Oleh Uqie Nai
Member Menulis Kreatif
Kasus kecelakaan lalu lintas seringkali menjadi topik pemberitaan yang cukup menyita perhatian. Jumlah korbannya pun tak main-main. Ada yang luka ringan, ada yang harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit, bahkan tak sedikit yang meninggal di tempat kejadian. Kecelakaan ini terjadi bisa karena kelalaian individu seperti mengantuk, rem blong, atau berkendara secara ugal-ugalan. Sebut saja contohnya kasus tabrakan beruntun di Tol Cipularang Km 92 Sukatani, Kabupaten Purwakarta pada Senin 11/11/2024 yang disebabkan kelalaian sopir truk trailer hingga menabrak 16 kendaraan.
Terkait banyaknya kecelakaan di jalan raya, Kakorlantas Polri Irjen Aan Suhanan mengatakan setiap satu jam ada korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Ia menyebut ada sekitar 152 ribu kasus yang memakan lebih dari 27 ribu korban jiwa. Artinya dalam satu jam ada 3-4 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Aan juga menyebut bahwa kematian akibat kecelakaan lalu lintas menduduki peringkat ketiga di Indonesia setelah TBC, dan HIV-AIDS.
Oleh karena itu, untuk menekan jumlah korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas dibutuhkan keterlibatan seluruh warga. Karena kecelakaan lalu lintas pada umumnya diawali dengan pelanggaran lalu lintas. Selain itu, kerja sama dengan stakeholders seperti Jasa Raharja sangat diutamakan terutama untuk melakukan tindakan-tindakan preemtif (pengawasan) maupun preventif (pencegahan) secara bersama-sama di area rawan kecelakaan yang disebut keroyok black spot. (Detiknews.com, Ahad 15/12/2024)
Keroyok Black Spot, Upaya Parsial dari Masalah Akar
Secara personal mengimbau individu masyarakat taat aturan lalu lintas bisa saja berhasil, atau bahkan dengan menjalin kerjasama antar instansi semisal stakeholders juga cukup menjanjikan untuk menekan angka kecelakaan di jalan raya. Akan tetapi, upaya ini tentu tak akan menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.
Tanggung jawab sebagai aparat kepolisian, terkhusus polisi lalu lintas memang tak bisa dimungkiri. Ketidakpatuhan pengguna jalan yang merugikan diri sendiri dan juga pengguna lain menjadi persoalan tersendiri yang butuh penyelesaian segera. Meski telah diberlakukan sanksi tilang dan penjara, realitanya tak membawa efek jera. Masih banyak pengendara yang melanggar aturan lalu lintas, melabrak marka jalan, ugala-ugalan hingga aksi “koboi jalanan” kerap terjadi dan meresahkan.
Dengan demikian kerjasama antara pihak aparat dan stakeholders juga jangan fokus pada preemtif dan preventif di area black spot saja tapi juga harus memperhatikan aspek lain seperti kondisi jalan apakah cukup layak, berapa kecepatan aman, berapa jumlah batas armada di jalan umum dan jalan bebas hambatan (tol).
Sebagaimana diketahui, kondisi jalan di berbagai semisal jalan nasional, tol, atau jalan yang menghubungkan antar desa dan kabupaten hampir kebanyakan tak nyaman dilalui pengendara. Ada yang retak, berlubang, bergelombang, atau banyaknya tambalan di beberapa ruas jalan. Pembangunan jalan dengan material ala kadarnya, tidak mempertimbangkan cuaca, kontur tanah, drainase, ketahanan serta keamanan akan menyebabkan jalan cepat rusak saat pergantian musim atau saat jumlah armada dan kendaraan berat tak dibatasi. Salah satunya jalan-jalan yang terhubung dengan proyek infrastruktur dan pertambangan yang meninggalkan lubang galian dan mengundang banjir.
