(Arrahmah.com) – Pada saat ini adanya lembaga keuangan merupakan sebuah keharusan dikarenakan untuk kemudahan dalam melakukan transaksi keuangan. Dewasa ini, menjamurnya lembaga keuangan bukanlah suatu hal yang aneh. Baik di kota maupun di desa adanya lembaga keuangan bisa di pastikan ada meskipun jumlahnya hanya satu atau dua. Di satu sisi adanya lembaga keuangan sangat membantu terlebih dalam menangani jasa lalulintas pembayaran namun, disisi yang lain adanya lembaga keuangan juga memiliki dampak yang kurang baik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 tercatat 118 lembaga keuangan bank dengan jumlah kantor sebanyak 32.963 di Indonesia. Belum lagi jumlah lembaga keuangan lainnya (non bank). Lalu, apa yang menjadi masalah dengan keberadaan lembaga keuangan tersebut baik bank maupun non bank?
Seperti yang kita ketahui mengenai definisi bank berdasarkan Undang – undang No.10 Tahun 1998 yaitu sebuah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dari definisi tersebut terdapat kata kredit yang dapat diartikan utang, bank menjadi fasilitator orang untuk berhutang. Baik utang dalam bentuk uang atau barang seperti kredit rumah (KPR), pembelian kendaraan dan lainnya. Begitu juga dengan lembaga keuangan lainnya seperti pegadaian yang menyediakan pinjaman uang dengan menggunakan jaminan, perusahaan leasing dan lainnya.
Dapat kita lihat iklan yang sering terpampang dijalan yang berisikan ajakan untuk memberi sebuah kendaraan dengan uang muka hanya Rp 500.000,- atau bahkan ada yang menjanjikan tanpa uang muka pun kia bisa memiliki kendaraan. Hal itu tentu menggiurkan bagi sebagian orang yang tingkat konsumerismenya tinggi. Dengan menjamurnya lembaga keuangan yang secara implisit tugasnya adalah memberikan fasilitas pada orang lain dalam berutang, bagaimana Islam memandang hal tersebut? apakah Islam melarang manusia untuk berhutang ?
Dalam Islam hukum dari berhutang sendiri adalah mubah atau boleh selama sesuai dengan syariat bahkan orang yang memberikan hutang kepada orang lain sangat dianjurkan . Sebagaimana hadist berikut : “ Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepadanya sebanyak dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah). Dan “Barangsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah melapangkan untuknya kedudukan akhirat.” Namun dalam situasi dan kondisi seperti apakah
yang menyebabkan kita dibolehkan untuk berhutang? Apakah dalam situasi dan kondisi apapun atau hanya dalam situasi dan kondisi tertentu?
Berdasarkan hadist dari Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallhu alaihi wa sallam bahwa beliau berkata pada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berutang, tidaklah mau berutang, kecuali karena suatu kebutuhan.”
Dalam hadist di atas terdapat kata kecuali karena sebuah kebutuhan. Definisi dari kebutuhan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan hidup. Merujuk kepada definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa situasi dan kondisi diperbolehkannya manusia untuk berhutang adalah ketika ia tidak bisa lagi mempertahankan kehidupannya karena kekurangan kebutuhan. Namun realita yang terjadi pada saat ini, produk yang ditawarkan untuk berutang adalah produk mewah yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengganggu keberlangsungan hidup. Pola seperti ini sangat tidak baik, menjadikan manusia cenderung konsumtif. Sehingga semua yang dimiliki ini bersumber dari hutang, bahkan ada celotehan “selama bisa membeli dengan berhutang untuk apa membayar cash”. Hal ini sangat bertentangan dengan syarat dan ketentuan dari berutang yang disebabkan karena semakin menjamurnya lembaga keuangan yang memudahkan untuk berhutang.
Sifat dari hutang sendiri adalah wajib untuk dibayar hal ini selaras dengan hadist dari Abu Hurairah Ra. Ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW. : “Sekalipun aku memiliki emas gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kevuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang.” (HR. Bukhari)
Dan barangsiapa meninggal dalam keadaan masih membawa hutang maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikan yang dimilikinya. Hendak kita sebagai manusia yang diberikan akal untuk berfikir harus lebih bijak lagi dalam menghadapi sebuah fenomena, gunakanlah fasilitas yang ada sesuai dengan kebutuhan dan jangan berlebihan dalam menggunakan fasilitas tersebut. Karena Allah lebih menyukai keseimbangan tidak kurang ataupun berlebihan. Wallahu a’lam bishawwam.
Nurul Azmiatul Umamah, Mahasiswi STEI SEBI semester 6
(*/arrahmah.com)