(Arrahmah.com) – Saat Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi menjalani masa hukuman lima tahunnya di dalam penjara thagut Yordania karena berbagai tuduhan terhadapnya yang berkaitan dengan “teror”, seorang ikhwah dari Turki membesuk beliau dan menyampaikan padanya mengenai kondisi para pemuda di Turki di mana secara umum terdapat tiga perbedaan pendapat di kalangan para ikhwah dalam persoalan hukum takfir. Selain itu, ikhwah itu juga menyerahkan sepucuk surat yang berisi sejumlah pertanyaan seputar takfir.
Di antara pertanyaan tersebut ialah mengenai ada tidaknya perbedaan antara rakyat Turki dengan rakyat muslim lainnya, bilamana rakyat dianggap kafir, adakah rakyat Turki telah kafir, bagaimana memutuskan persoalan yang masih tersembunyi, bagaimana mengubah status persoalan yang masih tersembunyi, dan apakah berpartisipasi dalam pemilu Turki merupakan hal yang tersembunyi, serta seputar permasalahan takfir lainnya, termasuk mengenai udzur dalam pemilu.
Pada Kamis (9/9/2014) lalu, Syaikh Al-Maqdisi telah menyampaikan penjelasan yang memaparkan kunjungan ikhwah Turki tersebut dan menjawab semua pertanyaan seputar takfir yang disampaikannya itu. Berikut jawaban lengkap beliau yang diterjemahkan oleh tim Media Muqawamah pada Rabu (3/12).
JAWABAN YANG CERDIK TERHADAP PERTANYAAN SEPUTAR ISU TURKI
Oleh: Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah, amma ba’du:
Seorang ikhwah dari Turki telah membesuk saya, ia memberitahukan kepada saya mengenai kondisi para pemuda di Turki, kemudian ia menyerahkan sepucuk surat kepada saya, berikut ringkasannya:
Segala puji bagi Allah rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi-Nya yang mulia.. Assalamualaikum Warahmatullahi wa Barakatuhu.
Semoga Allah memberkahi kalian wahai para masyayikh kami yang mulia, sesungguhnya kami mencintai kalian dan kami menimba banyak manfaat dari kalian, kami mengucapkan Alhamdulillah berkat ini semua, kami memohon agar Allah Ta’ala mengumpulkan kita semua bersama Sang Penutup Para Nabi di dalam surga Firdaus yang paling tinggi.
Pertama: Kami ingin menjelaskan keadaan kami di Turki kepada kalian. Ada perbedaan pendapat di kalangan para ikhwah dalam persoalan hukum takfir, namun perbedaan tersebut tak sampai masuk ke dalam ranah prinsip dan dasar, akan tetapi dalam urusan penerapan hukum terhadap realitas masyarakat, mereka terbagi menjadi tiga golongan:
- Mengkafirkan semua orang yang ikut serta di dalam pemilu dan semua orang yang tidak mengkafirkan Erdogan serta keparlemenan, mereka mengklaim bahwa para masyayikh yang tidak mengkafirkan siapa saja yang ikut serta dalam pemilu, sebenarnya mereka tidak mengerti kondisi Turki. Selain itu, rakyat Turki tidak mau dikasih tahu dan cenderung menggampangkan hal tersebut. Mereka melihat bahwa rakyat Turki adalah kafir asli sehingga mereka tidak memberikan udzur jahil kepadanya dan tidak menerima tawar-menawar, mereka menganggap bahwa pemilu merupakan permasalahan yang zhahir.
- Seperti yang pertama, namun mereka bersikap tawaqquf ketika sampai pada masalah takfir mu’ayyan, namun mereka menganggap bahwa rakyat Turki adalah kafir. Kalangan ini juga tidak menghukumi seseorang beragama Islam, selama mereka tidak mengerti aqidah orang tersebut, meskipun mereka telah menyaksikannya mengerjakan shalat.
- Golongan ketiga adalah mereka yang mengikuti para masyayikh di Mimbar Tauhid wal Jihad (tawhed.ws) dan menjadikan buku-buku serta fatwa-fatwa para masyayikh itu sebagai pegangan, seperti buku karya Syaikh Al Maqdisi yang berjudul Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah Fie At Tahdzir Min Al Ghuluw Fie At Takfir, kemudian jawaban Syaikh Al Maqdisi terhadap pertanyaan nomer 1635 dan 1651 mengenai isu Turki, kemudian buku beliau Al Jawab Al Mufid Fie Al Musyarakah Fie Al Intikhabat, kemudian risalah Syaikh Abu Qatadah – semoga Allah segera membebaskan beliau – yang berjudul Ar Radd ‘Ala Man Yaraa Kufra Asy Syu’ubi Al Muslimati, dan tulisan-tulisan terbitan Mimbar lainnya.
