BERLIN (Arrahmah.com) – Ancaman baru yang diberikan oleh al Qaidah dan kritik tajam terhadap Jerman -yang memerintahkan penyerangan udara yang menewaskan lebih dari puluhan orang beberapa waktu lalu- telah mendorong Jerman untuk lebih memfokuskan misinya di Afghanistan.
Kisruh seputar pemfokusan ini dilakukan jelang pemilihan umum nasional yang akan dilakukan oleh negeri yang pernah ada dalam penguasaan Heil Hitler tersebut. Hal yang cukup wajar bagi negara yang menerapkan sistem sampah demokrasi. Jelang perhelatan akbar pemilunya, demi meraup suara terbanyak, berbagai isu diangkat untuk menarik simpati masyarakat. Semua masalah menjadi penting, semua janji diobral mati-matian.
Kanselir Angela Merkel, sebagaimana halnya menteri luar negeri dan saingan utama dalam pemungutan suara hari Minggu, Frank-Walter Steinmeier, gigih mendukung penyebaran pasukannya di Afghanistan, meskipun hasil jajak pendapat memperlihatkan bahwa 50 persen masyarakat menginginkan sekitar 4.220 prajuritnya pulang.
Pada Senin (21/9), Merkel meminta agar Jerman tetap bersikap tenang terhadap ancaman teror yang menimpa negaranya dan meminta masyarakat agar memilih calon yang akan menyempurnakan misi perang mereka di Afghanistan, dengan mengatakan bahwa “Siapapun harus tetap yakin bahwa segala hal sedang dilakukan demi keamanan mereka.”
Merkel mengindikasikan bahwa Afghanistan akan menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri atas untuk siapa pun yang memenangkan pemilu.
“Afghanistan telah perlahan-lahan tumbuh menjadi masalah nyata bagi para politisi Jerman,” kata Eberhard Sandschneider dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman, dan menegaskan bahwa 90 persen anggota parlemennya mendukung misi perang salibis tersebut.
“Cepat atau lambat hal itu akan menimbulkan situasi yang sangat pelik,” kata Sandschneider.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Forsa Institute, yang diambil pada 10-11 September, menunjukkan 55 persen warga Jerman menginginkan pasukan mereka dikirim pulang.
Para peserta jajak pendapat Jerman jauh lebih peduli terhadap masalah perekonomian daripada kebijakan luar negerimua. Sebanyak 57 persen dari mereka yang disurvei dalam jajak pendapat Forsa, menganggap bahwa posisi negaranya di Afghanistan tidak sama sekali menyita kepedulian mereka; hanya 3 persen yang menganggapnya sebagai faktor yang sangat penting.
Jumat lalu, pemerintah Jerman dikejutkan oleh munculnya video rekaman yang disinyalir berisi ancaman dari al-Qaidah yang mengancam Jerman dengan ‘sebuah kejutan pasca pemilu’ jika pemerintah mereka tidak mendorong partai politik untuk menarik para prajurit dari Afghanistan.
Menteri Dalam Negeri Jerman, Wolfgang Schaeuble, terang-terangan menepis video bernada ancaman tersebut, dan meyakinkan diri bahwa ‘teroris’ tidak akan mampu mempengaruhi pembentukan demokrasi berpendapat di Jerman.
Pasca penyerangan udara yang memojokkan panglima Jerman sebagai tersangkanya, Merkel bersama dengan para pemimpin Inggris dan Prancis menyerukan diadakannyakonferensi internasional untuk merencanakan suatu strategi baru di Afghanistan, mendesak dilakukannya pelatihan terhadap polisi dan tentara lokal di Afghanistan agar tanggung jawab keamanan pun bisa segera diserahkan oleh tentara salibis internasional.
Selama bertahun-tahun, tentara Jerman diklaim merupakan tentara yang paling ‘aman’ dari penyerangan mujahidin di Afghanistan. Namun, seiring dengan terus meningkatnya pengaruh Taliban di wilayah utara, di mana Jerman ditempatkan, semuanya telah berubah.
“Siapapun yang akan menduduki pemerintah selanjutnya, mereka perlu menghabiskan banyak energi untuk lebih memfokuskan misi di Afghanistan,” kata Sandschneider.
Di sisi lain, Jerman pun harus menghadapi masalah yang cukup besar dimana dalam sejarahnya, secara konstitusional Jerman dilarang untuk berpartisipasi dalam perang apapun, kecuali sebagai tindakan pertahanan.
Akibatnya, para menteri Jerman pun berhati-hati untuk menghindari penyebutan konflik Afghanistan sebagai perang, walaupun pasukan tempurnya terus meningkat dan sebanyak 35 personilnya telah kehilangan kehidupan mereka di sana.
“Sebuah perang terjadi antara bangsa-bangsa,” ujar Steinmeier baru-baru ini pada media mingguan Bild am Sonntag.
“Di Afghanistan kami berjuang bersama-sama dengan pemerintah Afghanistan melawan teroris, oleh karena itu bukan perang tetapi misi tempur.” (althaf/yahoonews/arrahmah.com)