Oleh Ummu Alifah
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
Tujuh puluh tujuh tahun lalu, santri telah menjadi bagian penting negeri ini dalam mengusir kaum kafir penjajah. Dengan semangat jihad fii sabilillah, mereka siap ada di garda terdepan. Tujuan mereka jelas, ingin meraih rida Allah dan tak rela kemuliaan umat dikangkangi penjajah.
Sungguh tak berlebihan ketika jasa mereka itu diapresiasi dengan dikukuhkannya satu momen bersejarah sebagai Hari Santri Nasional (HSN) setiap 22 Oktober. Yang mana diambil dari momentum Resolusi Jihad yang diserukan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri dan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU). Namun betapa mirisnya ketika kini peringatan HSN justru dibelokkan arahnya menuju haluan yang tak semestinya sebagaimana momen awal dikukuhkannya.
Sebagaimana dikutip dari republika.co.id (22/10/2022) bahwa HSN tahun ini salah satunya diperingati dengan menghadirkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna memberi kecakapan literasi dan inklusi keuangan syariah di kalangan santri. Agenda diselenggarakan secara serentak di berbagai Ponpes se-Indonesia, berpusat di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Munawwir Krapyak, Bantul, Yogyakarta.
Masih dalam laman yang sama disampaikan beberapa tujuan diselenggarakannya agenda. Mulai dari untuk mendekatkan santri dengan akses keuangan (inklusi) pada lembaga jasa keuangan legal, hingga meng-counter pengaruh buruk dari maraknya aktivitas rentenir, pinjol ilegal, hingga investasi bodong.
Peran Santri Dikebiri
Betapa disayangkan, ketika momentum Resolusi Jihad yang dahulu dikumandangkan kini justru dikebiri sekadar untuk memikirkan urusan ekonomi. Terlebih sekadar bentuk pengarahan agar santri turut dalam pembangunan ekonomi bangsa yang menganut prinsip kapitalistik.
Sungguh itu ibarat pengebirian peran santri. Jihad yang menjadi aktivitas santri di masa kemerdekaan dahulu sendiri mengandung makna yang khas. Yakni upaya peperangan fisik dalam rangka melenyapkan kezaliman dari musuh kafir. Tentu tak layak jika dikerdilkan dengan menjadikan santri sebagai pejuang kebangkitan ekonomi semata.
Padahal semua paham bahwa santri adalah sosok yang aktivitas utamanya adalah mengaji. Mereka tengah digodok dalam kawah candradimuka (pesantren) untuk menjadi pribadi yang paham, menjalankan, sekaligus menyebarkan ajaran Islam yang utuh menyeluruh.
Disebut Islam yang menyeluruh ketika aturan agama dipahami dan dilaksanakan secara sempurna oleh masyarakat. Dikatakan Islam yang utuh adalah pada saat negara menjadi institusi penegak syariat-Nya.
Sementara hari ini fakta menunjukkan betapa umat demikian jauh dari pemahaman dan ketundukan pada ajaran agamanya. Negara pun alih-alih menerapkan aturan Islam yang menyeluruh justru memilih berkiblat pada arah bernegara ala Barat.
Tidak mengherankan ketika bermunculan beragam persoalan kehidupan dari segenap penjuru. Tak terkecuali problem ekonomi yang demikian rumit membelit bangsa ini. Gurita kemiskinan dan kesejahteraan yang amat mahal, berdampak meluasnya penipuan berkedok investasi palsu, pinjol dan praktik rentenir yang menjebak warga. Di tataran makro terjadi resesi, inflasi hingga krisis ekonomi yang kehadirannya ibarat rutinitas. Umat hidup dalam kondisi sesak dan terhimpit.
Akar Persoalan Sistemik
Akar Penyebabnya tiada lain adalah menjauhnya umat dari aturan agama yang menyeluruh. Umat justru terpaksa manut dengan arah pandang kufur yakni Kapitalisme yang sekuler. Karena hal tersebut yang dipilih oleh negara untuk diterapkan.
Kapitalisme telah memfokuskan pandangan semua kalangan ke arah peraihan manfaat dan materi semata. Tak peduli jika pun harus menerobos prinsip halal dan haram, karena agama pun hanya dianut berdasarkan prinsip sekuler (menjauhkan tata ajaran agama dari kehidupan). Maka merebaklah riba yang diorganisir oleh negara dalam bentuk lembaga perbankan. Pinjol beriba pun dipandang sah asalkan mendapat legalisasi OJK yang ditunjuk pemerintah. Bermunculan juga praktik ekonomi nonriil yang jauh dari tata ekonomi Islam, dan seterusnya.
Asas manfaat yang diagungkan dalam prinsip kapitalistik memunculkan aktivitas-aktivitas pragmatis yang akhirnya menjebak umat kompromistis dengan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Aktivitas perbankan, jual beli saham dan aktivitas ekonomi nonriil lainnya diberi label syariah padahal hakikatnya tidak demikian.
Problem sistemik dari diterapkannya sistem Kapitalisme sekulerlah yang sejatinya adalah akar persoalannya. Dimana tentu butuh diurai dengan solusi berbasis sistem pula. Dengan cara mencabut paradigma kapitalistik sekuler. Bukan justru mencari solusi tak mengakar semisal pengerdilan peran santri.
Peran Santri yang Hakiki
Secara hakiki bahwa peran santri adalah menjadi bagian dari generasi yang mengamalkan dan menyebarkan ajaran agama. Santri pun wajib turut memperjuangkan agar aturan Islam dapat diterapkan secara sistemik di tengah umat.
Adapun negara dalam pandangan Islam harus memosisikan diri sebagai pengurus rakyat menggunakan tata aturan yang berasal dari Al-Khaliq Al-Mudabbir semata. Rakyat butuh mendapat pembinaan dengan penerapan sistem pendidikan Islam agar paham terkait semua aturan dari Rabb-nya. Penguasa Islam pun bertanggungjawab terhadap kesejahteraan dan keadilan yang diwujudkan dengan penerapan hukum syariat yang kafah (menyeluruh). Niscaya rida Allah dan izzul Islam walmukminun (kemuliaan Islam dan umat) pun akan teraih. Wallahu alam bi ash-shawwab.