Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Sungguh memprihatinkan, kasus kekerasan terus-menerus dialami kaum perempuan. Bukan hanya kekerasan secara mental dan fisik, bahkan sampai menghilangkan nyawa. Hal ini dialami salah seorang perempuan bernama Dini Sefa Afrianti yang dianiaya secara keji oleh kekasihnya Gregorius Ronald Tannur (31). Perbuatan tersangka sampai merenggut nyawa korban. Tindakan keji ini dilakukan tersangka di tempat karaoke Balckhole KTV Surabaya pada selasa 4 Oktober 2023 lalu. Korban dipukul dibagian kepala dengan menggunakan botol, kemudian korban diseret memakai mobil sampai terlindas. Setelah korban tak bergerak, tersangka Ronald melarikannya ke Rumah Sakit National Hospital dan dinyatakan meninggal sebelum sampai ke RS.
Aksi tak berprikemanusiaan Ronald tersebut dinyatakan sebagai bentuk femisida. Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, femisida merupakan pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau jendernya. Perbuatan tersebut dapat dipicu oleh rasa cemburu, superioritas, dominasi, dan kepuasan sadistik terhadap perempuan.
Perbuatan Ronald menurut Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Pasma Royce menyebutkan, ia dijerat dengan pasal berlapis. Hal tersebut berdasarkan pada fakta kejadian dan alat bukti. Pasal yang dikenakan yakni Pasal 351 ayat 3 dan Pasal 359 KUHP. Tersangka terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun. (tirto.id, 11 Oktober 2023)
Kasus Femisida Terus Berulang
Bukan hanya kasus Dini yang dianiaya hingga nyawa melayang. Sebelumnya ada beberapa kasus yang dialami perempuan seperti pembunuhan yang dilakukan Nando suami yang merenggut nyawa istinya sendiri bernama Mega. Tak jauh berbeda dengan Ronald, Nando dengan kejam memotong batang tenggorokan dan pembuluh nadi sisi kiri, hingga Mega sang istri meninggal dunia. Tak kalah sadis, aksi Riko Arizka yang membunuh mantan kekasih dengan cara dihantam menggunakan closet. Kasus berikutnya yakni aksi pembakaran yang dilakukan MR terhadap mantan istrinya DW dan SB dengan menggunakan bensin. Dikabarkan nyawa SB tak tertolong setelah ia lompat dari jembatan untuk menyelamatkan diri usai dibakar sang mantan suami. Sedangkan DW mengalami luka bakar hingga 60 persen.
Fakta mengerikan di atas, merupakan sedikit contoh dari rentetan kejadian yang dialami kaum perempuan. Data dari Komnas Perempuan yang didapat berdasarkan pengumpulan melalui pantauan media, dalam kurun waktu September 2020 hingga pertengahan Agustus 2021, diperoleh 421 kasus femisida yang terekspos media. Menurut Mike Verawati Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan, kasus femisida yang melibatkan perempuan sebagai korbannya dipicu oleh adanya perasaan superior, dominasi, misogini terhadap perempuan, rasa memiliki, dan ketimpangan relasi kuasa.
Pembunuhan (femisida) terhadap perempuan merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan. Namun ternyata, femisida dikatakan berbeda dengan pembunuhan biasa. Perbedaannya dapat dilihat dari adanya latar belakang relasi kuasa yang mendorong dibunuhnya perempuan akibat idenditas gendernya. Sebabnya, pada banyak kasus tampak kepuasan brutal pihak pelaku terhadap korban.
Pemahaman terkait femisida belum banyak dikenal di Indonesia, hal tersebut mengakibatkan data terpilar antara pembunuhan biasa dengan femisida belum tersedia. Begitu juga dengan penanganannya yang sangat minim. Sedangkan pemilahan ini sangat penting untuk mencegah potensi kekerasan yang berujung pada pembunuhan. Berdasarkan hal ini, pengkategorian femisida diklaim perlu ditegaskan lagi. Benarkah femisida jadi solusi nyata?.
