SINGAPURA (Arrahmah.com) – Jejak peninggalan Islam yang tersebar di Singapura mulai teruak. Beberapa fakta mengenai masjid-masjid yang hilang digerus zaman mulai kembali digali oleh para peneliti, termasuk Masjid yang terletak di jalan Hajijah, di Upper East Coast Road.
Masjid Kampong Hajijah, bagitulah masyarakat sekitar menyebutnya. Sebuah masjid sederhana yang digunakan oleh 300 penduduk Kampong Hajijah, sebuah desa di tepi pantai.
Pada tahun 1900, masjid dan desa di sekitarnya diruntuhkan untuk melancarkan pembangunan di daerah tersebut yang dimulai pada pertengahan tahun 1980.
Peneliti warisan budaya di Singapura, Sarafian Salleh mengatakan kepada CNA bahwa Masjid Kampong Hajijah mungkin hanya satu dari 120 masjid yang tersebar di pulau itu pada pertengahan abad ke-20, sebelum terbentuknya organisasi Dana Pembangunan Masjid pada tahun 1975.
Masjid dan desa tersebut dinamai Madam Hajijah Cemat, seorang Melayu pemilik tanah yang kaya yang mendirikan desa dan masjid, serta menyumbangkan tanah untuk Masjid Kampung Siglap di dekatnya, yang masih berdiri sampai sekarang.
Pengalaman Sarafian dalam mendokumentasikan Masjid Kampong Hajijah pada tahun 1986, ketika dia baru berusia 16 tahun, memicunya untuk terjun mendalami dunia fotografi warisan budaya di Singapura. Namun, gairah ini perlahan memudar setelah ia melanjutkan studinya, menikah dan memiliki anak.
“Foto-foto yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun akhirnya terlupakan dan hilang,” katanya.
Semangatnya kembali muncul pada tahun 2007, ketika ia membuka kembali foto-foto lama dan mulai membagikannya di media sosial.
“Postingan saya mengenai foto-foto lama Kampong Hajijah menarik perhatian Ibu Hanizah Abdul Ghani yang merupakan cicit dari Nyonya Hajijah, wanita yang membangun Masjid Hajijah pada tahun 1900,” katanya.
“Ibu Hanizah berbagi cerita tentang nenek buyutnya, dan ini mendorong saya untuk berpikir bahwa setiap masjid memiliki kisah hebat untuk diceritakan”, imbuhnya.
Sarafian (50), seorang insinyur dan pedagang, yang juga menjadi sukarelawan sebagai pemandu wisata dalam organisasi My Community mengatakan bahwa jumlah “masjid yang hilang” di Singapura tidak terdokumentasi dengan baik.
Namun, penelitiannya dengan temannya Zaini Kassim telah membantu mengatasi kesenjangan ini. Mereka berusaha menemukan dan membuat katalog masjid-masjid yang terlupakan tersebut, bekerja dengan informasi dari arsip serta kontribusi dari teman-teman.
“Zaini Kassim telah mengkonsolidasikan nama-nama masjid yang ada dan yang hilang di Singapura dan kami telah secara konsisten memperbarui informasi di media sosial,” kata Sarafian.
Zaini Kassim (56), mengatakan bahwa dia mulai mendokumentasikan masjid pada 1980-an, ketika ia menyadari “masjid kampung” seperti itu perlahan-lahan menghilang.
Zaini mencatat bahwa Masjid Kampong Holland, ditutup pada tahun 2014 setelah berdiri sejak tahun 1950-an, di mana pertama dibangun sebagai surau (ruang shalat kecil) dan kemudian direnovasi menjadi masjid dengan kapasitas 500 jamaah pada tahun 1975.
Hanya segelintir masjid kampung yang tersisa di sini, dengan izin pendudukan sementara yang dikeluarkan oleh Otoritas Pertanahan Singapura seperti Masjid Petempatan Melayu Sembawang, yang terletak di daerah hutan di pinggiran Sembawang, sepelemparan batu dari Selat Johor.
Yang lainnya adalah Masjid Hang Jebat yang berusia 68 tahun di Queenstown, yang berada di ujung deretan rumah bertingkat era kolonial di Jalan Hang Jebat, di sebelah rel kereta KTM (Malayan Railway) yang beroperasi sembilan tahun lalu.
Sebuah grup Facebook, dengan nama Masjid Singapura yang Hilang (Lost Mosques of Singapore), yang memiliki sekitar 2.400 anggota, hampir setiap hari memposting masjid-masjid yang sudah lama hilang seperti masjid Paya Goyang dan Angullia Park di Orchard Road, dan Masjid Aminah di Geylang, yang kini berubah menjadi satu blok Perumahan Dewan.
