(Arrahmah.com) – Dakwah adalah aktivitas yang sangat penting untuk menyelamatkan kehidupan dari segala kehancuran dan kenistaan. Dengan dakwah, dampak buruk kemaksiyatan dan kedzaliman dapat dicegah. Tak hanya penting tetapi dakwah juga mulia dan berpahala sebagaimana termaktub dalam Q.S. Fushshilat [41]:33: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru manusia menuju Allah?” Juga dalam hadist : “Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah, maka ia mendapatkan pahala sebesar yang diperoleh oleh orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.” (HR. Muslim)
Salah seorang ulama salaf berkata, “Laysal-‘ilmu bi katsratir-riwayah walakinal-‘ilma bikatsratil-khasy-yah (Ilmu itu tidak identik dengan banyaknya periwayatan, tetapi identik dengan banyaknya rasa takut (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
Ulama lain berkata, “Man khasyiyalLah fa huwa ‘alim wa man ‘ashahu fa huwa jahil (Siapa saja yang takut kepada Allah, dialah orang berilmu. Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah, dia adalah orang bodoh).”
Hal ini mudah dipahami. Pasalnya, sesungguhnya ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua perkara. Pertama: mengenal Allah (Ma’rifatulLah) berikut nama-nama-Nya yang indah (al-asma’ al-husna), sifat-sifat-Nya yang tinggi dan segala tindakan-Nya yang agung. Inilah yang menjadikan seorang yang berilmu memuliakan dan mengagungkan Allah; takut dan khawatir kepada-Nya; cinta dan berharap kepada-Nya; tawakal dan ridha terhadap qadha’-Nya; serta sabar atas segala ujian-Nya yang menimpa dirinya. Kedua: mengetahui apa saja yang Allah suka dan ridhai; memahami apa saja yang Allah benci dan murkai baik menyangkut keyakinan, perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi, maupun ucapan. Hal demikian menjadikan orang berilmu bersegera menunaikan apa saja yang bisa mendatangkan cinta dan ridha Allah kepada dirinya serta menjauhi apa saja yang bisa mendatangkan kebencian dan murka Allah atas dirinya.
Jika ilmu menghasilkan buah semacam ini pada pemiliknya, berarti ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Saat ilmu benar-benar bermanfaat pada diri seseorang, saat itulah kalbunya dipenuhi rasa takut dan ketundukan kepada Allah; wibawa dan kemuliaannya rendah di hadapan-Nya; takut dan cinta kepada Allah menyatu dalam kalbunya; dan dia selalu mengagungkan-Nya.
Saat kalbu merasa takut kepada Allah serta tunduk dan pasrah kepada-Nya, saat itulah jiwa merasa puas (qana’ah) dan kenyang dengan harta yang halal walau sedikit. Itulah yang menjadikan dirinya bersikap zuhud terhadap dunia (Ibn Rajab, Fadhl ‘Ilmi as-Salaf ‘ala al-Khalaf, I/7).
Sayang, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian sahabat Nabi Shallalahu alaihi wa sallam , “Ilmu yang pertama kali dicabut oleh Allah adalah (yang melahirkan) rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Karena itu Al-Hasan berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Pertama: Ilmu yang hanya di lisan. Inilah yang akan Allah pertanyakan kepada anak Adam. Kedua: Ilmu yang menghujam dalam kalbu (yang kemudian diamalkan, pen.). Itulah ilmu yang bermanfaat.”
Islam pun mengajari kita bagaimana seharusnya kita memilih guru yang baik. Sebab, guru adalah cermin yang dilihat oleh anak sehingga akan membekas di dalam jiwa dan pikiran mereka. Guru adalah sumber pengambilan ilmu. Para sahabat dan salafus shalih sangat serius di dalam memilih guru yang baik bagi anak-anak mereka. Imam Mawardi menegaskan urgensi memilih guru yang baik dengan mengatakan, “Memang wajib bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru dan pendidik bagi anak, seperti kesungguhan di dalam memilihkan ibu dan ibu susuan baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil akhlak, gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi yang diambil dari orang tuanya sendiri…” (Nasihah al-Muluk, h. 172).
Karena itulah Islam pun mengajari kita untuk memuliakan para ulama. Abu Umamah ra menuturkan bahwa Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Ada tiga orang dimana tidak ada yang meremehkan mereka kecuali orang itu munafik. Mereka adalah orang tua, ulama dan pemimpin yang adil.” (HR ath-Thabrani).
Hal ini wajar karena ulama adalah pewaris para nabi. Tentang keutamaan para ulama, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman (yang artinya): Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat (TQS al-Mujadalah [58]: 11).
Selain itu, Imam al-Ghazali menukil perkataan Yahya bin Mu’adz mengenai keutamaan ulama, “Para ulama itu lebih sayang kepada umat Muhammad Shallalahu alaihi wa sallam. dari pada ayah dan ibu mereka sendiri.” Ditanyakalah kepadanya, “Mengapa bisa demikian?” Ia menjawab, “Karena para ayah dan ibu itu hanya menjaga anak-anak mereka dari neraka dunia, sedangkan para ulama itu menjaga mereka dari neraka akhirat.” (Ihya’ ‘Ulum ad-Din, I/11).
Karena itu memuliakan ulama, menghormati dan merendahkan diri kepada mereka, bersikap santun dan lembut di dalam bergaul dengan mereka, semua itu merupakan adab terhadap ulama yang harus dibiasakan sejak kanak-kanak.
Abu Umamah ra juga menuturkan bahwa Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya Luqman berkata kepada putranya, ‘Anakku, engkau harus duduk dekat pada ulama. Dengarkanlah perkataan para ahli hikmah, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang mati dengan hujan deras.” (HR Ath-Thabrani).
Selain merupakan kewajiban, yang pasti menuntut ilmu akan memudahkan jalan bagi pencarinya untuk menuju surga, sebagaimana sabda Nabi Shallalahu alaihi wa sallam. “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan bagi dirinya menuju surga.” (HR Muslim dan at-Tirmidzi).
Pipit Agustin R.(Muslimah Voice)
(*/arrahmah.com)