Oleh Abdus Salam
Lajnah Siyasiyah HTI DPD Sulselbar
(Arrahmah.com) – Tidak ada satu persoalanpun di negeri ini yang bukan persoalan sistemik. Begitulah juga kesan yang terjadi dengan kasus jatuhnya AirAsia QZ8501. Dan rekomendasi kebijakan yang diprediksikan muncul adalah liberalisasi dan kapitalisasi sektor perhubungan udara.
Perbincangan tentang kemungkinan revisi terhadap UU 1 tahun 2009 tentang penerbangan beserta perangkat peraturan yang ada di bawahnya mengambil momentum Air Asia cukup bisa menangkap aroma ke arah itu. Di tengah keprihatinan nasional yang mendalam terhadap para korban yang direspon dengan kompak oleh berbagai unsur di bawah komando Basarnas.
Sebuah pemandangan umum menutupi genocide Israel biadab terhadap warga Gaza Palestina bertahun tahun lamanya hingga kini. Nampaknya menuntut kejelian dan sikap seksama kita untuk melihat bagaimana strategi penggiringan opini media untuk tujuan tertentu. Termasuk titik tekan alasan pembekuan Air Asia untuk route penerbangan Surabaya-Singapura. Yang disampaikan sendiri oleh Plt Dirjen Perhubungan Udara, Djoko Muratmodjo bahwa Air Asia telah melakukan pelanggaran regulasi.
Beberapa yang dimaksud diantaranya : pertama, tidak memiliki ijin terbang “ekstra flight” Surabaya-Singapura hari minggu. Kedua, tidak memperhatikan amar prosedur sosialisasi cuaca oleh BMKG. Meski menyisakan berbagai pertanyaan tentang kemungkinan pelanggaran yang sama oleh maskapai penerbangan lainnya dan belum dikenai sanksi. Serta pengawasan segala bentuk pelanggaran atas aturan penerbangan melibatkan banyak pihak. Mulai dari internal kementrian perhubungan hingga otoritas bandara. Sudah ada sekitar 5 orang yang dinon aktifkan atau dimutasikan.
Opini media kemudian mengerucut kepada satu titik bahwa ujung dari standart pengelolaan perhubungan udara haruslah “berbasis dan berorientasi pada safety”. Yakni pemenuhan keamanan dan kenyamanan penerbangan kepada para penumpang. Untuk bisa merealisasikan hal itu diperlukan payung regulasi yang mendorong terbangunnya infrastruktur penerbangan mencakup semua aspek. Antara lain standarisasi fisik bandara, ketersediaan pilot qualified, tehnisi dll, kesiapan tekhnologi penerbangan, manejemen pengelolaan bandara, manajemen pengelolaan maskapai penerbangan, pengelolaan informasi BMKG untuk kepentingan penerbangan dan lain-lain.
Menurut info, Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki traffic penerbangan nomer 2 di dunia. Artinya Indonesia adalah potensial dan riil market bagi industri penerbangan di dunia. Jika para investor asing saat ini cukup puas hanya diberikan ruang untuk bermain di pengelolaan maskapai penerbangan. Bukan mustahil dengan alasan klasik yang biasa disampaikan. Yakni tidak tersedianya dana dari sumber APBN yang cukup untuk membiayai pembangunan penerbangan, maka ke depan investor asing diberikan ruang lebar-lebar untuk bermain juga di pembangunan infrastruktur penerbangan.
Apa implikasi dari keterlibatan swasta asing pada pembangunan infrastruktur penerbangan negeri ini. Bisa ditebak pada akhirnya bahwa safety penerbangan hanya akan dienyam oleh para konsumen penerbangan yang berani membayar mahal. Karena pelayanan safety penerbangan meniscayakan investasi yang mahal pula. Hal itu ditunjukkan salah satunya oleh keluarnya Permenhub baru-baru ini sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Udara Kementerian Perhubungan, Muhammad Alwi kepada detikFinance, Rabu (7/1/2015) tentang penetapan batas bawah 40 persen dari batas atas tarif penerbangan. Misalnya tarif batas atas untuk rute Jakarta-Surabaya ialah Rp 2.000.000, maka tarif batas bawahnya Rp800.0000. Ke depan, maskapai sudah tidak boleh menjual tiket di bawah tarif batas bawah. Menurut Staf Khusus Menteri Perhubungan, Hadi M Djuraid menerangkan, keputusan baru ini hanya mengatur tarif yang tidak rasional. Kemenhub tidak menghapus maskapai berbiaya murah atau Low Cost Carrier (LCC). Ini indikasi awal atas nama safety. Jika investor asing merambah tidak saja pengelolaan maskapai penerbangan namun juga pengelolaan infrastrukturnya maka akan lebih fantastis lagi tarifnya.
Akhirnya cukup bagi kita melihat bahwa kasus jatuhnya AirAsia dengan begitu dramatisnya prosesi evakuasi korban sesungguhnya menggambarkan begitu kompleks dan sistemiknya persoalan pengelolaan sektor penerbangan kita. Dan memantik kesadaran mendalam kita untuk merenungkan faktor sebab hakiki bagaimana mewujudkan iklim penerbangan yang kondusif dan safety. Yang selalu dijawab dengan alternatif solusi satu-satunya yakni liberalisasi dan kapitalisasi. Dengan mencoba mengembalikan pemahaman kita semua terhadap pilihan lain solusi
Alternatif bagaimana sesungguhnya desain pengelolaan safety penerbangan yang dibuat oleh Tuhan Pencipta Manusia. Yang telah menurunkan segala aturan untuk memecahkan seluruh kompleksitas problematika kehidupan manusia termasuk sektor perhubungan udara. Wallahu a’lam bis showab.musiba
(*/arrahmah.com)