ACEH (Arrahmah.id) – Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, yang merupakan wadah bagi para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menolak penghancuran bangunan Rumoh Geudong yang menjadi saksi bisu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Kabupeten Pidie, Aceh.
Berdasarkan informasi dari Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Pemkab Pidie, Teuku Iqbal lokasi bangunan Rumoh Geudong rencananya akan dibangun masjid.
“Benar (perobohan Rumoh Geudong dan dibangun masjid). Semoga lancar semua,” kata Iqbal pada Kamis (22/6/2023).
Namun meski demikian, Iqbal enggan menyebut siapa yang mengusulkan rencana perobohan bangunan bukti sejarah kasus pelanggaran HAM Berat di Aceh itu.
Perobohan bangunan ini diduga dilakukan sebagai bagian dari persiapan kick-off pelaksanaan rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (PKPHAM).
Kick-off itu rencananya akan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di Rumoh Geudong pada 27 Juni mendatang.
Azhari Cagee, juru bicara KPA Pusat, mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Rumoh Geudong merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diakui negara, oleh karena itu mereka secara tegas menolak perobohan bangunan tersebut.
“Kami KPA menolak dengan tegas pengalih fungsi situs sejarah Rumah Geudong di Pidie karena apapun ceritanya itu merupakan bukti sejarah waktu masa konflik dulu,” kata Azhari pada Kamis (23/6/2023).
Sebelumnya, KPA sudah menyurati Presiden Joko Widodo agar tidak merobohkan bangunan Rumoh Geudong, meskipun dengan alasan pembangunan masjid.
Justru mereka meminta agar bangunan itu dibuat museum atau sekolah. Karena, di wilayah itu sudah berdiri dua masjid.
“Kita bukan menolak pembangunan masjid tapi dalam permukiman itu sudah ada masjid. Nanti kalau dipaksakan malah jamaahnya tidak cukup, kalau memang mau dibangun masjid kenapa harus dipaksakan di situ?” katanya.
Azhari menduga ada upaya penghilangan sejarah maupun bukti pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Rumoh Geudong agar pelaku yang masih ada dan terlibat tidak bisa dijerat.
“Kami menduga ini ada maksud terselubung tentang penghilangan sejarah atau penghilangan bukti pelanggaran HAM konflik dari oknum yang tidak bertanggung jawab,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.id)