Setelah pendahuluan tadi, kami ingin agar kalian memberikan jawaban dari pertanyaan berikut ini, agar menjadi nasehat bagi saudara-saudara kalian di Turki, semoga Allah membalas amal kalian dengan kebaikan.
Apakah kalian melihat ada perbedaan antara rakyat Turki dengan rakyat muslim lainnya?
Bagaimana rakyat dianggap telah menjadi kafir? Apakah kalian memandang bahwa rakyat Turki telah kafir?
Bagaimana memutuskan sebuah persolaan yang masih tersembunyi?
Apakah persoalan yang masih tersembunyi dapat diubah statusnya menjadi persoalan yang tampak? Kemudian jika boleh, apa saja etika yang harus dipatuhi dalam merubahnya, dan kapan persoalan tersembunyi ini boleh diubah?
Apakah berpatisipasi dalam pemilu merupakan salah satu persoalan tersembunyi di Turki?
Apakah orang yang bersikeras untuk tetap berpartisipasi dalam pemilu diberikan udzur? Padahal orang alim yang memiliki reputasi di kalangan kita telah menegakkan hujjah kepadanya? Jika orang tersebut tidak dikafirkan, maka apakah kita boleh shalat di belakangnya?
Apabila orang yang berpartisipasi di dalam pemilu diberikan udzur, bagaimana cara kita memperlakukannya?
Apakah mengkafirkan thaghut merupakan bagian dari sahnya keimanan, ataukah masih ada perincian yang lebih detail mengenainya?
Saat ini para ikhwah di Turki berbeda pendapat dalam hal mengkafirkan Perdana Menteri Recep Tayip Erdogan, dia sendiri saat ini tengah mencalonkan dirinya sebagai presiden, apa hukumnya?
Apa hukum Perwakilan Badan Legislatif (semacam DPR)? Apakah mereka semua dikafirkan dengan takfir mu’ayyan? Dan yang terakhir, para ikhwah ingin bertanya seputar permasalahan Daulah Islamiyyah dan kelompok-kelompok perjuangan Islam, apakah memungkinkan bagi kalian untuk mengarahkan dan menasehati kami dalam hal ini?
Semoga Allah membalas amal kalian dengan kebaikan.
Ya Allah rahmatilah kami, para masyayikh kami dan saudara-saudara kami.
***
SYAIKH AL MAQDISI
Maka saya katakan sembari meminta pertolongan dari Allah, segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah, amma ba’du:
Sesungguhnya salah satu musibah yang melanda umat di zaman ini adalah fitnah ghuluw (berlebih-lebihan) dalam urusan agama, tidak memberikan udzur kepada kaum muslimin yang menyelisihi kita, tidak bersikap kasih sayang kepada kaum muslimin yang awam, dan dampak dari sikap tersebut yaitu berani menghalalkan darah dan harta serta terlibat dalam merampasnya. Dampak dari itu semua jelas terlihat pada hari ini di negeri-negeri kaum muslimin, tidak perlu diberikan contoh. Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar menyelamatkan kaum muslimin dari dampaknya dan mengembalikan para pemudanya kepada agama dalam keadaan yang baik.
Penyebab dari itu semua adalah kebodohan dan jauh dari perilaku menimba ilmu syar’i, dan berfatwa dalam urusan agama Allah, serta bebicara dalam permasalahan besar yang berbahaya tanpa disertai ilmu, orang yang menjerumuskan dirinya ke dalam perilaku seperti ini. Apabila anda bertanya kepada mereka mengenai bab keimanan dan kekufuran, niscaya anda akan mendapati bahwa ilmu mereka sangat dangkal, bahkan pengetahuan mereka ‘tidak dapat menggemukkan dan juga tidak dapat menghilangkan lapar’.
Padahal tidak seharusnya seseorang berbicara mengenai hal-hal tersebut apabila ia belum membaca setidaknya, Kitab Al Iman dan Sharim Al Maslul karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah, dan Juz kedua dariKitab Ash Shafa karya Qadhi Iyadh. Kami juga selalu mengulang-ulangi kajian dan membacakan kedua karya tadi kepada para pemuda mengingat urgensinya, kami juga telah membahas secara sekilas di dalam buku kami yang berjudul Ats Tsalatsiniyyah.
Dan tidaklah para pemuda yang mengkafirkan rakyat yang diasosiasikan sebagai rakyat muslim, baik itu rakyat Turki ataupun yang lainnya, serta tidak menganggap shalat sebagai salah satu ciri khas pemeluk agama Islam yang apabila seseorang tampak mengerjakannya, maka ia dianggap sebagai orang Islam; kecuali itu adalah dampak dari jangkitan ghuluw yang menyebar di antara kelompok para pemuda yang mengikuti semangat kosong disebabkan kebodohan dan jauhnya mereka dari mendengar perkataan para ulama yang banyak meneliti permasllahan ini serta aturan-aturan yang mereka terapkan dalam urusan takfir.
