JAKARTA (Arrahmah.com) – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menolak seluruh dalil dari nota pembelaan pledoi yang diajukan oleh Habib Rizieq Shihab (HRS). Ia tetap menuntut Habib Rizieq 6 tahun penjara atas kasus penyebaran kabar bohong (hoaks) hasil tes swab Rumah Sakit Ummi Bogor.
“Pada intinya kami selaku penuntut umum tetap pada tuntutan kami tersebut,” kata jaksa di persidangan dengan agenda pembacaan replik terhadap pledoi Rizieq di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada Senin (14/6/2021).
Jaksa penuntut umum mengklaim pihaknya dalam menyusun tuntutan terhadap Habib Rizieq telah mempertimbangkan berbagai aspek baik secara yuridis maupun nonyuridis.
Jaksa juga mengatakan tetap pada dakwaannya untuk menjerat Rizieq dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pada hari yang sama, Komisi III DPR menggelar Rapat Kerja (Raker) dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Dalam raker itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyinggung sejumlah disparitas dalam penegakkan hukum.
Hal ini disampaikannya berkaitan dengan Pedoman Jaksa Agung No 3/2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum. Meskipun ini merubah kultur, tapi juga menimbulkan disparitas hukum.
“Namun saya melihat pak Jaksa Agung, terjadi disparitas setelah keluarnya pedoman ini, yakni disparitas dalam penuntutan perkara tindak pidana umum ini. Khususnya disparitas ini terjadi dalam perkara-perkara yang sering oleh publik dimaknai atau berkaitan dengan kebebasan berekspresi, hak berdemokrasi. Bersentuhan dengan yang ada di sana,” kata Arsul dalam Rapat Kerja (Raker) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (14/6).
Arsul mencontohkan kasus Habib Rizieq, Syahganda Nainggolan dan Ratna Sarumpaet yang dinilai bertentangan dengan pemerintah dijatuhi hukuman maksimal 6 tahun penjara. Sedangkan kasus petinggi Sunda Empire yang tidak bertentangan dengan pemerintah dituntut pidana yang rendah.
“Ini perkara-perkara ini dituntut maksimal 6 tahun, padahal saya melihat perkaranya yang didakwakan pasalnya sama, kemudian dikaitkan dengan status penyertaannya pasal 55 itu juga sama. Tapi tuntutannya beda kalau yang melakukan adalah bukan orang-orang yang dalam tanda kutip posisi politiknya berseberangan dengan pemerintah atau dengan penguasa,” ungkap Arsul.
“Kasus yang posisi politiknya tidak berseberangan dengan pemerintah, seperti misalnya para petinggi Sunda Empire, tuntutanya 4 tahun. Sehingga, hukum seperti menjadi alat kekuasaan,” imbuhnya.
“Nah yang jadi soal juga, ini kemudian menimbulkan kesan bahwa kejaksaan agung juga dalam tanda kutip tidak lagi murni menjadi alat negara yang melakukan penegakan hukum tapi juga menjadi alat kekuasaan dalam melakukan penegakan hukum,” terangnya.
Menurut Arsul, ini ada kritik yang cukup luas di masyarakat. Apalagi kemudian, kritik ini dikaitkan dengan vonis yang kemudian dijatuhkan. Perkara Syahganda Nainggolan misalnya, seingatnya mereka dituntut 6 tahun, tetapi divonisnya 10 bulan. Begitu juga kasus HRS dituntut 2 tahun divonis 10 bulan.
“Nah saya kira kami perlu penjelasan Jaksa Agung terkait dengan perkara ini. Karena ini disampaikan oleh masyarakat kepada kami untuk disuarakan,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)