Tiada Perlindungan Dalam Sistem Kapitalisme Bagi Perempuan
Penegasan penyusunan femisida dianggap membantu dalam menguatkan tuntutan hukum terhadap pelaku penganiayaan hingga menghilangkan nyawa korban perempuan. Akan tetapi perlu kita ingat, karakter payung hukum dalam sistem saat ini berpihak pada yang kuat. Seperti pada kasus Ronald, ia merupakan anak dari anggota fraksi PKB di DPR RI dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) Edward Tannur. Dengan latar belakang superioritas sebagai pembenaran, penyusunan femisida ibarat angin panas yang membakar. Tidak bisa menjadi solusi jika sudah berhadapan dengan kekuasaan.
Permasalahan terkait dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam lingkup keluarga, berlatar belakang sebagian masyarakat yang patriarki sebagai kontruksi sosiokultular masih dijumpai. Hal tersebut seolah melegalkan segala bentuk superioritas terhadap perempuan. Akibatnya, tak sedikit laki-laki menganggap posisinya lebih tinggi dan secara tidak langsung menjadi penentu segala kebijakan domestik.
Peliknya persoalan yang menyangkut kaum perempuan sebagai korbannya, tak membuat hukum berpihak begitu saja. Tak sedikit kasus yang menimpa perempuan hilang bak ditelan angin jika sudah menyangkut pembenaran superioritas. Sehingga bermunculan solusi-solusi parsial atas nama pembelaan. Namun pada akhirnya, solusi yang ditawarkan tidak mencapai keadilan yang sebenarnya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kategori femisida terhadap kasus penganiayaan dan pembunuhan pada perempuan tidak menjadi solusi yang tidak menyelesaikan.
Perlindungan Perempuan Dalam Islam
Islam dan seperangkat aturannya yang Allah wahyukan kepada Rasulullah sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia, alam semesta, dan kehidupan. Begitu juga Allah atur dengan sebaik-baiknya kedudukan laki-laki sebagai qawwam bagi perempuan di muka bumi ini. Sebagaimana dalam tafsir Ibnu Katsir makna kalimat “qawwamuuna ‘alaa an-nisa” dalam surat An-Nisa ayat 34 menjelaskan, bahwasanya laki-laki adalah pengurus kaum perempuan. Artinya, sebagai pemimpin, kepala, yang menguasai, dan yang mendidik jika menyimpang.
Dalam penjelasan tafsir di atas, Allah menciptakan laki-laki bukan untuk menindas, menguasai dengan semena-mena, dan menganggap kedudukannya paling tinggi dari perempuan. Akan tetapi kaum lelaki mempunyai tanggung jawab dalam menjaga, memuliakan, dan melindungi perempuan. Baik sebagai ayah, saudara (kandung dan seakidah), dan suami. Sebab dalam Islam kedudukan yang paling mulia di sisi Allah yakni ketakwaannya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat : 13).
Ayat tersebut tidak memberikan keistimewaan kepada gender tertentu untuk menjadi orang yang paling mulia di hadapan Allah. Sangat jelas dalam Islam tidak menunjukkan bahwa superioritas atas perempuan adalah pembenaran untuk bisa memperlakukan dengan keji. Seperti tindak penganiayaan hingga menyebabkan korban (perempuan) kehilangan nyawa.
Dalam Islam, adanya sinkronisasi antara perintah Allah dan pelaksanaan sistem sahih (benar) yang diterapkan oleh pemimpin (khalifah). Ia bertanggung jawab menjamin dan melindungi setiap nyawa warga negaranya. Khalifah akan menegakkan hukum secara tegas dengan merujuk pada syariat, setiap membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan syara’ adalah dosa besar. Pelaku akan dikenakan sanksi menjerakan dengan tujuan mencegah agar orang lain tidak melakukan hal yang sama. Juga sebagai penebus dosa bagi pelaku yang telah melakukan pelanggaran hukum.
Dengan demikian, khalifah sebagai pemimpin umat akan mewujudkan perlindungan hakiki bagi seluruh warga negaranya tanpa memandang jenis kelaminnya. Siapapun yang melanggar hukum, melakukan tindak kriminalitas akan memperoleh sanksi tegas. Hanya dengan menerapkan Islam dan aturannya secara totalitas, segala problematika yang dihadapi termasuk tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan akan tersolusikan hingga ke akarnya. Pada akhirnya, seluruh umat akan hidup dalam perlindungan yang paripurna.
Wallahua’lam bish shawab.