Syaikh Usamah bin Ladin pernah memberikan pilihan kepada istri-istrinya untuk meninggalkan Afghanistan jika mereka mau, tetapi istri paling muda yang memiliki kewarganegaraan Yaman bertekad untuk tetap berada di samping Syaikh dan ikut syahid bersamanya.
Janji awal pernikahannya dengan Syaikh Usamah rahimahullah, amir Al Qaeda, diceritakan oleh keluarganya, seperti yang dilaporkan oleh Associated Press.
Mereka menikah sebelum peristiwa 911 dan dekade perburuan terpanjang yang berakhir setelah sepuluh tahun. Amal Ahmed abdel-Fatah al-Sada (30) ditembak di kaki saat ia mencoba menyerang Angkatan Laut AS yang menyerang kamp di Abbottabad, menurut klaim pejabat AS.
Dia kini berada dalam tahanan thagut Pakistan bersama dengan putrinya dan dua istri Syaikh Usamah lainnya. Menurut klaim pejabat Pakistan, semuanya akan dipulangkan.
Keluarga Amal al-Sada mengatakan bahwa mereka melihat Syaikh Usamah hanya sekali setelah pernikahannya pada tahun 1999-selama kunjungan sebulan ke Afghanistan tahun berikutnya. Komunikasi sebagian besar terbatas pada pesan yang disampaikan oleh kurir.
Wawancara dengan AP yang berlangsung di apartemen keluarga dalam struktur dua lantai yang terbuat dari batu putih, hitam dan merah di ibb, sebuah kota pertanian terletak di pegunungan sekitar 100 mil dari selatan ibukota Yaman, Sanaa. Sebuah toko menempati lantai dasar bangunan itu.
Amal al-Sada selalu memberitahu teman-temannya bahwa ia ingin “turun dalam sejarah”, kenang sepupunya, Hashem Waleed Abdel-Fatah al-Sada.
“Ini masa depan Anda”
Pintu ketenaran dibuka pada tahun 1999 ketika suami kakaknya tiba di rumah pamannya dengan proposal. Seorang Saudi bernama Usamah bin Ladin sedang mencari pengantin. Saat itu bergabung Dr. Mohammad Ghalib al-Baany (kakaknya suami Farah) dan seorang pria bernama Rashed Mohammed Saeed, juga dikenal Abu al-Fedaa. Mereka berdua teman bin Ladin, ujar keluarga itu.
Pamannya, Hashem al-Sada, mengingat, pernah mengatakan kepada Amal al-Sada bahwa ia tahu bin Ladin beradal dari keluarga soleh dan terhormat di Arab Saudi, namun tidak mengenal mereka secara pribadi. Dia mengatakan bahwa ia tidak menyadari bin Ladin merupakan sosok yang “paling diinginkan oleh Amerika”.
“Pilihan berada di tanganmu,” ujar pamannya ketika dia menceritakan. “Ini adalah masa depanmu.”
Dia mengatakan bahwa respon keponakannya itu langsung : “Ini adalah takdir dari Allah dan aku menerimanya.”
Bahwa ia tidak pernah bertemu Syaikh Usamah sebelumnya dan keluarganya berasal dari Yaman, menjadi perhatian kecil. Kebanyakan pernikahan di Yaman dilakukan baik melalui perantara atau memilih pasangan calon melalui foto mereka.
Pernikahan ini tidak berbeda
Seminggu setelah proposal diajukan, paman menandatangani kontrak pernikahan sebagai walinya dan Abu al-Fedaa menandatangani atas nama bin Ladin. Pemimpin Al Qaeda memberikan uang sejumlah 5.000 USD untuk keluarga pengantin, menurut tradisi Yaman.
Setelah dua pesta pernikahan, termasuk satu di sebuah hotel di Sanaa, Amal al-Sada meninggalkan Yaman. Didampingi oleh Abu al-Fedaa, dia terbang ke Dubai dan kemudian ke Pakistan, sebelum melakukan perjalanan ke Afghanistan untuk menemui pengantin prianya.
Ayahnya, Ahmed Abdel Fatah al-Sada, mengatakan mereka kemudian mengetahui melalui kurirnya bahwa ia melahirkan seorang anak perempuan bernama Safiyah.
Kehidupan baru Amal
Anggota keluarga kemudian pergi ke Afghanistan untuk mengunjungi Amal al-Sada dan bayinya. Meskipun mereka mengatakan kunjungan itu terjadi sebelum serangan 911, namun ini merupakan perjalanan yang tidak mudah.
