7 November 2008. Jadi… tidak… jadi… tidak… Hari-hari ini jari kita disibukkan menanti jadi-tidaknya pelaksanaan eksekusi terhadap tiga terpidana mati bom Bali, Amrozi, Imam dan Mukhlas. Mata media pun semakin tajam menyorot peristiwa yang paling menghebohkan di penghujung tahun ini.
Kehebohannya menenggelamkan liputan kedatangan pangeran Charles ke negeri ini. Bahkan gegap-gempita kegembiraan masyarakat atas terpilihan Obama sebagai presiden AS pun hanya bertahan sekejap saja. Media kembali fokus ke eksekusi mereka.
Mulai dari wawancara korban bom Bali —dan bom-bom lain— lalu membesar-besarkannya, membongkar kembali berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi—lalu mencoba mengait-kaitkannya—hingga memprediksikan jadwal pelaksanaan eksekusi tersebut.
Bahkan, kurangajarnya, sampai berani membuat skenario pemulangan dan pemulangan jenazah. Ngalub, kata orang Jawa. Seperti benar-benar mengharapkan kematian mereka.
Media kita masih dijangkiti virus lama: tidak seimbang dalam pemberitaan. Spanduk-spanduk yang berkibar di Serang “menyambut” kedatangan Imam Samudra, tak pernah diliput.
Orasi janji “istimata” (berani mati) yang dilakukan simpatisan Amrozi di Ponpes Al-Islam Tenggulun pun tak pernah diberitakan.
Padahal, puluhan wartawan dengan peralatan siar yang canggih dan lengkap bertebaran di sekitarnya. Waktu itu, ketika orator bartanya, “Apakah kalian siap mengeksekusi eksekutor Amrozi?” Sontak mereka menjawab, “Siaaaap…!!!”
Itu hanya salah satu reaksi simpatisan mereka. Salah satu saja. Lainnya terhalang oleh keengganan media mewartakan suasana heroik di Serang dan Lamongan.
Media juga tak pernah sudi menyentuh kegamangan, kegugupan dan serba ketidaktenangan aparat yang menjadi bagian eksekutor. Waktu yang berulur, mestinya menjadi misteri.
Atau bagaimana cara panitera di Kejari Bali saat menerima permohonan PK yang diajukan H. Chozin, kakak Amrozi beberapa waktu lalu.
Entah mengapa, untuk sekadar membuat tanda terima berkas saja, harus mengulang-ulang pengetikan. Ketikan pertama selesai, lalu dibuang. Dibuat ulang hingga tiga kali.
Akhirnya, tanda terima dibuat dengan tulisan tangan. Tangan yang, menurut kesaksian H. Chozin, gemetar. Ada apa? Apakah ini bagian dari keyakinan masyarakat Bali yang begitu yakin akan hukum karma? Entahlah.
5 Nopember 2008 malam, sebuah TV memberitakan kemungkinan besar mereka akan dieksekusi Kamis 6 Nop dini hari. Alasannya, mereka bertiga telah diberitahu waktu eksekusi —sebuah langkah terakhir yang menjadi bagian pelaksanaan eksekusi— sehingga “bisa” diprediksi kapan mereka akan didor.
Kalau tidak Kamis, Jumat ya Sabtu. “Tidak sampai Minggu,” janji Kejagung. Maka, kita pun menghitung hari menjelang Minggu dengan suasana yang cukup menegangkan, atau setidaknya penasaran. Bagi kita. Bagaimana dengan Amrozi dkk sendiri dan keluarganya?
Dari tayangan televisi, terlihat sama sekali tak ada gurat kesedihan dan kegelisahan pada keluarga mereka. Embay Badriah, ibu Imam Samudra, masih bersemangat mengepalkan tangan dan bertakbir, diikuti saudara kandung Imam yang lain.
Di Lamongan, Tariyem, ibu Mukhlas dan Amrozi, masih berkutat dengan pekerjaan rutinnya di sawah. Sorot matanya yang lugu sama sekali bersih dari kegundahan. Padahal, sebentar lagi—mungkin—ia bakal kehilangan dua anak sekaligus.
Nun jauh di seberang sana, Paridah binti Abbas, istri Mukhlas tetap tegar. “Yang dilakukan suami saya sudah sesuai dengan sunnah Nabi.” Soal grasi? “Bagi saya, permohonan grasi adalah sebuah kehinaan,” tegasnya sambil—maaf—melotot. Sebuah ekspresi khas adik Nasir Abbas.
