Pemerintah Jerman melarang seorang ayah menggunakan kata Jihad untuk nama anaknya, dengan alasan kata itu memiliki arti yang sama dengan teror dan kekerasan. Akibatnya, selama 18 bulan sejak sang anak lahir, sang ayah tidak bisa mendaftarkan nama anaknya ke kantor catatan penduduk.
Kasus ini sampai dibawa ke pengadilan dan setelah 18 bulan, hakim di pengadilan Berlin minggu ini akhirnya memutuskan bahwa Reda Seyam, warga Jerman keturunan Mesir, berhak menggunakan kata Jihad untuk nama anak laki-lakinya dan menolak keputusan kantor catatan penduduk distrik Charlottenburg yang tidak bersedia menerima aplikasi pendaftaran Seyam.
Menteri Dalam Negeri Berlin, Erhart Kurting menyatakan tidak puas dengan putusan pengadilan dan akan naik banding atas keputusan itu. “Putusan pengadilan yang telah mengizinkan nama semacam itu, sangat naif,” ujar Kurting.
“Kata itu artinya perang dan selalu dikaitkan dengan terorisme. Meski itu adalah nama yang biasa digunakan untuk anak laki-laki di dunia Islam, tapi harus ada pertimbangan khusus bagi penggunaan nama itu di negara di mana anda menetap sekarang,” tukas Kurting.
Kepolisian Kota Berlin juga menyatakan banding dengan putusan pengadilan itu. Namun hakim dalam putusannya menegaskan bahwa kata Jihad adalah kata yang sudah biasa digunakan untuk nama laki-laki di dunia Arab dan di kalangan Muslim.
Pemerintah Jerman memang menerapkan aturan ketat terkait pemberian nama bagi anak-anak. Para orang tua di negeri itu, jika ingin memberi nama pada anaknya yang baru lahir, bisa memilih satu nama dari daftar yang disediakan oleh lembaga pengesahan nama.
Nama-nama seperti Hitler dan Stalin adalah salah satu nama yang tidak boleh digunakan di Jerman. Begitu juga dengan nama Usamah bin Ladin. Pada tahun 2002, pemerintah Jerman tidak mengizinkan pasangan suami-isteri keturunan Turki yang ingin menamakan anak mereka dengan nama Usamah bin Ladin. (ln/iol/eramuslim)