Naama Barbakh berdiri di halaman rumahnya di distrik as Shoka, selatan Gaza, sebelah timur Rafah. Dia menunjukkan tangannya ke lingkungan sekelilingnya. Barbakh bermaksud menunjukkan di mana mayat suami dan tiga orang anak lelakinya terkapar setelah serangan pesawat tak berawak memukul wilayah itu pada pagi 4 Januari lalu. Sehari sebelumnya, tepatnya 3 Januari, serbuan Zionis sudah dimulai, puluhan tank dan ratusan tentara menyerang Gaza dan menduduki berbagai wilayah hingga ke sebelah timur Rafah.
Barbakh, ibu dari delapan orang anak dengan tiga orang diantaranya syahid dalam serangan Zionis, menjelaskan apa yang terjadi pagi itu.
“Sekitar pukul sembilan… Saya dan anak perempuan saya sedang menyiapkan adonan roti di dalam rumah. Abed suami saya (43) dan tiga orang anak saya, Mahdi (20), Mohammed (19), dan Yusef (15), berada di luar untuk mengumpulkan dan memotong kayu bakar, karena kami tidak mempunyai gas untuk memasak.”
Ia menunjuk pondok roti di mana ia sudah akan menggunakan kayu bakar yang telah dipotong oleh suami dan anak-anaknya untuk memanaskan oven roti. Serangan peluru waktu itu tiba-tiba muncul.
“Saya mendengar letusan peluru dan berlari keluar untuk melihat di mana itu terjadi. Namun, ketika itu saya tidak melihat apapun, kemudian saya berlari ke belakang rumah. Saya tidak tahu di mana peluru sudah jatuh, atau mungkin saja suami dan anak-anak saya kena. Dan memang benar. Saya menemukan mayat mereka telah bersimbah darah, juga Mousa (17), keponakan saya. Hanya saja Mousa masih hidup, dan sedikit menoleh ke arah saya. Dia mencoba berdiri, namun jatuh kembali.”
“Saya menelpon ambulans tetapi saya diberi tahu bahwa di sini terlalu berbahaya dan mereka tidak bisa menjangkau wilayah tempat saya berada. Saya lari ke jalan berteriak minta pertolongan. Namun ketika para tetangga saya menghampiri, Mousa sudah meninggal.”
Ahmed, seorang di antara anak lelakinya, selamat dalam serangan.
“Dia berada lebih jauh dari tempat di mana peluru jatuh. Badannya tertutupi debu, sehingga dia tidak bisa melihat apa yang sudah terjadi.”
Ketika dia membersihkan matanya dan ia melihat bapak dan kakaknya yang terkapar meninggal, dia sangat tertekan.
“Dia memukul sendiri terus-menerus. Sekarang dia sakit, tidak mau makan, dan sulit berkonsentrasi.”
Abed Hassan Barbakh, suami Naama yang meninggal, adalah satu-satunya sumber pendapatan keluarga dengan bekerja sebagai penggarap kebun. Bagi Naama dan lima anaknya yang tersisa, hanya ada sedikit harapan dan terlalu banyak meratapi. Ia hanya berharap bahwa situasi di Gaza akan berubah, dan ia hanya berharap anak-anaknya tumbuh dengan kondisi hidup yang normal. (Althaf/arrahmah.com)