Asal hukum dari seorang yang melaksanakan shalat adalah Islam hingga ia terbukti melakukan salah satu pembatal keislaman. Apabila ia belum terbukti melakukannya, maka vonis kafirnya adalah vonis kafir kepada orang-orang yang shalat, sehingga membunuh mereka atau menghalalkan darah mereka merupakan perbuatan kejahatan, sikap semacam ini serupa dengan apa yang diyakini oleh para pengikut sikap ghuluw. Di dalam hadits sendiri disebutkan bahwa:
إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ
“Aku dilarang untuk membunuh orang yang shalat.” [HR. Abu Daud No.4280].
Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar meriwayatkan sebuah hadits dengan lafazh sebagai berikut:
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berucap kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka salah satu dari keduanya akan terkena (ucapan tersebut).” Muslim menambahkan di dalam riwayatnya:
إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Apabila ucapannya itu sesuai, namun jika tidak, vonis itu akan kembali kepada (pengucap)-nya.” Muslim juga meriwayatkan dengan lafazh lain:
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.”
Tidak ada perbedaan antara rakyat Turki dengan rakyat muslim lainnya. Kami tidak mengkafirkan rakyat yang diasosiasikan dengan Islam secara keseluruhannya, baik itu Turki maupun yang lainnya, kami melihat bahwa ini adalah salah satu buah pikiran dari sikap ghuluw, bodoh dan bingung dalam urusan agama. Jadi pada asalnya mereka tidak dikafirkan kecuali orang yang menampakkan perbuatan kufur bawwah, setelah meninjau syarat-syarat dan penghalang-penghalang yang ada.
Permasalahan yang tersembunyi adalah permasalahan agama yang tidak harus dipelajari oleh kaum muslimin, karena permasalahan tersebut masih harus diberikan keterangan lebih lanjut, pernyataan, dan penjelasan. Tidak diragukan lagi bahwa permasalahan pemilu, segala istilah demokrasi dan sejenisnya, baik itu nama, pekerjaan, kejadian dan kata-kata asing, bukanlah merupakan permasalahan yang jelas dan nyata bagi semua orang, ia merupakan permasalahan tersembunyi dan tidak jelas bagi kebanyakan orang, sehingga bisa saja menimbulkan makna yang berbeda di mata mereka. Sebagian dari mereka memahaminya sebagai bagian dari metode demokrasi, sebagian lagi memahaminya sebagai pengganti dari sistem kediktatoran, penyiksaan, pembungkaman aspirasi dan pengekangan, dan makna-makna lain yang mengubah perundangan-undangan dan menyebabkan seseorang menjadi kafir. Sebagian ulama menamakan permasalahan tersembunyi ini sebagai ‘Mutasyabihat’, yaitu permasalahan yang mengandung banyak pendapat di dalamnya.
Adapun permasalahan yang tampak, ia adalah permasalahan yang harus dipelajari oleh setiap orang yang mampu memahaminya dengan bahasanya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡ
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…” [Qs. Ibrahim: 4]
Barangsiapa yang mendustakannya “sesudah jelas kebenaran baginya” [An Nisa’: 115], maka ia telah menentang Rasul.
Mayoritas perselisihan yang terjadi di antara kaum muslimin, adalah perselisihan dalam permasalahan yang oleh sebagian orang dianggap sebagai permasalahan yang sangat urgen, penyebabnya adalah ketimpangan dalam menilai permasalahan. Sedangkan di mata setiap orang, beberapa informasi terlihat bervariasi karena informasi tersebut bersifat relatif dan terus bertambah. Contoh dari ini adalah apa yang dikisahkan oleh Abdurrahman bin Yazid, ia berkata suatu ketika Abdullah bin Mas’ud menghapus Al Mu’awwidzatain (Surat Al Falaq dan An Naas) dari mushafnya, kemudian beliau berkata bahwa keduanya bukanlah bagian dari Kitab Allah. Meskipun demikian, tidak ada seorang muslimpun yang mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud telah kafir karena mengingkari ajaran Islam yang sangat jelas. Sebab tidak mungkin orang seperti beliau mengingkari bahwa muawwidzatain adalah termasuk surat dalam Al-Quran karena menurut beliau kedua surat tersebut adalah benar-benar bagian dari Al-Quran.
Karenanya Syaikh kita Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Fatawa (23/347): “Permasalahan qath’i (absolut, pasti) atau zhanni (relatif) merupakan hal yang bersifat majemuk, karena terkadang seseorang bisa saja menganggap sebuah permasalahan sebagai permasalahan yang pasti karena ia mendapatkan dalil yang pasti bagi permasalahan tersebut, contoh: orang yang mendengar langsung suatu nash dari Rasulullah dan dia tahu pasti maksud yang diinginkan oleh Rasulullah. Sedangkan menurut yang lain masalah tersebut masih belum pasti karena nash dalam masalah tersebut tersebut belum sampai kepadanya atau nash tersebut tidak shahih dimatanya, atau bisa juga karena dia tidak bisa menangkap maksudnya”.