Fondasi penelitian Sarafian dan Zaini adalah sebuah buku dari awal tahun 1980-an yang berjudul Masjid-Masjid di Singapura 1982 (Mosques in Singapore 1982), sebuah buku tipis karya Syed Abu Bakar Alsagoff yang juga membuat katalog masjid-masjid di negara itu pada saat itu.
Terlepas dari “dokumentasi lengkap” yang ditemukan dalam buku ini, kedua pria itu, serta teman-teman media online lainnya, telah mampu mengidentifikasi masjid-masjid yang tidak terdokumentasi.
Sarafian berharap dapat menyusun sebuah buku, mendokumentasikan masjid-masjid serta cerita-cerita dari penduduk desa yang dulu tinggal di sekitar mereka.
Sementara itu, Zaini berharap lebih banyak buku seperti itu akan ditulis untuk membuat catatan masjid dan desa yang sekarang dilupakan.
Dengan Islam datang ke wilayah ini berabad-abad yang lalu, Sarafian mengatakan masjid-masjid yang hilang ini kemungkinan lebih dulu dibangun dari pada Masjid Omar Kampong Melaka yang dibangun pada tahun 1820 oleh dermawan Arab Syed Omar Aljunied, yang sering dikenal sebagai masjid tertua di Singapura.
“Masjid-masjid di masa lalu umumnya ditemukan di sepanjang wilayah pesisir Singapura dan sepanjang tepian sungai,” kata Sarafian.
“Ada masjid yang ditemukan lebih jauh di pedalaman, tetapi ini lebih sedikit daripada yang ditemukan di sepanjang daerah pesisir,” tambahnya.
“Ini termasuk Masjid Haji Osman di Seranggong Kechil (sekarang Serangoon), dan Masjid Wak Sumang di Kampong Punggol (sekarang Punggol Point),” katanya, ia juga mencatat berbagai sumber menunjuk ke Kampong Punggol sebagai salah satu pemukiman paling awal sebelum kedatangan Stamford Raffles.
Konon, Wak Sumang merupakan nama prajurit Jawa yang telah mendirikan Kampung Punggol. Masjid Wak Sumang dihancurkan pada tahun 1995 untuk memberi jalan bagi pembangunan di daerah tersebut.
“Masjid-masjid ini umumnya dibangun di tengah-tengah komunitas Muslim yang tinggal dan berdagang di desa masing-masing dan berfungsi sebagai tempat sholat, pertemuan kampung, dan pengajaran pengetahuan agama,” kata Sarafian.
Ia juga menjelaskan bahwa masjid-masjid kampong tidak memiliki menara dan kubah. Sebaliknya, arsitektur masjid dirancang untuk beradaptasi dengan iklim tropis Asia Tenggara.
“Masjid-masjid ini dibangun di atas panggung, yang memungkinkan angin berhembus di bawah masjid untuk mendinginkan ruang dan juga untuk mengantisipasi banjir yang kemungkinan terjadi,” katanya.
“Atapnya dibuat curam untuk memudahkan air hujan mengalir ke bawah dan tidak menggenangi atap, selain itu juga untuk mengurangi silau dari matahari,” paparnya.
Sarafian menambahkan bahwa kebanyakan masjid-masjid ini dibangun di sekitar sumur masyarakat, di mana penduduk desa dapat mengambil air untuk melakukan wudhu sebelum shalat.
Masjid-masjid yang lebih tua juga memiliki instrumen perkusi yang disebut bedok (bedug) dan kentong, yang dibunyikan untuk memanggil penduduk agar melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah.
“Masjid-masjid ini lebih kecil dan hanya menampung tidak lebih dari 300 orang,” katanya, sangat berbeda dengan Masjid Darul Ghufran di Tampines yang bisa menampung hingga 5.000 jamaah saat ini.
Sementara masjid yang lebih baru umumnya diberi nama Arab, Sarafian mengatakan masjid yang lebih tua memiliki “nama Melayu”, yang terkait dengan kepribadian yang dikenal atau lokasi bersejarah.
Mendokumentasikan masjid-masjid yang terlupakan ini adalah proses penting dalam melestarikan sejarah Singapura, katanya.
“Menjaga nama asli masjid membantu mempertahankan sejarah orang-orang yang tinggal di sana yang merupakan blok bangunan bangsa,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)