Dari sekian upaya yang bisa dilakukan individu, aparat, dan kelompok masyarakat, dukungan negara adalah yang utama. Negara yang abai dengan keselamatan masyarakat dan hanya mengandalkan instansi terkait, hasilnya tidak akan sempurna apalagi perlakuan “tebang pilih” kepada pemodal dengan proyeknya yang merusak dan mengganggu pengguna jalan dibiarkan. Contohnya pembangunan jalan layang di tol Jakarta-Bekasi yang menyisakan beberapa retakan dan tambalan. Sementara itu rakyat selain dipaksa membayar tol yang terus naik, fasilitas keamanan dari resiko kecelakaan dan kejahatan kurang mendapat perhatian. Maka bisa dipastikan, kecelakaan lalu lintas hingga banyaknya korban berjatuhan akan terus terjadi jika negara hanya pro kapital saja sebagaimana yang selama ini menjadi pijakan bernegara.
Pemimpin Islam Pelindung Hakiki Jiwa Manusia
Tanggung jawab pemimpin Islam (negara) terhadap rakyatnya bukan hanya urusan makanan, pakaian, tempat tinggal tapi juga keamanannya. Baik keamanan dalam aktivitas kesehariannya maupun hal-hal yang bisa mengancam jiwa. Salah satunya adalah transportasi.
Melalui seperangkat aturan yang diterapkan, negara akan memastikan bahwa kondisi jalan selain layak untuk lalu lintas manusia, jalan juga harus aman dari kejahatan dan kecelakaan. Bahkan, perhatian ini tak hanya ditujukan untuk manusia saja melainkan hewan pun sangat dijaga agar tidak terperosok. Sikap ini pernah ditunjukkan Khalifah Umar bin Khattab saat beliau menjadi pemimpin kaum muslimin. Umar berkata:
“Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?”
Perhatian yang cukup besar yang ditampakkan Umar tersebut adalah contoh riil bahwa pemimpin harus menjaga jiwa masyarakat dan juga makhluk lain yang ada dibawah kepemimpinannya. Karena jalan sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menunjang aktivitasnya, maka Islam pun memberi arahan bagaimana seorang pemimpin wajib melindungi nyawa manusia. Allah Swt. telah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 32 yang artinya:
“..Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…”
Mengingat bahwa jalan adalah bagian dari fasilitas publik, maka negara akan memastikan betul-betul aman dari bahaya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidaklah boleh mendatangkan bahaya untuk diri sendiri dan juga membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah dan ad Daruquthni)
Dengan adanya tuntunan syariat tersebut, negara dalam sistem Islam akan mengambil langkah-langkah teknis dalam pembangunan infrastruktur jalan. Mulai dari meminta masukan kepada para ahli kontruksi dan transportasi, penggunaan material yang berkualitas, awet, dan tahan lama meskipun cuaca ekstrem sekalipun. Tak lupa hal lainnya semisal lampu penerangan, marka jalan, dan penempatan aparat keamanan di beberapa titik. Di samping itu negara juga akan mengarahkan pada pegawainya, aparat keamanan, serta instansi terkait untuk selalu menyosialisasikan aturan berkendara termasuk tata tertib sebelum dan selama berkendara.
Langkah-langkah teknis yang ditempuh negara tidak akan membebankan rakyat dalam hal pembiayaannya. Sebab, sistem pemerintahan Islam memiliki sejumlah aset yang cukup besar yang menjadi sumber pendapatan negara. Antara lain pos pemasukan dari kharaj, ghanimah, fa’i, usyr, khumus, atau jizyah. Lalu pos kepemilikan umum seperti tambang, batu bara, hutan, dan hasil laut. Dan yang berikutnya adalah pos zakat. Ketiga pos pendapatan negara ini disimpan dalam Baitulmal dan dikeluarkan negara sesuai peruntukannya.
Selanjutnya, untuk menyempurnakan tanggung jawabnya, negara akan menegakkan sanksi tegas pada pengguna jalan yang melanggar aturan berupa sanksi takzir, yang kewenangannya ada di tangan negara. Sehingga tujuan maksud syarak terkait al hifz an nafs (menjaga jiwa) bisa diwujudkan.
Wallahu a’lam bis shawab