Oleh: Ustadz Budi Ashari, Lc
(Arrahmah.com) – Bumi diselimuti kejahiliyahan. Di seluruh pelosok bumi. Dalam kawalan peradaban Persia dan Romawi. Arab yang tidak tersentuh keduanya pun sama. Mereka hidup dalam carut marut jahiliyyah. Jahiliyyah pada agama mereka. Jahiliyyah pada keyakinan mereka. Jahiliyyah pada akhlak mereka. Jahiliyyah pada ekonomi mereka. Jahiliyyah pada politik mereka. Jahiliyyah pada seluruh kehidupan mereka.
Efek dari putusnya wahyu, serta ketiadaan nabi dan rasul.
Dan selalu akan terulang di zaman manapun. Saat jauh dari wahyu dan petunjuk Rasul.
Hingga di suatu malam. Pada 10 hari terakhir di bulan penuh keberkahan. Bulan Ramadhan. Cahaya itu mulai memancar di antara tumpukan bebatuan.
Gua Hiro’. Sebuah gua kecil yang panjangnya 4 dziro’ dan lebarnya kurang dari 2 dziro’ itu jadi saksi sejarah cahaya bagi manusia.
Shofiyyurrahman al Mubarokfuri dalam Ar Rahiq Al Makhtum memilih pendapat,
“Setelah mengkaji dan merenungi berbagai pertimbangan, maka hari (turunnya wahyu) adalah Senin 21 Ramadhan pada malam hari. bertepatan dengan 10 Agustus 610 H. Umur beliau saat itu 40 tahun Qomariyyah lebih 6 bulan dan 12 hari. Sekitar 39 tahun Syamsiyyah lebih 3 bulan dan 2 hari.”
Kalau banyak peristiwa besar yang dicatat dalam sejarah, maka inilah peristiwa yang bukan saja besar, tetapi agung. Sejarah penyelamatan manusia dari puing-puing kejahiliyyahan. Peristiwa penting saat manusia kembali menjadi manusia untuk menegaskan penghambaan kepada Allah.
Peristiwa bersejarah ini diawali oleh kegundahan Rasul terhadap keadaan di sekelilingnya. Jiwa bersihnya menolak semua bentuk kemusyrikan dan kedzaliman. Terhimpit sesak rasanya dada beliau. Tapi tanpa solusi. Hal inilah yang mengantarkan beliau menuju Gua Hiro’.
Uzlah (menyendiri) di sebuah tempat sepi. Ini adalah merupakan syariat Nabi sebelumnya, yang telah dihapus dalam syariat Rasulullah Muhammad. Dalam kesendirian itu, dalam sepi itu, beliau merenungi dan merenungi. Berpikir dan berpikir. Dari pintu gua, beliau melepaskan pandangannya lurus ke depan. Hanya ada dua yang bisa beliau nikmati. Jika pandangan diarahkan ke bawah, terlihat jelas Ka’bah Baitullah yang dikotori oleh manusia-manusia musyrik.
Permasalahan yang tak kunjung dijumpai solusinya dalam diri Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tetapi saat pandangan dinaikkan perlahan, langit biru menyapa menawarkan solusi itu. Perenungan yang dalam dan syahdu.
Tak hanya itu, beliau beribadah dalam beberapa malam tanpa ada yang mengganggu. Menguatkan hubungan dengan Allah. Dengan kekhusyu’an tingkat tinggi. Karena jauh dari kebisingan dunia.
Dan selalu begitu. Masalah apapun yang ada di carut marut masyarakat, pasti ada solusi langitnya. Walau banyak yang tidak percaya.
Para pendobrak kejahiliyyahan dan pembawa kebaikan harus menguatkan hubungannya dengan Allah. Karena, mustahil perbaikan akan terjadi jika pembawa kebaikan telah larut dalam kemungkaran.
