Serang (Arrahmah.com) – Jaksa, Polisi dan Pemerintah Daerah (Pemda) harus bertanggungjawab terhadap kejadian bentrokan antara Jemaat Ahmadiyah dan warga pada 6 Februari 2011 lalu. Sebab dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri nomor 3 tahun 2008 KEP-033/A/JA/2008, nomor 199 tahun 2008, ketiganya mempunyai kewajiban untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dan pengamanan, dan antisipasi, supaya tidak terjadi kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah.Hal tersebut dikatakan ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) Pusat, Mahendradatta, saat membacakan eksepsi terhadap dakwaan JPU kepada terdakwa Muhammad bin Syarif di PN Serang, Selasa (3/5).
“Sehingga dalam hal perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan para aparat keamanan yang beredar di dalam dan sekitar gedung Pengadilan Negeri (PN) ini tidak kemudian berlagak suci atau merasa tak bersalah sama sekali,” kata Mahendradatta.
Dalam sidang yang dipimpin hakim Agung Rahardjo didampingi dua angotanya Martini Marja dan Fauziah Anum, Mahendradatta dalam eksepsinya juga mengatakan, bahwa JPU telah memanipulasi atau memotong kronologis peristiwa bentrokan Cikeusik.
“Seperti usaha MUI dan sejumlah Ulama Pandeglang yang terus menerus berupaya menyadarkan jemaat Ahmadiyah yang dipimpin Ismail Suparman. Serta upaya aparat keamanan Cikeusik dan Pandeglang untuk mengamankan Ismail Suparman yang dituruti olehnya (Supaman-red), namun kemudian datang serombongan orang dari Jakarta dan sekitarnya yang dipimpin oleh Deden, jemaat Ahmadiyah,” tegasnya.
Dalam eksepsinya pula, penasehat hukum terdakwa mengatakan, bahwa PN Serang tidak berwenang mengadili terdakwa kasus bentrokan Cikeusik, seperti yang tertuang dalam pasal 85 KUHAP. Yang berwenang adalah PN Pandeglang.
“Sebab sesuai pasal 85 KUHAP tersebut, jika melihat situasi dan kondisi di wilayah Pandeglang tempat terjadinya tindak pidana, yang aman dan tidak terjadi bencana alam, maka memindahkan sidang ke PN Serang tidak mempunyai cukup alasan,” ujarnya.
TPM juga menilai,dakwaan JPU tidak cermat dan menyesatkan, sebab dalam dakwaan primer, JPU menjerat dengan pasal 170, tentang melakukan tindak pidana dengan tenaga bersama menggunakan kekrasan terhadap orang atau barang yang menyebabkan kematian.
“Namun dalam uraiannya, JPU tidak menjelaskan kekerasan yang dilakukan terdakwa. Hanya menjelaskan terdakwa menyeru kepada massa agar menyerang ahmadiyah,” terangnya.
Hal itulah yang menjadi pertanyaan TPM, apakah mungkin menyeru dengan suara lantang dikategorikan sebagai tenaga bersama, atau menmbulkan luka, atau kematian seseorang.
Oleh karena itu, di ujung eksepsinya, penasehat hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim, agar menyatakan dakwaan JPU tidak dapat diterima dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan, serta membebaskan terdakwa dari tahanan (LLJ/Arrahmah.com)