Kebenaran sejati akan mampu menembus nurani, meski dengan segala cara dan kekuatan hendak ditutupi. Barangkali itulah yang membuat pemandangan yang “rada aneh” ketika Komisi III DPR-RI mengunjungi mereka bertiga di Nusakambangan, Juli 2007 lalu.
Para anggota dewan sampai harus antri bertatap muka dengan mereka untuk secara khusus meminta doa kepada mereka. Sampai-sampai beberapa diantaranya mengangkat tubuh Mukhlas, layaknya seorang atlit yang baru saja meraih medali emas.
Reaksi Amrozi dkk sendiri dalam menanggapi rencana eksekusi mati atas mereka, setidaknya dapat disimak melalui tayangan video maupun tulisan yang sempat dirilis di publik.
Paling akhir —konon— dirilis lewat sebuah situs yang berisi ancaman kepada pejabat pemerintah, termasuk SBY dan JK. Situs, yang TPM (Tim Pengacara Muslim) meragukan keaslian teksnya benar-benar dari Amrozi dkk.
Mereka menyatakan tidak rela dengan keputusan hukuman tersebut, karena lahir dari sebuah proses yang cacat di mata hukum Islam. Pun di mata hukum positif Indonesia, vonis atas mereka pun dinilai TPM penuh dengan kekeliruan prosedur.
Namun, penolakan itu—yang di mata penegak hukum negeri ini tak ada artinya bagi pelaksanaan eksekusi—semua itu tak membuat mereka sedih apalagi surut. Sebuah fenomena baru dalam sejarah pelaksanaan hukuman mati, khususnya di negeri ini.
Biasanya, para terpidana mati cenderung pasrah dan menghiba kepada aparat agar nyawa mereka tak dicabut. Mengapa mereka bertiga bersikap lain?
Mereka yakin bahwa kematian tak pernah bergeser dari tangan Allah. Usaha manusia untuk menciptakan atau menghindari kematian, tak pernah mampu menunda kematian itu sendiri, sedetik pun.
“Katakanlah, sama sekali tidak ada musibah yang mampu menimpa kami, selain apa yang telah ditakdirkan Allah atas kami. Dialah pelindung kami…” (At-Taubah : 51).
Terlebih, mereka yakin bahwa vonis yang dijatuhkan kepada mereka terkait dengan sebuah ideologi yang mereka yakini kebenarannya. Dan, mereka senantiasa sadar terhadap dampak buruk yang bakal menimpa mereka dalam memperjuangkan keyakinan tersebut.
Menang-kalah, hidup-mati adalah frase yang sepertinya bertolak belakang, namun sesungguhnya memiliki makna yang sama, yaitu kebaikan. Hidup menghirup kemenangan, bagi mereka, sama baiknya dengan mati menggenggam keyakinan. Dalam Al-Qur’an, nilai kebaikan tersebut diistilahkan dengan “Ihdalhusnayain” (salah satu dari dua kebaikan).
“Tidak ada yang kalian tunggu-tunggu terhadap kami selain salah satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). Sementara, kami menunggu-nunggu kalian akan datangnya azab dari Allah atas kalian, baik langsung dari sisi-Nya atau melalui tangan-tangan kami. Maka tunggulah, kami pun menunggu bersama-sama denganmu.” (At-Taubah : 52).
Barangkali, ayat inilah yang senantiasa berdengung dalam lubuk hati dan pemikiran Amrozi, Imam dan Mukhlas. “Kalian biarkan kami hidup, kami akan terus berjihad hingga mencapai nikmat kemenangan; kalau kalian tembak mati kami, itu pun menghantarkan kami kepada kenikmatan lain, yaitu mati syahid,” begitu kira-kira.
Maka, sepatutnya justru kita harus merasa kasihan kepada aparat hukum di negeri ini, selaku eksekutor. Apapun yang mereka perbuat, selalu saja bermuara kepada kebaikan bagi mereka bertiga—khususnya—dan seluruh umat Islam pada umumnya.
Melesakkan timah panas ke jantung mereka, memang dapat membuat jasad mereka tergolek tak berdaya sama sekali. Selanjutnya, jasad itu akan mendingin dan kaku, sebelum nantinya diam tak bergerak selamanya dalam rengkungan tanah pemakaman.