Beliau juga berkata di dalam Majmu’ Fatawa (19/2110: “Demikian pula status sebuah perkara sebagai perkara yang qath’i atau zhanni adalah perkara yang sifatnya relatif, tergantung keadaan orang-orang yang meyakini (memandang) perkara tersebut, bukan tergantung keadaan perkara itu sendiri.
Terkadang seseorang mengetahui perkara-perkara secara qath’i (pasti dan yakin) dengan cara dharurah (pasti) dan cara penerimaan yang diketahui pasti kebenarannya. Sementara orang lain tidak mengetahui perkara-perkara tersebut, tidak dengan cara yang pasti dan tidak pula dengan cara yang zhanni (dugaan dan tidak yakin atas kebenarannya).
Terkadang seseorang itu sangat cerdas, daya ingatannya kuat dan pemahamannya (terhadap sebuah perkara) cepat sehingga ia bisa mengetahui kebenaran dan memastikannya, sementara orang lain tidak memahaminya dan tidak mengetahuinya, tidak secara yakin dan tidak pula secara dugaan.
Maka perkara qath’i (yakin) dan zhann (dugaan) itu tergantung kepada dalil-dalil yang sampai kepada seseorang dan tergantung kepada kemampuannya dalam memahami dalil. Sementara manusia itu berbeda-beda kemampuannya dalam mendapatkan dalil-dalil dan memahami dalil-dalil.
Maka status sebuah perkara sebagai suatu perkara yang qath’i atau zhanni bukanlah sebuah sifat yang tetap melekat bagi pendapat yang diperselisihkan tersebut sehingga dikatakan bahwa setiap orang yang menyelisihi perkara tersebut dinyatakan telah menyelisihi perkara yang qath’i. Justru ia merupakan sifat bagi kondisi orang yang melihat, mencari dalil dan meyakini (perkara tersebut), dan hal itu merupakan perkara yang manusia berbeda-beda (tingkatannya).”
Beliau Rahimahullah juga berkata di dalam Minhaj As Sunnah (5/91): “Label qath’iy-zhanniy (pasti-tidak pasti) pada suatu masalah sangatlah relatif, tergantung pada kondisi orang yang meyakininya. Label tersebut bukanlah label yang bersifat paten. Sebab manusia itu kadang memastikan sesuatu yang dia ketahui secara pasti atau dia ketahui berdasarkan periwayatan yang jelas-jelas benar menurutnya, sedangkan orang lain sama sekali tidak mengetahui hal tersebut, apakah qath’iy ataukah zhanniy. Di sisi lain ada juga orang yang cerdas dan kuat dalam berfikir, mudah menangkap qath’iy dan zhanniy pada nash, sehingga dia bisa tahu dan memastikan kebenaran. Padahal orang selainnya tidak bisa melakukan hal tersebut. Orang lain tidak mampu mengetahui qath’iy-zhanniy-nya. Pasti dan tidak pasti / jelas dan tidak jelas adalah tergantung pada dalil yang sampai kepada manusia, dan sesuai dengan kemampuannya dalam menggunakan dalil tersebut. Oleh karena itu orang yang baru masuk Islam dan orang non-arab yang tidak memahami bahasa arab diberikan udzur sedangkan selain keduanya tidak”.
Oleh karenanya beliau Rahimahullah juga mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa (6/60): “Sesungguhnya perkataan yang jujur apabila ia diucapkan, maka sifatnya adalah tetap dan urgen, ia harus sesuai dengan informasi yang sampai. Adapun statusnya di pikiran pendengar, baik jelas, dugaan, tidak jelas, pasti, dan tidak pasti, wajib diterima, haram diterima, orang yang menolaknya dihukumi kafir atau tidak kafir, maka hal ini merupakan hukum praktis yang antara satu orang dengan orang lain berbeda dan antara satu kondisi dengan kondisi yang lain berbeda. Maka ini adalah hukum terapan, yang bisa berbeda-beda tergantung pada individu dan kondisi; Apabila engkau melihat seorang imam bersikap keras terhadap seseorang karena perkataannya (yang keliru) atau bahkan mengkafirkannya, maka itu tidaklah bisa dianggap hukum secara umum terhadap setiap orang yang mengatakannya. Kecuali bila terpenuhi syaratnya sehingga berhak untuk bersikap keras kepadanya dan mengkafirkannya; karena sesungguhnya barangsiapa menentang sesuatu dari syariat yang sifatnya zhahir, sedangkan dia baru masuk Islam, atau hidup di negeri yang tidak mengerti (Islam), ia tidak dikafirkan hingga hujjah nabawiyah sampai kepada dirinya.
