KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA yang dikenal juga dengan Ustadz “Pemburu Hantu” mengkritisi Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur’an karya Al-Ustadz Muhammad Thalib. Kritiknya itu dimuat pada Buletin Jum`at QUM edisi 26 November 2011yang beredar di Jakarta dan Media online, sambil mengingat pembaca agar waspada terhadap tarjamah tafsiriyah Al-Qur’an yang diterbitkan Majelis Mujahidin. Syarif mengatakan:
“Jika pada Terjemahan Kementerian Agama setiap kata dalam Al Qur’an diterjemahkan sesuai maknanya, sedangkan dalam Terjemahan versi MMI terjemahannya sudah mengikutkan maksud suatu kata”. Namun dengan terjemahan model itu – menurut kami – justru menjadi kurang baik sebab hilangnya makna asli dari lafazh-lafazh Al Qur’an.”
Siapapun berhak mengoreksi atau menyanggah pendapat orang lain. Tapi jika hal itu dilakukan berangkat dari alasan subyektif, persepsi pribadi, apalagi apriori, tentu bukanlah sikap intelektual yang beradab.
Oleh karena itu, Majelis Mujahidin perlu merespons kritik di atas. Ada tiga kesalahan dan kelemahan Syarif Rahmat dalam mengkritisi tarjamah tafsiriyah ayat di atas.
Pertama, bersikap apriori. Tarjamah Harfiyah yang dilakukan oleh Depag adalah metode tarjamah ala Gereja yang dikenal dengan motodologi Alkitabiah. “bahwa Tarjamah Kitab Suci (Bible) seharusnya menggunakan metode formal/verbal dengan pendekatan literal yaitu menerjemahkan kata per kata (harfiyah) yang merupakan terjemahan otoritatif di kalangan Gereja. Metode inilah yang dinamakan Metode Alkitabiah.” (Dr. Jeffrey Khoo, dalam buku Kept Pure in All Ages. (Singapore: Far Eastern Bible College Press, 2001, hal. 43),
Apakah Syarif Rahmat (SR) menjadi penyambung lidah para pendeta, pastor, maupun kaum sesat lainnya, dengan mengikuti gaya serta metodologi Gerejawi dalam menerjemahkan kitab suci Al-Qur’an? Nampaknya ya, mengingat kutipan Syarif Rahmat dalam tulisannya tersebut mengikuti metodologi Alkitabiah, sehingga terjemahannya menjadi salah, tidak jelas maksudnya, dan tidak mengikuti gramatika maupun logika bahasa Arab. Jelas sekali, SR tidak memahami makna kalimat Arabnya, manipulatif, bahkan tidak segan berdusta atas nama ulama.
Metodologi Alkitabiah (harfiyah) inilah yang digunakan para misionaris maupun orientalis untuk melakukan penyesatan terhadap keyakinan umat Islam melalui penerjemahan Al-Qur’an, dengan menyisipkan ideologi dan ajaran yang melenceng dari syari’ah Islam. Dan ini pula yang dilakukan oleh Syarif Rahmat ketika mengkritisi Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2:62 yang dilakukan Amir Majelis mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib. Inilah Tarjamah Tafsiriyah Qs. Al-Baqarah 2:62 yang ditolak secara apriori oleh Syarif :
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة:62)
“Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, lalu mereka beriman kepada Muhammad, mengesakan Allah, dan beriman kepada hari akhirat, serta melaksanakan amal-amal shalih yang diajarkan Islam, mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka. Mereka tidak akan merasa takut menghadapi hari akhirat dan tidak sedih kehilangan kesenangan dunia.” (Lihat Tarjamah Tafsiriyah halaman 10).
Kesalahan kedua, berdusta atas nama ulama:
Untuk menguatkan penolakannya terhadap terjemah tafsiriyah berkaitan dengan kalimat “Alladziina Aamanuu” pada ayat di atas, sebagai “Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad“, SR menukil mufassir Ibnu Jarir dalam tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, dengan cara manipulatif dan dusta.