Tak bisa lagi berbuat terror, melantangkan provokasi atau hal-hal lain yang membuat luka hati musuh ideologi mereka. Luka itu barangkali akan berubah menjadi kepuasan.
Namun kepuasan sesaat. Tak akan berlangsung lama, karena sebenarnya dalam “kepuasan sesaat” sesaat, terpendam mara-bahaya besar yang siap mengancam mereka, kapan saja dan di mana saja.
Kalaulah mereka mati, mereka yakin akan mendapatkan 7 kenikmatan istimewa yang tak pernah diberikan kepada selain yang mati syahid.
Di antaranya, diampuni dosa sejak tetes darah pertama tumpah, dinikahkan dengan 70 bidadari, bebas dari azab kubur dan diberi hak untuk memberi syafaat bagi 70 anggota keluarganya kelak di hari akhir.
Itu kenikmatan pribadi bagi mereka seandainya jadi dieksekusi mati. Di luar itu, eksekusi mati terhadap mereka akan menyuburkan benih-benih perlawanan baru yang lebih luas dan kuat yang akan menjadi ancaman bagi siapapun yang memusuhi ideologi mereka.
Reaksi simpatisan Amrozi dkk yang dicuplik di muka, bisa menjadi gambaran missal. Bukankah mereka hanya massa mengambang?
Mungkin benar, simpatisan yang tampak di media tersebut hanya massa mengambang yang—boleh jadi—akan larut dengan sendirinya seiring berlalunya waktu.
Tapi yang tak boleh dilupakan adalah “simpatisan-simpatisan” lain yang tidak tampak oleh media. Sosoknya tak harus berwujud manusia—yang ketika muncul, pasti akan langsung disebut sebagai teroris. Taruhlah beberapa—yang dipaksa disebut—pelaku terror telah ditangkap dan jaringannya telah dirusak.
Tetapi ada kekuatan lain yang maha dahsyat, sebagaimana termaktub dalam At-Taubah : 52 di atas. Yaitu, azab Allah. Azab itu sebuah keniscayaan.
Soal apakah azab itu akan Ia turunkan langsung melalui tangan-Nya, atau lewat hamba-hamba-Nya (yang sering disebut teroris), itu soal teknis pengiriman.
Kalaupun mereka—yang disebut teroris—telah habis diringkus, sama sekali bukan jaminan musuh-musuh ideologi itu akan aman dari terror. Bahkan, bisa jadi terror yang akan datang akan lebih dahsyat, karena dikirim langsung lewat langit.
Tak ada rencana dan sinyal HP pelaku yang dapat diendus. Tak ada dokumen, senjata, atau bahan peledak yang dapat disita. Karenanya, tak ada yang dapat diringkus. Sebuah fenomena musuh lain yang belum ada protap penanganannya, baik di kantor CIA, BIN maupun D 88 AT. Jadi?
Kalau toh malam ini jadi eksekusi atau tidak, sama saja. Sama saja baiknya, bagi Amrozi dkk, keluarga dan para simpatisannya. Sedih, barangkali masih menggelayut di sela-sela binar ketegaran sikap mereka.
Namun, sebagaimana “kepuasan sesaat” yang dinikmati mereka yang menghendaki eksekusi, kesedihan mereka hanya berlangsung sesaat pula.
Ruh ideologi mereka bertiga akan melesak jauh meninggalkan kuburan fisik mereka, untuk kemudian “menginfeksi” Amrozi-Amrozi baru yang siap melanjutkan perjuangan ideologi mereka.
Generasi baru yang lebih cerdas dalam perencanaan, solid dalam membangun kekuatan, dan tentunya memiliki hubungan “luar biasa” dekat dengan langit.
Sebuah karakter baru yang terbentuk dari tempaan pengalaman, pengamatan dan pengamalan. Sebuah endemic baru yang muncul sebagai akibat ketidakmampuan aparat di negeri ini—yang selalu saja enjoy dalam tekanan dan dikte AS dan sekutunya, namun selalu ditutup-tutupi—dalam menghadapi aspirasi sebagian bangsa negeri ini dengan baik.
Bagaimanapun, yang jelas, Ihdalhusnayain itu pasti terjadi. Mari bersama kita tunggu tunggu. [prin25yes at gmail dot com]