TOKYO (Arrahmah.com) – Pejabat senior pemerintahan Jepang dikabarkan tidak akan berpartisipasi dalam Olimpiade Beijing pada Februari mendatang, bergabung bersama Amerika Serikat dalam boikot diplomatik, ungkap surat kabar Yomiuri pada Sabtu (11/12/2021).
Awal pekan ini, Kanada telah bergabung bersama AS, Australia dan Inggris dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan mengirim pejabat tinggi pada pertandingan tersebut, dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Cina.
Yomiuri mengatakan Jepang kemungkinan akan membuat keputusan resminya pada akhir bulan.
Salah satu stasiun TV Jepang NHK juga mengungkapkan bahwa Tokyo “condong ke arah tidak mengirim menteri kabinet di Olimpiade Beijing mendatang”.
Satu-satunya pejabat yang sekarang diharapkan hadir adalah personel yang terkait dengan Olimpiade, termasuk Seiko Hashimoto, mantan kepala panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo, kata surat kabar itu.
Pada Jumat (10/12), kepala juru bicara Jepang mengatakan tidak ada yang diputuskan apakah negara itu berencana mengirim pejabat untuk menghadiri acara tersebut.
NHK menambahkan bahwa para pejabat sedang mempertimbangkan langkah-langkah baru-baru ini oleh Washington dan negara-negara lain, “dan fakta bahwa Cina mengirim kepala Administrasi Umum Olahraga ke Olimpiade Tokyo 2020 sebagai kepala timnya”.
Sebelumnya, pada Senin (6/12), AS mengumumkan boikot diplomatik mengutip pelanggaran hak asasi “mengerikan” Cina, sebuah langkah yang menurut pemerintah Cina akan disambut dengan “tindakan balasan yang tegas”.
Di antara alasannya, Gedung Putih mengutip perlakuan Beijing terhadap Muslim Uighur di wilayah barat Xinjiang dalam membenarkan boikot.
Hubungan AS-Cina telah tegang dalam beberapa tahun terakhir karena beberapa masalah termasuk Taiwan, Hong Kong dan perlakuan Cina terhadap Uighur, bahkan ketika Biden dan Presiden Cina Xi Jinping menekankan hubungan dekat mereka selama panggilan virtual bulan lalu.
Cina menolak kritik dan sanksi internasional atas situasi di Xinjiang, di mana PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia percaya setidaknya satu juta warga Uighur dan anggota minoritas Muslim lainnya telah dipenjara. (rafa/arrahmah.com)