SR menilai Terjemah harfiyah Depag lah yang benar, sekalipun didukung dengan fakta dusta dan manipulatif. Parahnya, untuk mendukung kesalahannya, SR berlindung di balik nama besar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Padahal kedua ulama tersebut sama sekali tidak mengatakan apa yang dipahami SR. Artinya, SR salah menerjemahkan dan memahami ucapan ulama yang dijadikan rujukan itu.
Jika pembaca yang mengerti bahasa Arab dan membaca dengan benar, maka apa yang dinyatakan dalam tafsir Ath-Thabari berkenaan dengan Qs. Al-Baqarah 2:62 tidak sebagaimana halusinasi penulis yang ingin mendapat pembenaran atas pendapatnya sendiri. Ia menerjemahkan karya mufassir Ibnu Jarir dengan semaunya sendiri.
Syarif mengutip pernyataan Ibnu Jarir dalam Tafsir Thabari yang berbunyi :
أما”الذين آمنوا”، فهم المصدقون رسول الله فيما أتاهم به من الحق من عند الله، وإيمانهم بذلك، تصديقهم به
“Adapun yang dimaksud dengan “orang-orang beriman” adalah orang-orang yang membenarkan kebenaran yang dibawa (mempercayai) Rasulullah SAW kepada mereka dari sisi Allah. Dan keimanan mereka terhadap hal itu adalah dengan membenarkan beliau”. (Lihat tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari Juz 1 halaman 453).
Syarif menerjemahkan ucapan Ibnu Jarir secara harfiyah, dan salah. Pertanyaannya, atas dasar apa SR menyimpulkan bahwa rasulullah yang dimaksud Ibnu Jarir adalah Rasulullah Muhammad SAW? Sementara Ibnu Jarir sendiri tidak mencantumkannya, bahkan memberi catatan supaya melihat penjelasan beliau pada Juz 1 halaman 234-235. Apakah Rasulullah itu hanya Nabi Muhammad, dan tidak termasuk Nabi lainnya yang masuk kategori ulul ‘azmi, dan sering kita baca dibelakang namanya AS (alaihisalam)? Santri setingkat Ibtidaiyah saja mengerti hal ini, masak Syarif Rahmat tidak mengerti?
Tarjamah tafsiriyah dari ucapan mufassir Ibnu Jarir itu adalah:“Adapun orang-orang yang beriman” adalah mereka yang membenarkan Rasulullah (utusan Allah) yang datang kepada mereka dengan membawa kebenaran dari Allah. Keimanan mereka kepada utusan Allah itulah yang dinamakan mengakui (mengimani) Rasul Allah.
Ketiga, berdusta atas nama Ibnu Katsir. Syarif Rahmat mengutip ucapan Ibnu Katsir yang berbunyi:
فلما بعث الله محمدًا صلى الله عليه وسلم خاتمًا للنبيين، ورسولا إلى بني آدم على الإطلاق، وجب عليهم تصديقُه فيما أخبر، وطاعته فيما أمر، والانكفاف عما عنه زجر. وهؤلاء هم المؤمنون حقا. وسميت أمة محمد صلى الله عليه وسلم مؤمنين لكثرة إيمانهم وشدة إيقانهم، ولأنهم يؤمنون بجميع الأنبياء الماضية والغيوب الآتية.
Lalu diterjemahkan oleh SR: “Maka ketika Allah mengutus Muhammad SAW sebagai penutup para nabi serta menjadi rasul bagi seluruh anak Adam secara mutlak, maka wajiblah atas mereka membenarkannya dalam segala yang diberitakannya, mematuhi segala yang diperintahkannya serta menahan diri dari apa yang dilarangnya. Dan mereka itulah orang-orang beriman yang sebenarnya. Ummat Muhammad SAW dinamakan dengan “Orang-Orang Beriman” adalah karena banyaknya keimanan mereka serta kuatnya keyakinan mereka dan lantaran mereka beriman kepada seluruh nabi terdahulu serta perkara-perkara ghaib yang akan datang” (Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 halaman 103-104).