Begitu pula sebaliknya, apabila engkau mendapati sebuah tulisan yang salah dari seorang imam terdahulu, maka ia diampuni, karena hujjah tidak sampai kepadanya. Berbeda dengan orang yang sudah medengar atau membaca hujjah, maka dia tidak dapat dimaklumi”.
Jadi diketahui bahwa sebuah permasalahan bisa saja dianggap tampak oleh seseorang dan samar bagi orang lain, jadi tidak boleh memperlakukan seseorang dengan menerapkan stigma dari kondisi mayoritas, bukan kondisi pribadinya, sejauh mana pemahamannya atau ketidak fahamannya, sejauh mana pembangkangannya atau kepatuhannya, dari situ juga diketahui bahwa menerapkan hukum takfir kepada sebuah bangsa secara keseluruhan tanpa menggunakan tata cara ini, merupakan kebodohan yang ada pada kebanyakan para ghulat di zaman kita ini.
Di dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas, bahwasanya ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَلَا تُخْفِرُوا اللَّهَ فِي ذِمَّتِهِ
“Barangsiapa shalat seperti shalat kita, menghadap ke arah kiblat kita dan memakan sembilan kita, maka dia adalah seorang Muslim, ia memiliki perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kalian mendurhakai Allah dengan mencederai perlindungan-Nya.”
Hadits ini mencerminkan tata cara ahlus sunnah wal jamaah yang membedakan mereka dengan para pengikut ghuluw dan khawarij, yaitu (ahlus sunnah) tetap bersikap ramah terhadap siapa saja yang memegang asal eksistensi agama Islam, yaitu siapa saja yang masih menampakkan sebagian ciri khas agama Islam, sampai ia melakukan pembatal keislaman yang zhahir dan tidak mengandung kerancuan, ia juga mendapatkan hak (untuk tidak dikafirkan hingga) terkumpulnya syarat-syarat dan tersingkirnya pengalang-penghalang kekafiran, karena sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang ragu.
Syaikhul Islam Rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun yang boleh mengkafirkan seorang dari kaum muslimin meskipun orang tersebut salah dan keliru, hingga hujjah ditegakkan kepadanya, dan kebenaran dijelaskan kepadanya. Barangsiapa keislamannya terbukti dengan yakin, keislamannya tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang ragu, bahkan tidak akan hilang kecuali setelah adanya tegak hujjah dan pemberantasan syubhat.”
Jadi kedua kelompok yang disebutkan di dalam pertanyaan pertama dan kedua, merupakan kelompok yang salah dan telah tersesat dari jalan kebenaran, karena keduanya mengkafirkan rakyat Turki secara keseluruhan atau bersikap tawaqquf di dalamnya serta tidak menganggap satupun dari rakyat Turki sebagai orang Islam meskipun ia mengerjakan shalat, hingga apa yang ada di dalam hatinya (aiqdah) dapat diketahui, maka ini semua adalah kesesatan yang kami berlepas diri darinya, kami telah memperingatkan akan hal ini dan membantahnya di dalam risalah kami yang telah disebutkan di atas (Ats Tsalatsiniyyah). Asal hukum dari mengambil yang zhahir adalah, barangsiapa menampakkan salah satu ciri khas pemeluk agama Islam, maka ia dianggap beragama Islam, bukannya bertawaqquf hingga kita mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Baari (12/272): “Mereka semua bersepakat bahwa hukum-hukum dunia (diputuskan berdasarkan) zhahir sedangkan Allah lah yang menangangi rahasia-rahasia batin.”
Saya juga ingin menambahkan bahwa kita wajib waspada untuk selalu membedakan, yang selalu kami ingatkan adalah kita harus membedakan antara rakyat muslim yang lemah dengan thaifah mumtani’ah(kelompok yang melindungi diri dari kekuasaan Islam) yaitu kelompok yang memaksakan kekafiran dan berhukum kepada selain hukum Allah terhadap rakyat tersebut, karena masyarakat umum yang lemah harus diperlakukan dengan lemah lembut dan tidak tergesa-gesa mengukumi mereka sebagai kafir karena mereka dibolehkan untuk ber-taqiyyah dalam kondisi lemah. Yang saya maksud dengan taqiyyah di sini adalah menyembunyikan sikap permusuhan terhadap orang-orang kafir serta tidak menampakkan sikap mengkafirkan terhadap mereka serta berlepas diri dari mereka, barangsiapa yang tidak menampakkan hal-hal tersebut disebabkan ia dalam kondisi lemah, maka ia diberikan toleransi dan tidak boleh dikafirkan.
