Oleh : War Yati
(Arrahmah.com) – Baru-baru ini ada dua partai yang telah mendeklarasikan diri untuk terjun di kancah perpolitikan. Kedua partai tersebut adalah Partai Masyumi Baru dan Partai Umat bentukan Amien Rais.
Di masa pemerintahan Presiden Soekarno, Partai Masyumi sendiri pernah berdiri namun akhirnya dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1960-an. Di era berikutnya terbentuk partai-partai Islam seperti PPP dan PBB. Tapi pada akhirnya partai ini pun bernasib sama, bubar juga. Tak dipungkiri memang saat ini ada banyak partai Islam yang berbaur dengan partai nasionalis berusaha menyampaikan aspirasi dalam wadah demokrasi.
Bercermin dari partai-partai terdahulu yang bernuansa Islam dan terjun ke parlemen, apakah sudah berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah? Untuk lebih memperhatikan urusan rakyat? Jawabnya, belum. Dalam politik demokrasi, kekuasaan menjadi tujuan. Jadi, mustahil saat partai politik memenangkan pemilihan suara dan duduk di tampuk kekuasaan kepentingan rakyat mendapat prioritas.
Alasan di balik pendeklarasian partai baru hanya buah kekecewaan dari partai sebelumnya. Di tengah carut-marut perpolitikan, partai Islam tak kunjung memberi pengaruh terhadap undang-undang dan kebijakan pemerintah agar lebih pro rakyat.
Dalam rangka membangun kekuatan politik, ada wacana mempersatukan umat dalam satu partai Islam. Jika terealisasi, maka kekuatan politik Islam bisa terkumpul dan tidak terpecah. Sehingga diharapkan menggalang kekuatan politik umat untuk meraih kursi. Dalam hal ini, Partai Masyumi Baru dan Partai Umat berencana bergabung.
Munculnya semangat mendirikan partai Islam tentu sangat menggembirakan. Namun, perlu disadari menyandarkan perjuangan penegakan syariat di jalan demokrasi akan menemui jalan buntu. Sebab, demokrasi bertentangan dengan Islam. Mustahil demokrasi memberi ruang terhadap aturan Islam untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam sistem demokrasi, terbentuknya parpol bertujuan untuk mengumpulkan kekuatan dan kegiatan politiknya hanya berorientasi meraih kursi hingga berkuasa. Selanjutnya dengan kekuasaan itu partai pemenang berhak mengubah tatanan yang ada sesuai keinginan parpol itu sendiri.
Saat kekuasaan telah didapat maka kepentingan kelompok dan individu menjadi prioritas. Janji manis saat kampanye tinggal harapan di benak rakyat. Rakyat dilupakan. Rakyat hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan lewat suara. Kebijakan yang dihasilkan pun tak lagi demi rakyat, melainkan bagaimana menyusun strategi untuk melanggengkan kekuasaan.
Inilah jebakan demokrasi agar umat terhadang dari perjuangan menegakan syariat Islam. Melebur dengan demokrasi sama saja seperti bunuh diri. Kekuatan politik Islam takkan memberi pengaruh apapun selama perjuangannya masih dalam wadah demokrasi.
Politik Islam harus dibangun secara mandiri, berjuang secara mandiri pula tanpa intervensi dan campur tangan demokrasi. Menyampaikan kepada masyarakat bahwa politik Islam memiliki pengertian, yaitu riayah. Aktifitas partai politik diisi dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Memahamkan dan mengajak umat untuk menerapkan isi Al Quran dalam kehidupan. Karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan dan berguna untuk individu maupun negara.
Kekuasaan yang dituju dalam politik Islam semata untuk kemaslahatan umat. Mengayomi, melayani, sekaligus memastikan kebutuhan umat terpenuhi. Menjaga harta dan darah umat dari segala bentuk penjajahan, menjadi tanggung jawab pemimpin islam. Itulah sistem islam, senantiasa mengajak pada kebaikan untuk menegakan aturan Allah di muka bumi, sampai kebaikan itu menyebar ke seluruh alam.
Wallahu’alam.
*Komunitas Pena Islam
(*/arrahmah.com)