(Arrahmah.com) – Bilal Abdul Kareem, seorang jurnalis berpengalaman asal Amerika yang telah memproduksi sebuah mockumentary yang mengupas alasan Mujahidin Suriah bersatu melawan “Daulah Islam” atau Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS, pada Kamis (1/1/2015) mempublikasikan sebuah artikel berisi kisah muslimah yang bergabung dengan ISIS.
Bilal mengatakan bahwa dalam artikel ini sejumlah pertanyaan terjawab: Apa yang banyak muslimah temukan setelah mereka tiba di Raqqa? Apa yang terjadi jika mereka ingin “keluar”? Apa justifikasi yang diberikan bagi mereka yang bepergian tanpa mahram? Apa pembenaran yang mereka miliki untuk menikah tanpa izin dari wali mereka?
Dia menyatakan bahwa jika Anda mengenal muslimah yang ingin bergabung dengan ISIS, maka ini adalah sebuah artikel yang harus mereka baca terlebih dahulu. Berikut terjemahannya.
Ummu Dardaa terlihat di perbatasan Turki-Suriah pada suatu sore yang cerah. Ia telah berhubungan dengan seorang pejuang ISIS selama beberapa waktu melalui internet. Ia sendiri ingin tahu tentang ISIS dan seperti apa hidup dalam sebuah “Daulah Islam”. Ia dibesarkan di Kanada, tetapi orang tuanya adalah Muslim imigran dari sebuah negara Arab. Ketika keluarga Ummu Dardaa mengucapkan salam perpisahan padanya sebelum ia meninggalkan rumah untuk pergi umrah ke Arab Saudi, mereka tidak tahu bahwa putri mereka akan pergi.
Ummu Dardaa melakukan perjalanan ke perbatasan Turki-Suriah untuk menemui calon suami barunya. Namun, ia kehilangan kontak dengan pria tersebut karena sinyal telepon timbul tenggelam di wilayah-wilayah itu secara berkala. Semua telah diatur baginya untuk bertemu dengan seorang pria lainnya di Turki yang akan menyelundupkan dirinya ke Suriah. Namun, saat ia semakin dekat ke perbatasan, ia masih belum bisa menghubunginya. Setelah ia tiba di perbatasan, baik dirinya maupun pria yang akan menyelundupkannya belum saling mengetahui di mana orang yang bertemu dengannya “di sisi lain”.
Lagi pula, itu bukan urusan pria itu. Dia dibayar untuk melakukan pekerjaannya, yaitu membawa Ummu Dardaa dan beberapa orang lain (yang ia tidak kenal) di seberang perbatasan, selanjutnya terserah padanya. Namun pria itu tidak ingin benar-benar meninggalkannya begitu saja, jadi dia meminta Abu Qaqa yang merupakan salah satu anggota kelompok Islam menjemput orang-orang yang melintasi perbatasan untuk membantunya sampai ke tempat yang ia ingin tuju. Abu Qaqa berasal dari Inggris.
“Ke mana kau mau pergi, Ukhti?” tanyanya. Ia ragu-ragu karena ia malu untuk mengatakan yang sebenarnya. “Aku tidak tahu. Aku harus bertemu dengan beberapa orang di sini tapi telepon mereka tidak aktif dan mereka belum datang.” Ia kemudian bertanya,” Apakah ini kamp pengungsi Atmeh?” “Ya,”jawabnya. Lalu hening. Tak ada yang tahu lagi apa yang harus dikatakan selanjutnya. Ummu Dardaa sendirian saat yang lain yang tiba bersamanya mulai berhamburan ke tujuan mereka masing-masing. “Kau bisa bersama kami sampai kau dapat menemukan jalanmu, Ukhti,” kata Abu Qaqa. Setelah benar-benar tidak ada alternatif lain, akhirnya ia setuju dan mengambil kopernya satu-satunya dan memasukkannya ke kursi belakang berukuran 4X4 milik Abu Qaqa itu. Ada dua orang lainnya yang berada di dalam mobil itu juga, seorang naik di sisi penumpang dan seorang lagi yang datang dengannya di belakang. Orang itu berusaha keras menggeser duduknya untuk Ummu Dardaa agar ia merasa nyaman.
“Apakah suamimu seharusnya menemuimu?” Ia ditanya. “Tidak,” jawabnya tanpa memberikan informasi tambahan. Semua orang tahu apa maksud jawabannya. Ini biasa. Ia bertemu seorang pejuang online, dan datang untuk menikah. Kecuali rencananya menemui rintangan, calon suaminya tidak muncul lagi. Ia segera dibawa ke rumah yang ditempati oleh keluarga pejuang Rusia. Setibanya Ummu Dardaa, pejuang Rusia pergi dan mengatakan ia bisa tinggal bersama istrinya sementara ia tidur di markas kelompoknya yang setengah mil jauhnya. Di zona perang orang memiliki segala macam masalah tempat tinggal, jadi ini benar-benar tidak aneh baik bagi pejuang Rusia itu ataupun istrinya.
Malam itu Ummu Dardaa melakukan kontak dengan pasangan online-nya Abu Malik. Abu Malik adalah seorang yang berkulit sangat gelap dengan jenggot lebat. Dia dibesarkan di Perancis. Dia adalah seorang pejuang ISIS. Dia datang untuk mencari calon pengantinnya setelah diberitahu bahwa ia mungkin berada di sana. Namun, beberapa orang di sana memiliki beberapa pertanyaan untuk Abu Malik dulu. Mereka bertanya:
“Bagaimana kau bertemu wanita ini?”
