KAIRO (Arrahmah.com) – Tentara junta Mesir dengan darah dingin membantai para pendukung presiden terguling Muhammad Mursi yang melakukan aksi unjuk rasa menentang kudeta militer. Dengan tanpa ampun, aksi militer yang terjadi kemarin (14/8/2013), membunuh lebih dari 2.600 orang pendukung Mursi yang notabene adalah rakyat Mesir.
Jam malam diberlakukan di 14 provinsi di seluruh negeri sejak kemarin bersama dengan diumumkannya keadaan darurat di Mesir.
Korban tewas terus meningkat. Junta militer mengklaim angka lebih dari 200, namun Ikhwanul Muslimin Mesir mengatakan jumlah korban tewas sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan. Menurut mereka, angka korban tewas telah mencapai 2.000 orang.
Pembantaian dimulai ketika tentara junta bergerak menuju kamp pendukung Mursi, menembakkan gas air mata. Penembak jitu yang telah siang di atap-atap gedung, melepaskan tembakan menargetkan para pendukung Mursi. Helikopter militer melayang-layang di atas kamp, buldoser lapis baja memblokade jalan.
Polisi yang mengenakan masker, merobohkan tenda dan membakarnya.
“Mereka menghancurkan dinding kami. Polisi dan tentara, mereka menembakkan gas air mata ke arah anak-anak,” ujar Saleh Abdulaziz (39), seorang guru sekolah menengah yang mengalami luka di kepalanya.
Polisi mengambil kontrol penuh di kamp Rabaa al-Adawiya pada Rabu (14/8) sore, lapor kantor berita pemerintah.
Kelompok-kelompok yang lebih kecil telah berkumpul di alun-alun dan jalan-jalan setelah kamp protes “dibersihkan”, lansir Al Jazeera.
Sebelumnya di hari yang sama, pasukan junta telah “membersihkan” Nahda Square menggunakan gas air mata.
Kekerasan menyebar di luar Kairo dengan bentrokan mematikan terjadi di Alexandria, Suez dan Fayoum.
Didukung militer, perdana menteri interim membela keputusan pemerintah untuk “membersihkan” kamp-kamp protes, mengklaim bahwa pemerintah tidak punya pilihan selain “bertindak”.
Jam malam berlaku pada pukul 21.00 waktu setempat sampai pukul 6.00 pagi.
Dalam menanggapi kekerasan, Mohammad ElBaradai, Wakil Presiden interim dan mantan diplomat PBB, mengundurkan diri dari jabatannya dan mengatakan dalam sebuah surat kepada pemimpin negara itu bahwa konflik bisa diselesaikan dengan cara damai.
Dalam pembantaian ini, dua wartawan yang meliput juga ikut tewas. Mick Deane, seorang juru kamera untuk Sky News Channel yang berbasis di Inggris, juga Habiba Abd Elaziz, seorang reporter kota Xpress yang berbasis di UEA, mereka meninggal setelah terkena tembakan. (haninmazaya/arrahmah.com)