Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
(Arrahmah.id) – Sukses deradikalisasi BNPT? Pada 30 Juni 2024, JI resmi membubarkan diri dan minta maaf. Termasuk perubahan kurikulum pendidikan pesantren yang berada di bawah komando JI sebelum bubar.
Pernyataan pembubaran diri dibacakan oleh Abu Rusdan dengan mengatasnamakan hasil musyawarah para petinggi dan senior Jamaah Islamiyah (JI). Bertempat di Sentul, Bogor. (link video)
Kesadaran yang terlambat disaat momentum tidak tepat. Dulu Majelis Mujahidin pernah menyampaikan pada ABB supaya membubarkan JI tapi ditolak, dan sekarang anak buahnya yang lakukan.
Terbukti, diantara penyakit aktivis jihad:
1. Inkonsisten, mudah berubah karena tekanan.
2. Kurang agresif dan responsif
3. Sulit menyimpan rahasia.
4. Kurang amanah, baik dalam janji maupun harta
Permohonan maaf, mestinya termasuk perampokan, pembunuhan yang telah mereka lakukan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Tapi perubahan paradigma mantan JI sebagaimana dalam pernyataan, merupakan pilihan yang sulit. Sehingga wajar bila muncul pertanyaan, setelah bubar dan minta maaf JI dapat apa? Adakah kompensasi sosial dan politiknya?
Perubahan ini, barangkali ada kaitannya dengan informasi dari Sekretaris Syech Hasyim Salamat, bernama Shalahuddin.
Ketika jamaah JI ditanya, saat itu di camp Abu Bakar, Filipina: “Kalian pulang ke Indonesia mau musuhi siapa? Sedang kami disini, jelas musuhnya penguasa Kristen”.
Orang JI nampak galau dan gagap, mereka tidak menjawab.
Menurut kabar yang dapat dipercaya, motivasi pembubaran organisasi yang pernah menghebohkan dunia itu, terungkap dalam musyawarah pimpinan struktural JI antara lain:
1. Untuk kemaslahatan dakwah, setelah selama 20 tahun sejak 2004 JI dinyatakan sebagai OT (Organisasi Terlarang) oleh pemerintah.
2. Menurut kabar, pendiri JI, Ustadz Abdullah Sungkar sebelum wafat (1937-1999) pernah mengatakan, bahwa pemerintah RI tidak tepat sebagai sasaran jihad.
3. Dengan mengakui NKRI, mereka ingin “kembali dari kolam kecil menuju kolam yang lebih besar” dengan berada di tengah masyarakat dengan damai dan harmoni.
Dengan pembubaran diri dan permintaan maaf, berarti secara sadar sebagai pengakuan atas kesalahan masa lalu, mengkhianati para pendiri yang telah meninggal, kehilangan pahala, dan yang tersisa pengakuan dosa.
Seharusnya malu kepada Allah, Rasulullah, dan para mujahid terdahulu. Perubahan pemikiran dan sikap hendaknya berdasarkan ilmu yang benar, bukan pragmatisme.
(ameera/arrahmah.id)