Saya telah banyak menayksikan para pemuda yang menukil beberapa pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan beberapa imam dakwah najdiyyah dalam urusan takfir ini. Dari pernyataan para ulama tersebut, mereka memahami bahwa orang tidak menampakkan permusuhan terhadap orang-orang kafir atau mengungkapkan sikap berlepas diri dari mereka, maka harus dikafirkan. Para pemuda itu tidak memberikan toleransi karena kondisi yang lemah dan tidak mengakui seorang pun sebagai orang Islam, meskipun ia shalat, puasa, mengaku sebagai seorang muslim, hingga ia mengumumkan bahwa ia berlepas diri dari para thaghut, meskipun dalam kondisi lemah. Ini adalah pemahaman yang salah dan kekeliruan yang jelas, yang menyebabkan munculnya para penganut sikap ghuluw di seluruh dunia.
Permintaan kami yang pertama adalah kami telah memperingatkan untuk tidak menukil pernyataan para imam dakwah tersebut dengan cara seperti ini,
Kami sendiri menyadari ‘vonis-vonis umum’ seperti ini pada statemen ulama-ulama Nejd saat pertama kali belajar dan menulis, oleh karena itu anda lihat, sejak tiga puluh tahun yang lalu kami sudah mengingatkan hal tersebut pada catatan kaki dari kitab kami yang berjudul Millah Ibrahim dan kitab-kitab lainnya. Hal tersebut bukanlah hasil belajar sesaat. Jika ada yang mau, silahkan mengecek langsung di tulisan-tulisan kami.
Contohnya adalah komentar kami terhadap perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kami nukil di dalam buku Millah Ibrahim, perkataan tersebut adalah: “Apabila engkau mengetahui ini, maka engkau akan mengetahui bahwa keislaman seorang manusia tidak akan lurus meskipun ia telah mengesakan Allah dan meninggalkan kesyirikan, kecuali dengan memusuhi orang-orang musyrik dan menyatakan permusuhan dan kemurkaan kita kepada mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
“kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…” [Qs. Al Mujadilah: 22]
Tak lama setelah itu, perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Lathif di dalam Ad Durar As Sunniyah: “Ketahuilah – semoga Allah menjadikan kita semua dalam keadaan yang Ia cintai dan ia ridhai – bahwasanya keislaman dan agama seorang hamba tidak akan lurus kecuali dengan memberikan permusuhan kepada musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, dan bersikap loyal kepada para wali Allah dan Rasul-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُوٓاْ ءَابَآءَكُمۡ وَإِخۡوَٰنَكُمۡ أَوۡلِيَآءَ إِنِ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلۡكُفۡرَ عَلَى ٱلۡإِيمَٰنِۚ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan…” [Qs. At Taubah: 23]” [Bab Jihad, hal. 208]
Kalian bisa mendapati bahwa kami mengomentari kedua nash tersebut dengan perkaatan kami yang tercantum di catatan kaki: “(Bila dimasudkan dengannya adalah inti permusuhan maka ucapan itu adalah seadanya, dan bila yang dimaksudkan adalah umumnya permusuhan yaitu menampakkannya, rincian-rinciannya serta keterangan-keterangannya, maka perkataannya adalah tentang keistiqamahan keislaman bukan tentang lenyapnya inti keislaman. Dan Syaikh Abdul Lathif dalam kitabnya Mishbah Azh Zhalam memiliki rincian seputar masalah ini, silakan merujuk kepada kitab tersebut bagi siapa saja yang mau, di sana ada ucapan beliau: “Orang yang memahami pengkafiran orang yang tidak terang-terangan dengan sikap permusuhan dari ucapan syaikh ini, maka pemahamanya bathil dan pendapatnya sesat…”, dan kami menuturkan ucapan-ucapan mereka dalam pasal ini hanya menjelaskan pentingnya inti ini yang realitanya sudah lenyap di kalangan mayoritas du’at masa kini. Kemudian kami sertakan penjelasan-penjelasan ini -padahal itu sudah jelas – untuk menutup jalan di hadapan orang yang berupaya berburu (ikan) di air yang keruh…)”
Pernyataan-pernyataan semacam ini dapat ditemukan di dalam Ad Durar As Sunniyah dan buku-buku semisalnya. Karena permasalahan tersebut tidak disistematiskan dalam kitab-kitab ulama nejd dan tulisan-tulisan mereka pada tema-tema tersebut, maka tumbuhlah bibit-bibit ghuluw pada banyak pembahasan. Hal inilah yang menjadi andalan/sandaran utama para ghuluwer Peshawar dan para pengikut Abu Maryam Al-Mukhlif, Abu Umar Al-Kuwaiti, Dhiyauddin Al-Maqdisi, dan Al-Hazimi, sebagaimana yang saya lihat di beberapa potongan ceramahnya.
