Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
(Arrahmah.id) – Kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump, khususnya di kawasan Timur Tengah, memunculkan pertanyaan mendasar tentang keberlanjutan kekuatan global negara tersebut. Fokus pada dukungan tanpa syarat terhadap “Israel”, keterlibatan militer yang intensif, dan pendekatan transaksional terhadap sekutu tradisional, oleh para kritikus dianggap sebagai pengurasan sumber daya dan berpotensi mengikis pengaruh global Amerika. Untuk memahami potensi risiko jangka panjang dari kebijakan ini, kita dapat menelaah secara lebih mendalam faktor-faktor kompleks yang menyebabkan keruntuhan Kekaisaran Romawi dan mencari resonansi dalam situasi Amerika Serikat saat ini.
Beban Imperium yang Berlebihan: Refleksi pada Keterlibatan Militer AS di Timur Tengah
Salah satu aspek krusial dalam kemunduran Romawi adalah beban mempertahankan wilayah yang luas dan beragam dengan sumber daya yang semakin menipis. Kampanye militer yang berkepanjangan di berbagai front, kebutuhan untuk memadamkan pemberontakan, dan biaya administrasi wilayah yang luas secara bertahap menggerogoti kas negara dan mengalihkan perhatian dari masalah-masalah domestik yang mendesak.
Keterlibatan militer Amerika Serikat yang mendalam dan berkelanjutan di Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir, termasuk perang di Irak dan Afghanistan, operasi kontraterorisme, dan dukungan logistik untuk berbagai konflik, dapat dilihat sebagai beban imperium modern. Kebijakan Trump yang bukannya mengurangi keterlibatan ini, justru cenderung mempertegas dukungan militer kepada sekutu tertentu dan meningkatkan ketegangan dengan pihak lain, berpotensi memperpanjang dan memperdalam beban ini. Dana dan sumber daya yang dialokasikan untuk proyeksi kekuatan di Timur Tengah bisa jadi mengorbankan investasi dalam infrastruktur domestik, pendidikan, atau inovasi teknologi, yang justru merupakan fondasi kekuatan jangka panjang sebuah negara.
Erosi Kohesi Sosial dan Polarisasi Internal: Cermin Retaknya Persatuan Romawi
Kekaisaran Romawi pada masa-masa akhirnya mengalami polarisasi sosial dan politik yang parah. Senat yang terpecah belah, persaingan antar faksi elite, dan ketidakpuasan rakyat jelata terhadap ketidakadilan ekonomi melemahkan persatuan dan kemampuan negara untuk merespons tantangan eksternal.
Amerika Serikat saat ini juga menghadapi tingkat polarisasi politik dan sosial yang tinggi. Perbedaan ideologis yang mendalam, kesenjangan ekonomi yang melebar, dan erosi kepercayaan terhadap institusi-institusi publik menciptakan perpecahan internal. Kebijakan luar negeri Trump, dengan retorikanya yang sering kali konfrontatif dan kecenderungannya untuk mengambil posisi yang memecah belah, baik di dalam maupun di luar negeri, berpotensi memperburuk polarisasi ini. Ketika fokus dan energi bangsa terpecah oleh perselisihan internal, kemampuan untuk bertindak secara kohesif dan efektif di panggung global dapat berkurang, sebagaimana yang dialami Romawi ketika perselisihan internal melumpuhkan pengambilan keputusan strategis. Seperti yang diperingatkan oleh filsuf George Santayana, “Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu, dikutuk untuk mengulanginya.” Kegagalan untuk belajar dari sejarah Romawi dapat membawa Amerika Serikat pada nasib yang serupa.
Kebijakan Luar Negeri yang Transaksional dan Hilangnya Legitimasi Moral: Mengikis Fondasi Kekuatan Romawi
Kekuatan Romawi tidak hanya didasarkan pada kekuatan militernya, tetapi juga pada sistem hukumnya, infrastrukturnya, dan, yang tak kalah penting, pada gagasan tentang Pax Romana – sebuah periode perdamaian dan stabilitas yang (relatif) ditegakkan oleh Roma. Kebijakan luar negeri Romawi, meskipun seringkali ekspansionistis, juga didasarkan pada gagasan tentang tatanan dan supremasi hukum.