Mereka menghabiskan lebih dari 20 hari di sebuah hotel di ibukota Pakistan, Islamabad, di bawah tatapan waspada para pejuang Al Qaeda yang setia kepada Syaikh Usamah, menurut ayahnya. Di antara mereka adalah dua orang yang telah berada di penerbangan yang sama dari Yaman.
Suatu malam, katanya, mobil membawa mereka ke perbatasan Afghanistan. Kemudian pindah ke kendaraan lain dan melakukan perjalanan selama enam sampai tujuh jam hingga mereka mencapai sebuah tenda besar yang dijaga oleh Mujahidin. Di dalam tenda terdapat lorong terbuka ke bawan tanah. Mereka berjalan selama sekitar 30 menit sebelum muncul sisi lain. Kemudian kendaraan lain membawa mereka ke gua bin Ladin, menurut penghitungannya.
Ayahnya mengatakan ia disambut oleh putrinya. Keesokan paginya bin Ladin tiba bersama dengan para pemimpin Al Qaeda lainnya dan pejabat suku Afghanistan. Ada sebuah perayaan untuk menghormati kedatangan keluarga Yaman, lengkap dengan 21 senjata penghormatan dan makan siang mewah yang dihadiri oleh puluhan orang.
Bin Ladin adalah sosok manusia yang baik dan mulia, ingat ayahnya. Dia menggambarkan pemimpin Al Qaeda sebagai seorang yang santai dan sederhana, “Anda akan merasakan ketulusannya”.
Sang ayah mengingat bahwa bin Ladin meminta maaf atas keterlambatan keluarga di Pakistan, mengatakan itu adalah masalah keamanan di luar kendali.
Pada hari terakhir kunjungan, sepupu al-Sada mengingat bin Ladin mengatakan kepada kedua istrinya yang lain (berasal dari Suriah) bahwa mereka keduanya bisa tinggal dengan dia di Afghanistan atau kembali ke negara asal mereka.
Dia mengatakan Amal al-Sada cepat menyatakan jawabannya. “Saya ingin menjadi martir bersamamu dan saya tidak akan pernah meninggalkanmu selama masih hidup,” ujar Amal al-Sada.
Bahkan saat bin Ladin mengatakan kepada mereka bahwa ia harus tunduk pada setiap aturan sampai ajal menjemput, Amal al-Sada memotong ucapannya : “Saya telah membuat keputusan.”
Sepupu Amal al-Sada menggambarkan bin LAdin sebagai seorang yang mulia yang merawat istrinya dengan baik.
“Ini benar bahwa hidup saya adalah bergerak antara gua-gua di Afghanistan, namun meskipun kepahitan hidup ini, aku nyaman dengan Usamah,” ujar al-Sada kepada ayahnya.
Bin Ladin diyakini telah menghabiskan sebagian besar waktunya selama periode ini di sebuah rumah di kota selatan Afghanistan, Kandahar tetapi diketahui ia telah mengunjungi kamp-kamp pelatihan Al Qaeda di daerah terpencil.
Paman al-Sada mengatakan pemimpin Al Qaeda itu mengeluh tentang pemimpin Arab, khususnya Presiden Sudan, Oman al-Bashir yang menurut Syaikh Usamah telah “menjual dirinya dengan apapun”, yang akhirnya memaksa Syaikh Usamah untuk meninggalkan Sudan dan menuju ke Afghanistan pada tahun 1996.
Menurut paman al-Sada, Syaikh Usamah mengatakan bahwa ia menjadi target pembunuhan oleh Arab dan intelijen AS, termasuk serangan udara dan serangan ke sebuah masjid di mana ia menyampaikan khutbah.
“Aku terluka dan banyak yang tewas,” ujar Syaikh Usamah seperti yang diceritakan paman al-Sada. “Tapi aku terhindar dari kematian karena Allah menginginkannya.”
Sepupu al-Sada mengatakan bahwa selama kunjungan keluarga mereka ke Afghanistan, Syaikh Usamah mengatakan “peristiwa besar akan terjadi di dunia”.
Kemudian ketika sepupu dan ayah al-Sada mendengar berita tentang serangan 911, ayah al-Sada berkata : “Usamah bin Ladin melakukannya”. (haninmazaya/arrahmah.com)