intelektual dan perencana serangan bom Sarinah.
Jibril yang memang pernah menjadi teman satu sel dengan Bahrun Naim, ragu melihat kapabilitas Bahrun Naim dalam melakukan perencanaan plot serangan. Jibril di sejumlah media juga meragukan motivasi Bahrun Naim yang disebut-sebut menginginkan kekuasaan sebagai pemimpin ‘Katibah Nusantara’, konon ini merupakan sebuah kelompok pejuang Daulah Islam (IS) di Iraq dan Suriah yang berasal dari Indonesia.
“Kalaupun seandainya menunjukkan eksistensi sebagai calon pemimpin, bukan seperti teror Sarinah caranya. Itu justru akan dianggap sebagai kebodohan dan kelemahan karena serangan tidak rapi,” kata Jibriel seperti dimuat di laman Tempo.co.
Dengan pergaulannya yang cukup intensif selama di masa penahanan, mungkin Jibril lebih mengenal sosok Bahrun Naim dibanding para pengamat terorisme lainnya.
Jibril juga yang pertama kali mengidentifikasi dan menyebut sosok penyerang berkaus hitam dan bertopi yang menembak anggota polisi. Afif alias Sunakim, disebut oleh media massa secara perdana lewat mulut Jibriel. Jibriel mengenal Afif, juga semasa dalam tahanan.
“Afif adalah tukang urut Aman Abdurahman. Dia pernah dipenjara karena kasus teror di Aceh selama tujuh tahun di LP Cipinang,” kata Jibriel kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/1).
Agaknya, ada sejumlah pihak yang merasa kerepotan dengan informasi yang disampaikan Jibril. Sehingga, CNN Indonesia yang mula-mula menampilkan sosok dikenal flamboyan ini langsung dihujani serangan bertubi-tubi.
Pemberitaan terorisme dan kaum liberal yang hipokrit
Sejak kasus Bom Bali I dan II, media di Indonesia menaruh perhatian besar pada isu terorisme. Apalagi selama sepuluh tahun terakhir, aksi pengeboman terus terjadi dalam skala yang berbeda dan wilayah yang beragam. Terorisme menjadi isu yang menarik untuk diliput. Media televisi malah menghadirkan banyak tayangan dialog membahas terorisme.
Menjadi kewajiban jurnalis untuk memberikan informasi akurat dan berimbang kepada publik. Tapi pada praktiknya, ada kecenderungan pergeseran. Informasi yang dihidangkan relatif kering dan searah. Keterbatasan akses, begitu alasannya. Jurnalis umumnya hanya mendapatkan informasi dari kepolisian, itu pun pejabat humas atau penerangan. Walhasil, jurnalis mendapatkan informasi satu arah.
Akibat lanjutannya, liputan media acapkali tergelincir menjadi corong pihak kepolisian semata. Padahal, jurnalis mestinya paham media bisa dijadikan alat propaganda oleh kelompok tertentu.
Terkait hal itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pernah menerbitkan buku “Panduan Jurnalis Meliput Terorisme”. Menurut AJI, ada sejumlah dosa yang kerap dilakukan para jurnalis dalam meliput terorisme.
Dosa pertama, jurnalis acapkali mengandalkan satu narasumber resmi. Kedua, lalai dalam melakukan verifikasi. Ketiga, malas menggali informasi di lapangan. Keempat, lalai memahami konteks. Kelima, terlalu mendramatisasi peristiwa. Keenam, tidak berempati pada narasumber. Ketujuh, menonjolkan kekerasan. Kedelapan, tidak memperhatikan keamanan dan keselamatan diri. Dan kesembilan, menyiarkan berita bohong.
Dalam kasus bom Sarinah, sayangnya para jurnalis media-media arus utama mengulangi kembali dosa-dosa ini. Kehadiran Jibril sebagai mantan terorisme dipertanyakan segelintir pihak, tapi pada saat yang sama mereka tak keberatan jika mantan teroris seperti Ali Fauzi, Nasir Abbas dan Abdurrahman Ayyub dijadikan narasumber.
Pemberitaan yang menonjolkan kekerasan dan mendramatisasi peristiwa juga sekali lagi terjadi. Komisi Penyiaran Indonesia sampai harus menyemprot para pengelola media akibat pemberitaan bom Sarinah yang over eksposure.
Dandhy Laksono, Jurnalis senior yang juga menulis buku “Jurnalisme Investigasi”, turut mengkritik media arus utama terkait glorifikasi narasumber. “Di lapangan, ‘NKRI Harga Mati’ itu sama menakutkannya dengan ‘kafir halal darahnya’. Dan jangan tanya glorifikasi media pada yang pertama,” kata Dandhy.
Dandhy mengkritik para praktisi media yang bersifat hipokrit. Sebab, media arus utama kerap mengglorifikasi para pengusung semangat nasionalisme dengan slogan NKRI Harga Mati. Bagi jurnalis senior macam Dandhy, slogan semacam itu dianggap salah, jikalau memaksakan batas tanah airnya pada orang lain yang merasa tak sebangsa.
Walhasil, dari sini nampak terlihat betapa hipokritnya para pengusung ide-ide liberal. Mereka kerap meneriakkan kebebasan berekspresi dan berpendapat, tapi sering kesurupan ketika ideologi yang mereka asongkan mendapatkan rival yang sepadan.
Fitrahnya, manusia itu kerap bertarung dalam hatinya ketika mendengar bisikan dari malaikat yang mendorong kebaikan dan dari setan yang menjerumuskan pada jurang kesalahan. Agaknya, ‘bisikan’ Jibriel, semacam bisikan yang membuat para setan kejang-kejang.
(*/arrahmah.com)