(Arrahmah.com) – Memaklumi penolakan Imam Malik untuk mengajarkan hadits di istana, Khalifah Harun Ar Rasyid mendatangi kediaman ulama bergelar Imam Dar Al Hijrah itu. Khalifah juga mengutus kedua anaknya, Al Amin dan Al Makmun, untuk belajar ke rumah dua ulama lain, yakni Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus.
Begitulah adab pemimpin kepada ulama. Sebab, ulama adalah sosok mulia karena merupakan pewaris para nabi. Sebagaimana dipesankan Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu berarti telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna” (HR Abu Dawud).
Allah SWT berfirman: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat” (QS al-Mujadilah: 11).
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, kita dapati orang-orang yang berilmu selalu menyandang pujian. Setiap (nama mereka) disebut, pujian pun tercurah untuk mereka. Ini merupakan wujud diangkatnya derajat (mereka) di dunia. Adapun di akhirat, akan menempati derajat yang tinggi lagi mulia sesuai dengan apa yang mereka dakwahkan di jalan Allah SWT dan realisasi dari ilmu yang mereka miliki” (Kitabul Ilmi, hlm. 14).
Oleh karena itu, keberadaan ulama di tengah umat sangatlah berarti, sebaliknya, ketiadaan mereka merupakan suatu bencana.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Selagi para ulama masih ada, umat pun masih dalam kebaikan. Para setan dari kalangan jin dan manusia tidak akan leluasa untuk menyesatkan mereka. Sebab, para ulama tidak akan tinggal diam untuk menerangkan jalan kebaikan dan kebenaran sebagaimana mereka selalu memperingatkan umat dari jalan kebinasaan” (Ma Yajibu fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 7).
“Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari manusia. Sebaliknya Allah mengambilnya dengan cara mewafatkan para ulama sehingga tidak tersisa walaupun seorang. Manusia mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin. Apabila mereka ditanya, merekapun berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan” (HR al-Bukhoriy: 100, 7307, Muslim: 2673, Ibnu Majah: 52 dan at-Turmudziy: 2652).
Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Siapa yang kesukaannya menjelek-jelekkan ulama dan membuat orang lain lari dari mereka, serta memperingatkan orang agar berhati-hati dengan mereka; maka sesungguhnya yang dia lukai bukan hanya seorang ulama saja, melainkan perbuatannya tersebut telah melukai (menodai) peninggalan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam”.
Melecehkan ulama merupakan ghibah dan namimah yang paling berat (termasuk dosa besar). Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menggunjing ulama, melecehkan, dan menjelek-jelekkan mereka merupakan jenis ghibah dan namimah yang paling berat, karena dapat memisahkan umat dari ulamanya dan menjadi sebab terkikisnya kepercayaan umat kepada mereka. Jika ini terjadi, akan muncul keburukan yang besar” (Ma Yajibu fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hlm. 17).
Niscaya Jakarta butuh pemimpin yang beradab, utamanya kepada para ulama dan ahli ilmu. Agar Ibukota tak binasa.
(*/arrahmah.com)