JAKARTA (Arrahmah.com) – Surat elektronik yang sampai pada layar redaksi arrahmah.com menyebutkan sinyalemen dari Harits Abu Ulya -Pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur CIIA, bahwa kuat dugaan istri Kepala BNPT Ansyaad Mbai terlibat bahkan menjadi aktor intelektual aksi-aksi teror paska kekalahan Pilkada. Seperti yang terjadi di Buton Utara (Butur) Sulawesi Tenggara.
Masih ingat dalam pemberitaan 25 Juni 2011, merupakan hari kelam bagi masyarakat Butur. Saat itu terjadi kerusuhan hingga pembakaran Kantor Bupati dan kantor DPRD Butur yang dilakukan sekelompok massa pro wilayah Buranga. Bukan itu saja, mobil pemadam kebakaran yang seyogyanya ingin memadamkan api, justru ikut dibakar massa.
Padahal, beberapa hari sebelumnya, massa pro Buranga itu telah membakar mobil dinas Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) di Desa Ronta Kecamatan Bonegunu. Pertanyaannya di mana aparat kepolisian?
AKBP R Wawan Irawan SH, kepada sejumlah wartawan mengakui saat terjadi aksi pembakaran kantor Bupati Butur, aparat kepolisian ada ditempat. Jelas pernyataan itu melukai perasaan masyarakat Butur. Harusnya, aparat kepolisian bisa menciptakan rasa aman di tengah-tengah masyarakat dan melindungi fasilitas negara, justru hanya menjadi penonton kerusuhan.
Harusnya pembakaran fasilitas negara yang dibangun dengan uang rakyat itu tidak terjadi, andai saja aparat kepolisian bertindak tegas. Apalagi massa yang melakukan pembakaran sejumlah kantor itu hanya berjumlah 100-an orang.
Malah aparat terkesan ada “keberpihakan”,ini terlihat saat iring-iringan kendaraan sekelompok massa itu menuju Kecamatan Kulisusu. Tidak ada upaya aparat kepolisian untuk menghalau massa, padahal jarak antara Buranga ke Kulisusu sekitar 60 kilo meter. Lagi pula ada tiga Polsek yang mesti dilalui, yakni Polsek Bonegunu, Kulisusu Barat dan Kulisusu.
Kejadian itu menimbulkan kecurigaan masyarakat banyak dan dari berbagai pihak yang fokus mengamati kasus ini.Dan kesimpulannya mengarah kepada mantan calon Bupati Butur, Hj. Sumarni Ansaad Mbai sebagai “aktor intelektual”.
Hal itu sangat beralasan, karena ada indikasi kuat; usai melakukan aksi pembakaran, sekelompok massa itu berkumpul di kediaman Hj. Sumarni di Kelurahan Bangkudu, Kecamatan Kulisusu.
Meski itu sudah tercium aparat kepolisian, namun lagi-lagi kasus itu tidak dikembangkan, hanya sampai kepada tiga orang aktor lapangan yang dijadikan tersangka. Bahkan, ketiganya kini sudah menghirup udara bebas setelah menjalani massa hukuman selama 11 bulan.
Inseden 25 Juni 2011 lalu bukan hanya pembakaran sejumlah fasilitas negara, tetapi juga terjadi “perang” antar kelompok pendukung Buranga dan masyarakat Kulisusu. “Perang” itu terjadi hanya beberapa meter dari Kantor Polsek Kulisusu.
Tidak sampai di situ, setahun setelah insiden tersebut, pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati Butur, Ridwan Zakariah dan Harmin Hari kembali di “goyang”. Kali ini dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Butur.
Empat dari lima komisioner, mencabut kembali pleno penetapan pemenang Pilkada pasangan Ridwan Zakariah dan Harmin Hari dan menetapkan pemenang ke dua pasangan Hj. Sumarni (istri Ansyaad Mbai) dan Abu Hasan.
Keputusan KPU Butur itu menuai protes dari berbagai pihak, malah dinilai terlalu jauh melangkah. Pasalnya, tahapan Pilkada sudah lama berakhir, tidak ada calon bupati dan wakil bupati, yang ada adalah bupati/wakil bupati defenitif.
Alasan KPU menetapkan pasangan Hj Sumarni dan Abu Hasan karena salah seorang tim sukses pasangan Ridwan Zakariah-Harmin Hari terbukti secara hukum melakukan money politik sesuai keputusan Pengadilan Negeri Raha.Disisi lain, padahal money politik sudah jadi rahasia umum dilakukan juga oleh calon lainya. Namun keputusan KPU itu dimentahkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari kasus diatas mengajarkan bahwa kepentingan politik opurtunis seseorang juga bisa memicu tindakan terorisme banyak orang. Terorisme yang sesungguhnya membunuh, dan melukai manusia, membakar, dan merusak gedung-gedung dan fasilitas umum. Kekalahan dalam laga Pilkada juga nyata kerap melahirkan dendam politik karena tidak puas dengan beragam alasan.
Jauh berbeda halnya dengan orang-orang yang di cap teroris akhir-akhir ini oleh BNPT (Ansyaad Mbai),mereka belum pernah terbukti melakukan teror dengan meledakkan bom di fasilitas negara atau fasilitas umum. Atau bahkan membakar gedung DPR atau kantor pemerintahan lain.Sangat kontra dengan segerombolan teroris yang melakukan aksi karena kekalahan dalam sebuah laga pilkada.
Haris menilai, seorang Ansyaad Mbai perlu merealisasikan proyek deradikalisasi kepada keluarga besarnya,agar tidak melakukan tindakan kekerasan fisik, anarkisme dan bentuk teror lainya yang jelas-jelas merugikan masyarakat luas.Inilah paradok yang menjadi pekerjaan rumah bagi pribadi Anyaad Mbai.
(azmuttaqin/arrahmah.com)