DAMASKUS (Arrahmah.id) – Bashar al-Assad hampir tidak menceritakan rencananya untuk melarikan diri dari Suriah saat kekuasaannya runtuh. Sebaliknya, para pembantu, pejabat, dan bahkan kerabatnya ditipu atau dibiarkan tidak tahu apa-apa, dan lebih dari selusin orang yang mengetahui kejadian tersebut mengatakan kepada Reuters.
Beberapa jam sebelum melarikan diri ke Moskow, Assad meyakinkan dalam pertemuan sekitar 30 kepala tentara dan keamanan di Kementerian Pertahanan pada Sabtu (7/12/2024) bahwa dukungan militer Rusia sedang dalam perjalanan dan mendesak pasukan darat untuk bertahan, menurut seorang komandan yang hadir dan meminta anonimitas untuk berbicara tentang pengarahan tersebut.
Staf sipil pun tak menyadari hal itu.
Assad mengatakan kepada manajer kantor kepresidenannya bahwa pada Sabtu (7/12), saat dia selesai bekerja, dia hendak pulang tetapi malah menuju ke bandara, menurut seorang ajudan di lingkaran dalamnya.
Ia juga menelepon penasihat medianya, Buthaina Shaaban, dan memintanya pulang untuk menuliskan pidatonya, kata ajudan itu. Ia tiba dan mendapati tidak ada seorang pun di sana.
“Assad bahkan tidak melakukan perlawanan terakhir. Ia bahkan tidak mengerahkan pasukannya sendiri,” kata Nadim Houri, direktur eksekutif lembaga pemikir regional Arab Reform Initiative. “Ia membiarkan para pendukungnya menghadapi nasib mereka sendiri.”
Reuters tidak dapat menghubungi Assad di Moskow, tempat ia telah diberikan suaka politik. Wawancara dengan 14 orang yang mengetahui hari-hari dan jam-jam terakhir kekuasaannya menggambarkan seorang pemimpin yang mencari bantuan dari luar untuk memperpanjang kekuasaannya yang telah berlangsung selama 24 tahun sebelum mengandalkan tipu daya dan taktik sembunyi-sembunyi untuk merencanakan keluarnya dari Suriah pada dini hari Ahad (8/12).
Sebagian besar sumber, termasuk para pembantu di lingkaran dalam mantan presiden, diplomat regional dan sumber keamanan, serta pejabat senior Iran, meminta agar nama mereka dirahasiakan agar mereka dapat membahas masalah sensitif secara bebas.
Assad bahkan tidak memberi tahu adiknya, Maher komandan Divisi Lapis Baja ke-4 Angkatan Darat, tentang rencananya untuk keluar, menurut tiga ajudannya. Maher menerbangkan helikopter ke Irak dan kemudian ke Rusia, kata salah satu sumber.
Sepupu dari pihak ibu Assad, Ehab dan Eyad Makhlouf, juga ditinggalkan ketika Damaskus jatuh ke tangan oposisi, menurut seorang ajudan Suriah dan pejabat keamanan Lebanon.
Pasangan itu mencoba melarikan diri dengan mobil ke Lebanon tetapi disergap di tengah jalan oleh perlawanan yang menembak mati Ehab dan melukai Eyad, kata mereka. Tidak ada konfirmasi resmi mengenai kematian tersebut, dan Reuters tidak dapat memverifikasi insiden tersebut secara independen.
Assad sendiri melarikan diri dari Damaskus dengan pesawat pada 8 Desember, terbang di bawah radar dengan transponder pesawat dimatikan, kata dua diplomat regional, lolos dari cengkeraman perlawanan yang menyerbu ibu kota. Pengunduran diri yang dramatis itu mengakhiri 24 tahun kekuasaannya dan setengah abad kekuasaan keluarganya yang tak terputus dan menghentikan perang saudara yang telah berlangsung selama 13 tahun.
Dia terbang ke pangkalan udara Hmeimim Rusia di kota pesisir Suriah, Latakia, dan kemudian ke Moskow.
Keluarga dekat Assad, istrinya Asma dan ketiga anak mereka sudah menunggunya di ibu kota Rusia, menurut tiga mantan pembantu dekat dan seorang pejabat senior regional.
Video rumah Assad, yang diambil oleh perlawanan dan warga yang memadati kompleks kepresidenan setelah pelariannya dan diunggah di media sosial, menunjukkan bahwa ia keluar dengan tergesa-gesa, memperlihatkan makanan matang tertinggal di atas kompor dan beberapa barang pribadi tertinggal, seperti album foto keluarga.
Rusia dan Iran: Tidak ada penyelamatan militer
Tidak akan ada penyelamatan militer dari Rusia, yang intervensinya pada 2015 telah membantu membalikkan keadaan perang saudara yang menguntungkan Assad, atau dari sekutu setianya lainnya, Iran.