Para ghulat menyalahgunakan pernyataan tersebut, mereka menganggap seakan-akan ia adalah kaedah-kaedah syariat, bahkan mereka mengagung-agungkannya, mendirikan madzhab mereka di atasnya sebagaimana orang alim membangun prinsip-prinsipnya di atas ayat muhkamah dan hadits shahih yang mengandung dalil yang jelas. Orang yang familiar dengan fatwa-fatwa para imam dakwah melihat bahwa sebagian dari mereka memperlakukan pernyataan tersebut dengan perlakuan yang bahaya di dunia nyata, dengannya mereka membantu para thaghut dan menghalalkan darah para muwahhidin, dan tidak ada yang paling bisa membuktikan hal tersebut kecuali fatwa para ulama Al Aridh yang terkenal, yaitu mengkafirkan gerakan Ikhwan yang dipimpin oleh Al Ajman, Ad Duwaish dan orang-orang yang bersamanya, dan penghalalan darah mereka seperti yang telah saya jelaskan di dalam jawaban dari pertanyaan nomor 3269. Di atas manhajnya para ulama kontemporer mereka merangkai fatwa untuk membunuh saudara-saudara kita para mujahidin disebabkan jihad mereka, mereka juga dijuluki sebagai khawarij, kelompok sesat dan lain-lainnya.
Perlu dicatat, klaim yang saya sampaikan bahwa dalam kitab-kitab ulama nejd berisi ‘vonis umum’ yang harus disistematiskan bukanlah klaim yang bid’ah dan subyektif. Meskipun hal tersebut memang merupakan hasil dari pembacaan intensif yang saya lakukan terhadap kitab-kitab mereka. Namun dalam hal tersebut saya sudah didahului oleh syaikh yang paling masyhur di hijaz, saya mendapatkan informasi bahwa Syaikh Ibnu Baz telah mengingatkan bahaya vonis-vonis umum tersebut, beliau juga menyampaikan bahwa pembacaan yang dilakukan oleh seorang thalib terhadap kitab tersebut tanpa bimbingan seorang syaikh bisa menyebabkan terjadinya ghuluw dan bisa menjatuhkannya dalam berbagai kesalahan. Sampai-sampai dulu saat kami masih masa belajar dan menggeluti tulisan-tulisan ulama nejd, kami menyerang statemen Syaikh Ibnu Baz tersebut karena saking semangat dan hausnya kami terhadap tulisan-tulisan ulama nejd. Kemudian Allah menganugerahkan kepada kami dan mata kami status ‘vonis-vonis umum’ tersebut serta kesalahan-kesalahan yang telah kami sampaikan kepada ikhwan-ikhwan saat itu, sebagaimana yang anda lihat sendiri.
Wasiatku kepada para pemuda di Turki dan selain Turki, hendaknya meneliti masalah ini, hendaknya mereka tidak terikut-ikut dalam permasalahan berbahaya yang menyebabkan pertumpahan darah dan perampasan harta dan kehormatan di berbagai negara.
Kemudian takfir terhadap para thaghut, apabila yang dimaksudkan dengan thaghut itu adalah orang-orang yang mengaku diri mereka beragama Islam namun melakukan pembatal keislaman, kadang vonis kafir terhadap masing-masing mereka bagi kebanyakan orang awam dan non-awam adalah sesuatu yang samar. Maka memvonis mereka sebagai orang kafir jika kondisinya seperti demikian tidak termasuk inti keimanan sehingga menjadi syarat sah keimanan. Tetapi syarat iman adalah kufur terhadap thaghut dengan makna berlepas diri dari segala bentuk peribadatan syiriknya, serta menjauhkan diri dari taat kepadanya dalam hal kekufuran atau menciptakan undang-undang yang mana itu tidak dibolehkan oleh Allah, serta menjauhkan diri dari menolongnya, loyal kepadanya, atau loyal kepada para pendukung dan para kacung-kacungnya. Adapun takfir adalah perangkat yang diperlukan untuk itu, dan bukan termasuk syarat sah darinya (kufur terhadap thaghut), maka orang yang tidak tahu menganai pembahasan ini tidak boleh dikafirkan selama ia masih merealisasikan firman Allah Ta’ala:
ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ
“…Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu…” [Qs. An Nahl: 36]
Adapun presiden (Erdogan,-red), maka ia adalah seorang lelaki sekuler, walaupun ia menentang sistem sekuler Attaturk, maka yang ia tentang hanya penafsiran sekuler saja, ia tidak berlepas diri dari sekulerisme bahkan ia justru menafsirkannya dengan tafsiran yang memuji, ia menganggapnya sebagai hal yang baik, maka ini adalah penafsiran yang bathil, ia tetap tidak keluar dari ranah sekulerisme yang menyebabkan seseorang menjadi kafir, ia menafsirkannya dengan memisahkan agama dari negara dan membiarkan urusan agama semua orang. Mengenai dirinya dan orang-orang sepertinya – yang apabila ingin menjadi orang zindik maka itu terserah dirinya – ini, berbeda dengan sekulerisme Attaturk yang memerangi agama Islam, syariatnya dan apa saja yang memiliki kaitan dengan Islam. Dan penafsiran yang dipoles dan dipromosikan oleh orang ini tetap tidak dianggap sama sekali di mata Islam, karena Islam tidak pernah memperbolehkan atheisme dan kesyirikan, tidak pernah mengakuinya dan tidak pernah memisahkan antara politik dengan agama, bahkan semua itu pembatal keislaman dan ia adalah salah satu pintu kekufuran yang jelas.
