SUKOHARJO (Arrahmah.com) – Ada yang janggal dalam kematian Hendro Yunanto yang tewas ditangan Densus 88 dimana Densus 88 mengklaim melakukan penembakan karena ada aksi perlawanan dari Sigit Qurdowi dan Hendro. Namun, jenazah Hendri ‘mengatakan’ hal sebaliknya.
Tim advokasi The Islamic Study and Action Center (ISAC) menganggap kematian Hendro tak wajar, dengan dugaan kuat bahwa Hendro meninggal setelah dianiaya dan ditembak berulang-ulang. Mereka mengungkapkan bukti jenazah Hendro terdapat lebam di wajah, terdapat luka lecet di kepala dan 10 luka tembakan yang terdapat di bagian kepala, leher, dada, tangan serta perut.
Terkait hal tersebut Tim advokasi ISAC mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo pada Selasa (31/5/2011) siang. Gugatan itu ditujukan kepada Kapolri Kadensus 88 Anti Teror Mabes Polri.
Gugatan terkait kasus tewasnya Hendro Yunanto itu diterima oleh PN Sukoharjo melalui Panitera Muda Pidana, Sri Widodo. Pengajuan gugatan diterima dengan nomor register 02/Pid-PRA/2011/PN Skh.
“Tertulis penggugat adalah Wiyono Aryo Negoro yang menerima kuasa dari orangtua Hendro Yunanto, yakni Lugiman Manto Sumarto, warga Cemani RT 3/RW XV, Cemani, Grogol, Sukoharjo,” jelas Sri Widodo sesaat setelah menerima gugatan itu.
Dalam kesempatan itu, Wiyono didampingi oleh Ketua ISAC, M Kurniawan dan Sekretaris ISAC, Endro Sudarsono menjelaskan bahwa pihaknya memiliki sembilan alasan dalam gugatan tersebut, semua menyangkut kinerja Densus 88 yang menewaskan Hendro.
Dari investigasi di tempat kejadian perkara (TKP), ISAC menyimpulkan bahwa Hendro ditembak dari jarak dekat. ISAC juga merujuk temuan Komnas HAM mengenai tidak adanya tanda tembakan serta tidak adanya perlawanan yang diberikan oleh Hendro.
“Dari temuan di TKP Hendro ditembak dari jarak dekat, hal itu dibuktikan dengan bercak darah yang menempel pada tembok setinggi 7 meter. Selain itu, temuan Komnas HAM, Hendro tidak mungkin menembak karena tidak ada tanda-tanda Hendro bisa melepaskan tembakan,” ujar Endro.
ISAC juga menilai Densus tak memberi tembakan peringatan atau tembakan untuk melumpuhkan, namun tembakan mematikan secara berulang-ulang. Sejauh ini, pihak keluarga juga belum menerima surat penangkapan Hendro. Dalam hal ini Densus mengabaikan asas praduga tak bersalah.
ISAC juga mempersoalkan kematian Nur Iman serta menganggapnya sebagai kematian misterius. “Nur Iman adalah saksi kunci yang ada di TKP. Tetapi mengapa dia yang jaraknya antara 30-50 meter harus mati dengan luka tembak? Kenapa juga Kapolda Jateng mengklaim Nur Iman tewas karena peluru nyasar dan cenderung menyudutkan Sigit Qurdhowi,” tukasnya.
Mereka menganggap tindakan polisi melawan Pasal 28 (i) UUD 1945 mengenai hak warga untuk hidup dan tidak disiksa. Mereka juga menganggap aksi Densus melanggar Pasal 18 ayat 1 UU No 39/1999 tentang hak tidak dianggap bersalah terhadap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut. Selain itu, mereka juga menempatkan polisi melanggar Pasal 29 UU No 39/1999, Pasal 33 ayat 1 dan 2 UU No 39/1999 serta asas hukum humaniter internasional, yakni asas perikemanusiaan.
Terkait penembakan Nur Iman, penyelidikan polisi seperti diperlambat. Padahal untuk menentukan peluru siapa yang ada di tubuh Nur Iman tidak membutuhkan waktu lama. Belum lagi senjata laras panjang yang diklaim polisi ternyata hanya sebuah senapan angin rusak, yang notabene milik ayah Sigit yang biasa digunakan untuk berburu.
Misteri apa yang tersembunyi dibalik kematian Sigit dan Hendro? Mungkinkah ‘terorisme’ kini hanya menjadi alasan untuk ‘menyingkirkan’ orang atau kelompok atas ‘request’ dari pihak tertentu? Atau jangan-jangan ‘terorisme’ digunakan sebagai bungkus kegiatan terorisme yang lain atas nama hukum? Wallohua’lam (voaI/rasularasy/arrahmah.com)