Kebijakan luar negeri Trump yang cenderung transaksional, di mana aliansi dan dukungan seringkali didasarkan pada keuntungan jangka pendek dan tuntutan timbal balik langsung, berpotensi mengikis legitimasi moral dan kepemimpinan Amerika Serikat di dunia. Ketika norma-norma internasional dan komitmen jangka panjang dipertanyakan, sekutu mungkin menjadi ragu dan musuh menjadi lebih berani. Hilangnya kepercayaan dan legitimasi ini mirip dengan bagaimana korupsi dan ketidakadilan di akhir Romawi menggerogoti otoritas dan rasa hormat terhadap kekaisaran, baik di dalam maupun di luar negeri.
Ketergantungan pada Tentara Bayaran dan Erosi Kewarganegaraan: Refleksi pada Beban Militer AS
Seiring waktu, Romawi semakin bergantung pada tentara bayaran barbar untuk mengisi barisan legiunnya. Hal ini tidak hanya mahal tetapi juga berpotensi berbahaya karena loyalitas tentara bayaran tidak selalu terjamin.
Sementara Amerika Serikat tidak bergantung pada tentara bayaran asing dalam skala yang sama, beban keuangan dan sosial dari militer yang besar dan terus-menerus terlibat dalam konflik asing dapat menciptakan semacam “kelelahan kewarganegaraan,” di mana warga negara merasa semakin jauh dari beban dan tanggung jawab keamanan nasional. Ketika sumber daya negara terus dialirkan untuk militer di luar negeri, dan ketika manfaat langsung dari keterlibatan ini tidak dirasakan secara luas oleh masyarakat, hal ini dapat mengikis dukungan domestik dan rasa memiliki terhadap proyeksi kekuatan global.
Pentingnya Keadilan dan Perdamaian: Refleksi dari Pandangan Einstein
Dalam konteks dukungan AS terhadap “Israel”, penting untuk mempertimbangkan pandangan Albert Einstein, seorang tokoh yang sangat dihormati. Meskipun ia mendukung gagasan tentang tanah air Yahudi, ia juga memperingatkan tentang bahaya nasionalisme sempit dan perlunya kerjasama dengan bangsa Arab.
Einstein pernah berkata, “Saya takut akan kerusakan batin yang akan diderita Yudaisme—terutama dari perkembangan nasionalisme sempit di antara kita sendiri.” Pandangannya menekankan pentingnya keadilan dan perdamaian, yang relevan dalam mempertimbangkan kebijakan AS di Timur Tengah.
Kesimpulan: Memetik Pelajaran Pahit dari Sejarah
Analisis keruntuhan Kekaisaran Romawi menawarkan lensa yang berguna untuk mengevaluasi potensi konsekuensi jangka panjang dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat saat ini. Pemborosan sumber daya untuk keterlibatan militer yang berkepanjangan, polarisasi internal yang melemahkan kohesi nasional, kebijakan luar negeri yang transaksional yang mengikis legitimasi moral, dan potensi erosi kewarganegaraan akibat beban imperium yang berlebihan, semuanya memiliki resonansi yang mengkhawatirkan dengan dinamika yang berkontribusi pada kemunduran Romawi.
Meskipun Amerika Serikat memiliki keunggulan dan konteks yang berbeda, mengabaikan pelajaran sejarah adalah sebuah risiko besar. Kebijakan luar negeri yang tidak berkelanjutan secara ekonomi, yang memperdalam perpecahan internal, dan yang mengikis tatanan internasional berbasis aturan, berpotensi mempercepat erosi kekuatan dan pengaruh Amerika Serikat di dunia. Belajar dari kejatuhan raksasa masa lalu bisa juga bermakna seperti meramalkan nasib yang sama, sebuah refleksi yang mendalam dan perubahan kebijakan yang bijaksana demi menjaga keberlanjutan kekuatan dan kemakmuran bangsa.***
(Samirmusa/arrahmah.id)
FOLLOW US
📢 Telegram Utama
🎥 Telegram Video
📸 Instagram
🐦 X (Twitter)
💬 WhatsApp Channel
🎵 TikTok
▶️ YouTube
🔴 Redz App