Lagi-lagi SR salah memahami ucapan ulama. SR mungkin saja lancar berbahasa Arab atau membaca kitab bahasa Arab. Tapi apakah dia paham apa yang dia baca, sama sekali tidak nampak dalam terjemahannya itu. Maka pembaca jangan tertipu dengan terjemahan harfiyah SR yang salah itu.
Apabila kita mengikuti terjemahan SR, pertanyaannya, siapakah Ummat Muhammad Saw yang dinamakan dengan “Orang-orang beriman” dalam kalimat di atas? Apakah semua umat Muhammad, atau umat Muhammad yang mereka dulu beriman kepada Rasul-rasul sebelum Muhammad kemudian beriman kepada Nabi Muhammad Saw setelah beliau diutus Allah sebagai Rasul?
Jika yang dimaksudkan sebagaimana terjemah Syarif yaitu Umat Muhammad Saw dinamakan dengan “Orang-orang beriman”, bagaimana dengan umat yang hidup sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi, sedangkan mereka beriman kepada Nabi pada zamannya seperti Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Daud, Nabi Ibrahim dan para Nabi lainnya? Apakah mereka juga umat Muhammad Saw?. Ini hal yang mustahil bukan.
Syarif agaknya masih belum tuntas mempelajari gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu), sehingga kesulitan mencari obyek yang dinamakan “Orang-orang beriman” dalam kalimat tersebut. Akibatnya, menerjemahkan kata ulama semaunya sendiri alias ngawur, dan tidak sesuai dengan yang dimaksud para ulama itu. Selain itu, kalau ummat Muhammad Saw dinamakan dengan “Orang-orang Beriman”, bagaimana dengan orang kafir, munafiq dan fasik yang hidup setelah Muhammad diangkat Nabi, mereka termasuk umat siapa? Padahal sudah jelas dalam firman Allah :
و لقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله و اجتنبوا الطاغوت [النحل 36]
Maksud sebenarnya dari ucapan Ibnu Katsir yang dinukil Syarif di atas adalah: “Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai penutup para nabi, dan sebagai utusan Allah kepada seluruh manusia, maka wajib bagi mereka untuk membenarkan risalah beliau, taat terhadap perintah beliau dan menghindari larangan beliau. Mereka itulah orang yang benar imannya. Dan umat Muhammad Saw ini dinamakan kaum mukminin karena besarnya keimanan dan kuatnya keyakinan mereka kepada kenabian beliau, mereka ini beriman juga kepada semua Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad dan perkara-perkara ghaib yang akan datang” . Di sini Ibnu Katsir membicarakan tentang ummat Muhammad yang beriman kepada beliau yang sebelumnya juga beriman kepada Nabi-nabi terdahulu, bukan sebaliknya semua orang mukmin dari nabi-nabi dahulu disebut umat Muhammad. Dari mana Syarif Rahmat memungut arti “Ummat Muhammad SAW dinamakan dengan “Orang-Orang Beriman”?
Apakah menurut SR, orang-orang yahudi, nasrani, yang beriman kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad Saw., tapi menolak beriman pada Nabi Muhammad disebut orang beriman juga? Jika ya, lalu siapa yang disebut orang-orang kafir? Sebaliknya, jika mereka yang menolak kenabian Muhammad Saw. disebut kafir, mengapa Syarif Rahmat menyalahkan tarjamah tafsiriyah dari Majelis Mujahidin?
Oleh karena itu, jika Syarif Rahmat menganjurkan kepada masyarakat untuk mewaspadai tarjamah tafsiriyah yang dilakukan Majelis Mujahidin, maka Majelis Mujahidin mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak terprovokasi sang pemburu Hantu Syarif Rahmat yang terbukti tidak mengerti bahasa Arab, menggunakan metode Alkitabiah yang menyesatkan. Seharusnya SR melakukan koreksi dengan menggunakan kualifikasi akademis, bukan persepsi peribadi yang berangkat dari sikap apriori.
*Shabbarin Syakur/Penerbit QTT