“Bagaimana kau mengajukan untuk menikahinya sementara ayahnya (wali) masih hidup dan tidak memberikan persetujuannya?”
“Mengapa kau mendorong wanita ini untuk datang ke zona perang, atau perjalanan lainnya tanpa mahram?”
Abu Malik, bagaimanapun, terlihat tidak berminat untuk berbicara. Dia pikir itu bukan urusan mereka dan dia bahkan tidak menunjukkan rasa terima kasih karena telah menampung Ummu Dardaa sementara dia muncul sangat terlambat. Adu mulut terjadi namun akhirnya dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Setelah semuanya, tidak ada yang memiliki yurisdiksi atas Ummu Dardaa. Ia bebas untuk datang dan ia juga bebas untuk pergi, sebagaimana yang komandan kelompok nyatakan. Namun tidak ada yang merasa nyaman dengan apa yang baru saja terjadi.
Setelah memeriksa masalahnya, mereka mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rupanya mereka bertemu secara online melalui Facebook. Adapun mengenai persetujuan ayah Ummu Dardaa untuk pernikahannya, tampaknya Syar’i ISIS mengklaim ayahnya telah menjadi orang-orang yang meninggalkan Islam [murtad]karena dia tidak mendukung para pejuang ISIS, jadi Ummu Dardaa diberitahu bahwa ia tidak lagi memiliki wali yang sah atau mahram dan secara “Islami” diperbolehkan baginya untuk bepergian sendirian karena ayahnya sekarang berlabel “non-Muslim”. Baik Syar’i itu maupun Abu Malik belum pernah berbicara kepada ayah Ummu Dardaa. Mereka mengatakan bahwa seorang wali akan disediakan untuk Ummu Dardaa setibanya ia di sana sehingga ia bisa memenuhi syarat pernikahan di mana ia harus memiliki persetujuan wali.
Ini adalah kisah tentang begitu banyak muslimah muda yang telah jatuh ke tangan ISIS. Sejumlah muslimah memutuskan bahwa mereka akan menikah setelah mereka sampai di Raqqa tanpa mengaturnya terlebih dahulu. Dalam hal ini, mereka akan tiba di sana dan bertemu dengan beberapa pelamar. Jika ia memilih untuk tidak menikah, karena alasan apapun, maka mereka harus tinggal di perumahan yang disediakan oleh ISIS.
Kadang-kadang akan ada sejumlah besar muslimah yang tinggal di sebuah villa untuk jangka waktu yang panjang. Setelah tinggal di Raqqa selama beberapa waktu, beberapa muslimah akan merasa bahwa “Daulah Islam” ternyata tidak seperti yang mereka dengar, dan mereka merasa seperti tahanan, dan ingin pergi meninggalkannya. Namun pergi tak semudah datang. Para muslimah itu hanya bisa pergi meninggalkan ISIS dalam 2 kasus, entah mereka harus mendapatkan surat izin dari pengadilan atau mereka harus melakukan perjalanan dengan mahram, yang notabene tidak mereka miliki karena (menurut aturan ISIS) mereka tentu tidak memiliki mahram kecuali mereka menikah.
Ummu Nadia, yang juga dari Barat, bersama dengan beberapa muslimah lain, yang baru-baru ini melarikan diri, menyebutkan bahwa ada banyak orang lain di Raqqa yang berada dalam situasi yang sama seperti mereka. Ia mengatakan bahwa mereka menghabiskan sebagian besar hari di dalam villa dan tidak diizinkan untuk berkeliaran dengan bebas dan itu terasa seperti sebuah penjara.
Setelah melarikan diri, Ummu Nadia dan kelompok kecilnya berlari sejauh mereka bisa, mencari siapa saja yang mau memberikan mereka tempat yang aman untuk tidur. Banyak warga di daerah itu yang takut pembalasan dari ISIS dan tidak berani menampung mereka. Akhirnya mereka menemukan orang yang berbeda yang akan memberikan mereka tempat tinggal untuk jangka waktu yang singkat.
Akhirnya Ummu Nadia dan kelompoknya memutuskan untuk mengambil peluang mereka melintasi perbatasan Turki yang sudah sangat sulit untuk dilakukan karena munculnya ISIS. Bulan lalu seorang muslimah bahkan ditembak di bagian kakinya oleh tentara perbatasan Janderma Turki ketika mencoba untuk menyeberang.
Ummu Nadia dan orang-orang seperti dirinya memiliki pilihan terbatas. Mereka bisa mencoba untuk kembali ke negara asal mereka, tetapi banyak dari mereka takut bahwa mereka mungkin akan dipenjara setelah mereka kembali. Jadi untuk beberapa minggu terakhir Ummu Nadia telah berpindah dari satu tempat ke tempat lain mencoba untuk mencari tahu langkah selanjutnya. Jejak Ummu Nadia telah menjauh dan tidak ada yang tahu di mana dirinya dan saudari muslimah lainnya pergi atau apa yang terjadi pada mereka.
Memang ada beberapa muslimah yang tiba di Raqqa, menemukan suami mereka, dan melanjutkan hidup mereka di lingkungan baru mereka. Namun bagi muslimah lainnya yang seperti Ummu Nadia, ada banyak hal yang tidak selalu berjalan seperti yang direncanakan.
(aliakram/arrahmah.com)