JAKARTA (Arrahmah.id) – Jumlah jemaah haji Indonesia yang meninggal dunia di Tanah Suci pada tahun ini meningkat signifikan. Terkait hal ini, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas ingin ada perubahan regulasi agar kasus kematian jemaah pada penyelenggaraan haji tahun-tahun berikutnya bisa ditekan.
Berdasarkan data Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat), hingga Jumat (28/7/2023) pukul 07.30 WIB, jumlah jemaah haji Indonesia yang meninggal dunia di Tanah Suci mencapai 752 orang. Jumlah ini melesat melampaui kasus kematian haji pada 2015 dan 2017.
Memang ini tertinggi dalam proses perhajian sejak 2017. Tertinggi karena kita memaklumkan ya karena jemaah haji lansia juga sangat banyak,” ujar Menag Yaqut saat menyambut kedatangan petugas haji PPIH Arab Saudi di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Kamis (27/7/2023), lansir Liputan6.com.
Selain itu, menurut Menag, kondisi cuaca yang sangat panas di Arab Saudi juga turut mempengaruhi peningkatan kasus kematian jemaah haji.
“Cuaca sangat panas mendekati 50 derajat Celsius. Saat berada di Arafah rata-rata 44 derajat,” katanya.
Yaqut mengaku sudah membahas lonjakan kasus kematian jemaah itu dengan Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes Liliek Marhaendro Susilo. Hal ini akan dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji tahun berikutnya.
“Kita sudah bicara dengan Kapus Haji Kemenkes agar mekanisme ke depan soal istitha’ah kesehatan ini juga ikut menjadi bagian dari perbaikan. Misalnya, sebelum jemaah melakukan pelunasan, jemaah ini melakukan check kesehatan lebih dahulu,” tuturnya.
Dia ingin istitha’ah kesehatan menjadi syarat utama pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih). Sehingga nantinya hanya jemaah yang benar-benar mampu secara kesehatan jasmani dan rohani yang bisa diberangkatkan ke Tanah Suci untuk ibadah haji.
“Kalau dinyatakan sehat, kuat untuk diberangkatkan, baru dia melakukan pelunasan,” jelasnya.
Yang terjadi selama ini, jemaah melakukan pelunasan Bipih terlebih dulu baru melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum diberangkatkan ke Tanah Suci. Akibatnya, tidak sedikit jemaah yang diberangkatkan memiliki catatan khusus kesehatan atau kategori risiko tinggi (risti).
“Menurut kami ini terbalik. Jadi harus kesehatan dulu. Kalau memang staminanya oke, siap untuk melaksanakan ibadah, baru dia diperbolehkan untuk melunasi. Karena kita tahu ibadah haji adalah ibadah fisik tentu membutuhkan performa fisik yang matang, dan prima,” kata Yaqut.
Meski begitu, Menag menegaskan bahwa kuota prioritas jemaah lanjut usia (lansia) tetap ada. Nanti jemaah lansia dengan kondisi kesehatan baik yang akan diutamakan untuk diberangkatkan ke Tanah Suci.
“Jemaah haji lansia tetap menjadi prioritas, sampai habis lah, kira-kira begitu. Karena ini kan menjadi tren terus. Kalau kita tidak kurangi dengan kebijakan-kebijakan tertentu ya jemaah lansia tidak akan berangkat-berangkat. Tetapi itu dengan istitha’ah kesehatan yang menjadi syarat. Jadi jemaah lansia yang secara fisik mampu,” jelasnya.
Istitha’ah kesehatan menjadi syarat pelunasan Bipih ini rencananya akan diterapkan mulai musim haji 2024 mendatang.
“Ini yang kita rencanakan ya, belum menjadi keputusan. Kita rencanakan untuk diberangkatkan ibadah,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)