Akan tetapi kami tahu kondisi kaum muslimin pada zaman kekuasaan kaum sekuler Attaturk, saat itu mayoritas parlemen ada di tangan mereka. Kami dan banyak orang lain juga menyaksikan bahwa kondisi kaum muslimin di bawah kekuasaan Erdogan tidak terlalu buruk, bahkan – berdasarkan penuturan dari banyak orang Turki – lebih baik dari pada sebelumnya; mereka juga menunjukkan mengenai sikap Erdogan yang berani dan nasionalis untuk membantu problem-problem kaum muslimin. Kami juga selalu mengarahkan saudara-saudara kami yang tinggal di negeri yang mana Islam tidak diperangi dan ditentang, para penduduknya tidak diserang, bahkan para da’inya justru diberikan ruang sebebas-bebasnya, pemerintah juga menutup mata terhadap pergerakan para mujahidin; hendaknya mereka menghindari diri dari berbentrokan secara langsung dengan pemerintahan semacam ini selama mereka belum mampu membuat perubahan secara riil.
Kami juga mewasiatkan mereka agar memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepada mereka ini untuk berdakwah kepada Allah di tengah-tengah kalangan masyarakat serta mengajari dan mengarahkan mereka kepada sesuatu yang lebih baik, dengan cara yang bijaksana dan nasehat yang baik, baik itu terhadap mereka yang berpartisipasi dalam pemilu, ataupun mereka yang tidak berpartisipasi. Mereka juga harus membina para pemudanya dengan tauhid serta mengajarkan dan memahamkan mereka dengan manhaj yang benar, serta menjaga mereka dari jurang-jurang ghuluw dan irja’. Dan hendaknya mereka meninggalkan aksi-aksi balas dendam secara acak yang faedahnya sedikit, yang mana itu hanya menjadikan mereka bertambah ekstrim dan berfikiran sempit dalam urusan agama mereka, dakwah mereka, pergerakan mereka dan mata pencaharian mereka, dan menjerumuskan para pemuda mereka ke dalam penjara tanpa ada manfaat yang realistis bagi urusan agama dan dunia mereka.
Kami juga mewasiatkan para pemuda di Turki agar memanfaatkan fase yang ada sekarang ini dengan berdakwah mengajak orang kepada tauhid, mengajarkan saudara-saudara mereka prinsip-prinsipnya dan mewanti-wanti mereka untuk tidak condong kepada sikap ifrath dan tafrith, jangan sampai langkah mereka terhambat dan dakwah mereka rusak atau tercampakkan karena mereka menyambut ajakan kalangan ‘sumbu pendek’ yang tidak mengajak kepada kebaikan, setiap harinya mereka berjalan ke arah yang baru tanpa kompas dan tanpa petunjuk yang jelas, atau mengajak para pemuda dan menyemangati mereka dalam setiap peristiwa yang terjadi untuk mengadakan aksi secara acak yang tidak teratur dan bermanfaat bagi orang Islam.
Bahkan hendaknya mereka fokus untuk melakukan pematangan dan persiapan untuk menjalankan misi penegakan kekuasaan bagi orang Islam, janganlah mereka terlibat dalam mengajak untuk berbai’at kepada seseorang yang tidak memiliki kekuasaan atas mereka, keberadaannya tidak ada ada di negeri mereka dan tidak mampu memenuhi hak-hak mereka dan menyelamatkan mereka, jangan sampai barisan mereka tercerai-berai dan amal iqamatuddin serta dakwah kepada tauhid mereka hancur, atau mereka menjadi berselisih dan berpecah-belah disebabkan ajakan (bai’at) seperti ini, hendaknya mereka terus ber-istiqamah di atas dakwah tauhid, bersungguh-sungguh di dalamnya, menguatkan langkah mereka, bersahabat dan menjalin hubungan dengan orang-orang mukmin di manapun mereka berada dan apapun golongan mereka.
Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar membenahi kondisi mereka, menunjuki mereka kepada jalan yang lurus, membuka mata mereka dalam urusan agama mereka, menggunakan tenaga mereka untuk menolong agama, dan tidak menggantikan mereka (dengan kaum yang lain), shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, berserta keluarga dan para sahabat beliau.
Abu Muhammad Al Maqdisi
15 Dzul Hijjah 1435
(aliakram/arrahmah.com)