JAKARTA (Arrahmah.com) – Jenazah korban penembakan Detasemen Khusus (Densus)88 yang hanya berdasarkan tuduhan “terduga teroris”, tidak seharusnya diabaikan hak-haknya. Dari awal januari hingga akhir bulan dan kini telah memasuki hari ke-22 dari penembakan Densus di Makassar, keluarga masih belum menerima jasad jenazah.
Hal itu dikatakan Direktur The Community of Islamic Ideological Analyst, Harits Abu Ulya kepada arrahmah.com, Sabtu (26/1/2013).
“Ini indikasi pihak aparat seperti tidak mengerti kaidah-kaidah agama lagi. Ini sangat dzalim dan melanggar hukum Allah,” Ujarnya.
Kata Harits, menunda penguburan jenazah karena sebab yang syar’i memang hukumnya mubah, tapi dalam kasus ini ia mempertanyakan apa alasan menunda pengembalian jenazah hingga memakan waktu tiga minggu.
Baik secara syar’i, medis maupun kepentingan forensik, menurutnya, tidak memenuhi syarat. Apalagi dengan alasan tes DNA, karena untuk kepentingan tes DNA setelah didapat sampel dari jenazah atau orang yang hendak di tes maka tidak ada alasan untuk menahan jenazah tersbut.
“Ini bentuk kedzaliman yang luar biasa, tidak hanya saat hidup tapi sampai seorang yang tertuduh teroris ketika sudah membujur kaku jadi mayat juga diperlakukan semena-mena,” kritiknya.
Harusnya, kata Harits, MUI perlu keluarkan fatwa dalam kasus ini. MUI tidak boleh diam begitu saja karena hal ini sudah menabrak ajaran-ajaran Islam dan sensitif.
“Kenapa MUI diam? Keluarga mereka juga tertahan untuk penuhi kewajiban terhadap jenazah.Sepertinya Ini kedzaliman sistemik yang sudah kelewat batas dalam isu terorisme,” tegasnya.
Belum lagi nanti masalah penguburan, menurut Harits ada peran intelejen gelap yang membuat opini ke tengah masyarakat untuk menolak penguburan jenazah. Masyarakat diprovokasi dengan alasan terorisme untuk menolak penguburan tertuduh teroris.
“Semoga Allah swt menurunkan keputusan terbaikNya kepada orang-orang yang berbuat dzalim kepada sesamanya yang tidak pada tempatnya,” tutupnya. (bilal/arrahmah.com)