BEKASI (Arrahmah.com) – Menuduh para aktivis Islam dalam kasus bom Solo sebagai tindakan ‘bunuh diri’ adalah tuduhan keji dan dosa besar, lebih besar daripada tuduhan zina tanpa bukti.
Pernyataan tersebut disampaikan KH Mudzakkir dalam kajian ilmiah bertema “Islam, Radikalisme dan Rekayasa Kaum Kafir” yang diselenggarakan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Bekasi, di Masjid Islamic Centre Bekasi, Sabtu (8/10/2011).
Tanpa bermaksud membela aksi pemboman di rumah ibadah, KH Mudzakkir yang juga Pemimpin Ponpes Al Islam Solo, mengingatkan agar tidak menuduh seseorang melakukan bunuh diri bila tidak ada buktinya, karena setiap ucapan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
“Kok mereka tahu kalau saudara-saudara kita umat Islam itu melakukan bunuh diri? Tahu kalau mereka bunuh diri itu dari mana? Apakah sebelum melakukan aksi itu mereka mengirimkan pesan kalau mau bunuh diri?” ujarnya di hadapan ratusan jamaah.
“Itu kan tudingan orang-orang kafir dan orang-orang yang selama ini suka berbohong kepada umat Islam. Dari mana mereka tahu kalau itu bunuh diri?” tambahnya.
Lebih lanjut Mudzakkir mengatakan bahwa jika menuduh orang berbuat bunuh diri, harus ada bukti yang jelas. Seperti peristiwa tunggal orang gantung diri dengan latar belakang dililit hutang, ditinggal pacar, usaha bangkrut, dan sebagainya, kemudian merasa tidak ada harapan lalu frustasi dan melakukan bunuh diri.
“Kalau mereka (pelaku bom gereja Solo, red) dituduh bunuh diri, lalu frustasinya karena apa?” tukasnya.
Persoalan lain dalam tuduhan bunuh diri adalah siapa yang meledakkan bom itu. Maka untuk menyimpulkan seseorang melakukan bunuh diri harus ada bukti yang jelas.
“Kalau mereka dituduh bunuh diri, apakah betul mereka bunuh diri? Jangan-jangan ada bom di sini lalu ada orang lain yang memantik, dan dia tidak tahu ada orang lain yang memantik,” terangnya.
“Bahwa di situ ada bom, bisa saja yang meledakkan itu orang lain. Atau mereka sebenarnya disuruh orang lain yang menuduh itu? Kita tidak punya bukti untuk menuduh mereka bunuh diri.”
Berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Hujurat 6, KH Mudzakkir mengingatkan umat Islam agar lebih kritis dan selektif dalam menyikapi segala berita dari orang fasik, termasuk berita tuduhan bom bunuh diri.
“Islam melarang kita untuk mempercayai tuduhan-tuduhan tersebut. Dosa besar! Allah Ta’ala menyatakan, in ja’akum fasiqun binaba’in fatabayyanuu,” tegas pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo itu.
Berdasarkan ayat tersebut, bila ada berita harus dilakukan tabayun, cek ricek dan cari bukti, jangan sampai kita memutuskan atau menetapkan sesuatu tanpa bukti lalu menyesal di belakang hari. Terlebih tuduhan teroris dan bunuh diri kepada saudara sesama muslim yang tanpa bukti adalah tindakan yang tidak Islami.
“Ini ada saudara kita mati dizalimi orang, tidak kita bela tapi malah kita tuduh teroris. Kok tega sekali kita mengatakan begitu?”
Bahaya tuduhan teroris dan bunuh diri kepada sesama Muslim, ungkap Mudzakkir, jauh lebih berbahaya daripada tuduhan zina tanpa bukti. Menuduh seseorang sebagai pezina saja, lanjutnya, Allah memberikan peringatan keras dalam Al-Qur’an surat An-Nur 12-17, sebagai ifkun mubin (kebohongan yang nyata) dan buhtanun ‘azhim (kebohongan besar) yang terancam dengan ‘adzabun ‘azhim (azab yang besar).
Mudzakkir menegaskan sebagai umat beriman, umat Islam jangan latah menuduh sesama muslim sebagai teroris dan bunuh diri.
“Ini adalah kebohongan yang besar. Jika selama ini kita pernah berbuat seperti itu, ikut-ikutan mengecap mereka tanpa bukti, maka saya bacakan satu ayat Al-Qur’an, ‘Allah memperingatkan kamu agar jangan kembali memperbuat yang seperti itu lagi selama-lamanya, kalau memang kalian orang-orang yang beriman,'” urainya sembari menyitir Al-Qur’an surat An-Nur 17.
Belajar dari berbagai kesalahan informasi mass media di masa lalu, Mudzakkir mengingatkan agar umat Islam mewaspadai informasi seputar bom dan terorisme. Pasalnya di Solo pernah ditemukan sebuah bom di dalam gereja, kemudian ormas-ormas Islam mengultimatum polisi agar mengungkap siapa pelakunya. Kalau polisi tidak bisa menangkap pelakunya berarti pelakunya adalah polisi sendiri. Ternyata disampaikan secara diam-diam oleh aparat bahwa pelakunya adalah orang dalam sendiri.
“Sampai sekarang saya ndak tahu apa maksud ‘orang dalam’ itu, apakah orang dalam gereja atau orang dalam polisi?” jelasnya.
Dari berbagai kasus terorisme di Solo yang sarat kejanggalan itu, Mudzakkir mencurigai kalau bom di depan gereja Bethel Solo beberapa waktu lalu dilakukan oleh orang luar.
“Dulu di Ambon banyak umat Islam dibunuh, tapi gereja di Solo selalu aman-aman. Kok tiba-tiba ini terjadi bom gereja? Pasti dari luar yang memang di luar kendali kita. Pelakunya jangan-jangan mereka sendiri,” tegasnya.
Mudzakkir menambahkan, berita dari aparat kepolisian menyangkut kasus terorisme tidak bisa dipercaya. Ia mencontohkan, di Cawang, Jakarta Timur, ada dua orang pemuda yang dibunuh dengan tuduhan teroris. Setelah terbunuh, polisi mencari identitasnya, ternyata tidak bisa menemukan siapa nama dan alamat dua orang tersebut. Bahkan ketika dikuburkan di Pondok Ranggon Jakarta Timur, pada Selasa (8/5/2010), polisi hanya bisa memberi label Mr X-1 dan Mr X-2 di nisan kuburan.
“Mereka membunuh dua orang yang disangka teroris tapi tidak tahu siapa namanya dan di mana alamatnya, lalu kedua jenazahnya dikuburkan dengan diberi label Mr X1 dan Mr X2,” gugatnya.
Dengan validitas yang tidak shahih seperti itu, maka umat Islam dilarang keras percaya dengan informasi polisi terkait berita ‘terorisme’. (voaI/arrahmah.com)