Ada saat-saat yang harus dimanfaatkan dengan baik dalam hidup kita agar kekhusyu’an mencapai puncaknya. Ada waktu malam, seperti dalam ayat berikut,
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (Qs. Al Muzzammil: 6)
Di sinilah berkahnya Ramadhan. Bulan mulia itu menyiapkan waktu-waktu khusyu’. Hati manusia sedang terbuka dan siap menerima seluruh wejangan kebaikan. Mungkin perlu beberapa Ramadhan untuk mendapatkan solusi hidayah. Tidak masalah, yang penting lakukan dari Ramadhan ini. Seperti halnya Rasulullah yang telah masuk ke Gua Hiro’ selama 3 Ramadhan. Sebelum akhirnya mendapatkan solusi bagi seluruh manusia. Wahyu itupun hadir menandai tugas beliau sebagai seorang Rasul.
DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh (dalam Khowatir wa Taamulat fis Sirotin Nabawiyyatisy Syarifah) menjelaskan tentang peran uzlah Nabi bagi kemuliaan diri beliau yang siap menerima tugas besar Kerasulan:
“Uzlah (menyendiri) beliau shallallahu alaihi wasallam di Gua Hiro’. Beliau pernah melihat dalamnya Ka’bah. Beliau selalu terkait dengan Ka’bah dan Robb pemilik Ka’bah, hingga saat uzlahnya….”
Jiwa yang dikehendaki akan memberikan pengaruh bagi kehidupan manusia harus menyendiri di sebagian waktunya dan memutuskan diri dari kesibukan bumi, gegap gempita kehidupan dan kegundahan remeh manusia yang membuat sibuk kehidupan.
Dan Syekh Munir Ghodhban dalam bukunya Fiqhus Siroh menjelaskan bahwa I’tikaf adalah sarana yang masih disediakan bagi umat Muhammad untuk menggantikan Hiro’.
Kita perlu memperbaiki dan mengkaji ulang terhadap banyak pemahaman kita dalam suasana yang mirip dengan Hiro’. Yaitu dengan syariat Allah I’tikaf. Kita kembalikan saluran-saluran yang terkeruhkan oleh berbagai kepadatan bumi dan berbagai filsafat penghuninya. Kita buang jauh-jauh dari sisi kita…
Ini adalah renungan terhadap perjalanan, melihat kembali ke belakang, mengembalikan bekal awal, memeriksa tingkah laku, menyaring logika, melembutkan hati dan membersihkan jiwa agar kita bisa melanjutkan kembali perjalanan di atas penjelasan dan petunjuk.
Jadi, ternyata inilah solusi yang hilang itu. Ketika I’tikaf tidak lagi menjadi kebiasaan muslimin di Ramadhan, maka berbagai kekeruhan itu tidak kunjung pergi. Mungkin Ramadhan telah dilaluinya puluhan kali, tetapi tetap saja jiwa, pikiran dan tingkah lakunya kotor. Untuk mendapatkan solusi langit, maka hidupkanlah Hiro’ kita dalam kesendirian kita dengan Allah di rumah-rumah Allah di sepuluh terakhir Ramadhan.
Dan solusi itupun hadir. Diawali oleh kegundahan hati yang pasti berawal dari iman yang merasa sendirian dan tidak nyaman, hidup di tengah masyarakat jahiliyyah. Dari mulai menguatkan hubungan dengan Allah, hingga bimbingan wahyu itu mulai turun. Al Alaq: 1-5.
DR. Mahmud Muhammad ‘Imaroh kembali menjelaskan, ketika wahyu turun kepada beliau shallallahu alaihi wasallam di Gua Hiro’, manusia kembali ‘dilahirkan’ pada saat itu…
Dia diperintahkan untuk membaca. Agar dengan membaca bisa memasuki alam yang baru di atas dugaan kebiasaan.
Agar membaca menjadi kunci kebangkitan yang utuh dan sempurna pada setiap bidang kehidupan dunia.
Dan agar semua itu terkait dengan dengan Allah yang Maha Benar (Bacalah dengan nama Tuhanmu). Ini adalah motivasi yang baru. Juga tujuan yang baru.
Sumber: Parenting Nabawiyah
(*/arrahmah.com)