Hal ini telah diperjelas kepada pemimpin Suriah pada hari-hari menjelang kepergiannya, ketika ia mencari bantuan dari berbagai pihak dalam upaya putus asa untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan keselamatannya, menurut orang-orang yang diwawancarai oleh Reuters.
Assad mengunjungi Moskow pada 28 November, sehari setelah pasukan perlawanan Suriah memasuki provinsi utara Aleppo dan menyerbu seluruh negeri, tetapi permohonannya untuk intervensi militer tidak didengar oleh Kremlin, yang tidak bersedia campur tangan, kata tiga diplomat regional.
Hadi al-Bahra, kepala oposisi utama Suriah di luar negeri, mengatakan bahwa Assad tidak menyampaikan realitas situasi kepada para pembantunya di dalam negeri, mengutip sumber dalam lingkaran dekat Assad dan seorang pejabat regional.
“Dia memberi tahu komandan dan rekannya setelah perjalanannya ke Moskow bahwa dukungan militer akan datang,” Bahra menambahkan. “Dia berbohong kepada mereka. Pesan yang diterimanya dari Moskow bersifat negatif.”
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan kepada wartawan pada Rabu (11/12) bahwa Rusia telah menghabiskan banyak upaya dalam membantu menstabilkan Suriah di masa lalu tetapi prioritasnya sekarang adalah konflik di Ukraina.
Pada 2 Desember, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi bertemu dengan Assad di Damaskus. Saat itu, perlawanan dari kelompok Islam Ha’iah Tahrir asy Syam (HTS) telah menguasai kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo, dan bergerak ke selatan saat pasukan pemerintah runtuh.
Assad tampak tertekan selama pertemuan tersebut dan mengakui bahwa pasukannya terlalu lemah untuk melakukan perlawanan yang efektif, seorang diplomat senior Iran mengatakan kepada Reuters.
Assad tidak pernah meminta Teheran untuk mengerahkan pasukan di Suriah, meskipun demikian, menurut dua pejabat senior Iran yang mengatakan bahwa ia memahami bahwa ‘Israel’ dapat menggunakan intervensi tersebut sebagai alasan untuk menargetkan pasukan Iran di Suriah atau bahkan Iran sendiri.
Kremlin dan Kementerian Luar Negeri Rusia menolak mengomentari artikel ini, sementara Kementerian Luar Negeri Iran tidak dapat segera dihubungi.
Assad menghadapi kehancurannya sendiri
Setelah kehabisan pilihan, Assad akhirnya menerima kejatuhannya yang tak terelakkan dan memutuskan untuk meninggalkan negara itu, mengakhiri kekuasaan dinasti keluarganya, yang dimulai sejak 1971.
Tiga anggota lingkaran dalam Assad mengatakan bahwa ia awalnya ingin mencari perlindungan di Uni Emirat Arab, karena perlawanan menguasai Aleppo dan Homs dan bergerak maju menuju Damaskus.
Mereka mengatakan bahwa dia ditolak mentah-mentah oleh Uni Emirat Arab, yang takut akan reaksi keras internasional karena menyembunyikan seorang tokoh yang dikenai sanksi AS dan Eropa karena diduga menggunakan senjata kimia dalam tindakan keras terhadap perlawanan, tuduhan yang dibantah Assad sebagai tuduhan rekayasa.
Pemerintah UEA tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Namun Moskow, meski tidak mau campur tangan militer, tidak siap meninggalkan Assad, menurut sumber diplomatik Rusia yang berbicara dengan syarat anonim.
Salah satu sumber keamanan Barat mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov melakukan “apa pun yang dia bisa” untuk menjamin kepergian Assad dengan selamat.
Moskow berkoordinasi dengan negara-negara tetangga untuk memastikan bahwa pesawat Rusia yang meninggalkan wilayah udara Suriah dengan Assad di dalamnya tidak akan dicegat atau menjadi sasaran, kata tiga sumber.
Perdana menteri terakhir Assad, Mohammed Jalali, mengatakan dia berbicara dengan presidennya saat itu melalui telepon pada Sabtu (7/12) pukul 10.30 malam.
“Dalam panggilan terakhir kami, saya katakan kepadanya betapa sulitnya situasi saat ini dan bahwa ada perpindahan besar-besaran (masyarakat) dari Homs ke Latakia … bahwa ada kepanikan dan kengerian di jalan-jalan,” katanya kepada TV Al Arabiya milik Saudi pekan ini.
“Dia menjawab: ‘Besok, kita lihat saja’,” imbuh Jalali. “‘Besok, besok’ adalah hal terakhir yang dia katakan kepada saya.”
Jalali mengatakan dia mencoba menelepon Assad lagi saat fajar menyingsing pada Ahad (8/12), tetapi tidak ada jawaban. (zarahamala/arrahmah.id)