JAKARTA (Arrahmah.com) – Pernyataan ini disampaikan oleh psikolog sosial Universitas Diponegoro Semarang, Ahmad Mujab Masykur. Menurutnya, istilah itu justru memunculkan sikap empati masyarakat.
“Secara psikologis, istilah itu memicu munculnya empati masyarakat yang besar terhadap KPK yang dianggap sebagai cicak dan berada dalam posisi lebih lemah,” katanya di Semarang, Rabu.
Ia mengemukakan, masyarakat pasti akan menggalang dukungan dan tidak akan membiarkan pihak yang lemah didera permasalahan.
Apalagi, katanya, pihak yang lemah itu dianggap berperan penting seperti halnya KPK yang bertugas memberantas korupsi.
“Masyarakat masih menaruh harapan yang besar terhadap peran KPK sebagai lembaga yang menangani pemberantasan korupsi sehingga mereka tidak bisa terima ketika KPK didera permasalahan,” katanya.
Ia mengatakan, dukungan dari berbagai lapisan masyarakat terhadap KPK pasti akan semakin mengalir dan hal itu wajar mengingat KPK selama ini dianggap sebagai pionir pemberantasan korupsi.
“Masyarakat menempatkan KPK sebagai benteng terakhir upaya pemberantasan korupsi, setelah kasus korupsi terkesan tidak bisa diselesaikan kepolisian dan kejaksaan,” katanya.
Meskipun prestasi KPK memang belum tampak cemerlang, katanya, masyarakat tetap menaruh harapan terhadap KPK untuk pemberantasan korupsi.
Prestasi yang dicapai KPK selama ini, katanya, telah memberikan harapan positif bagi masyarakat terhadap lanjutan upaya pemberantasan korupsi.
Istilah cicak dan buaya, katanya, sebenarnya lahir dari ungkapan emosional yang ditangkap oleh media dan akhirnya memasyarakat.
“Melihat perkembangan kasus yang menimpa pimpinan nonaktif KPK (Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah,red.), masyarakat menjadi semakin yakin dengan kebenaran istilah itu,” katanya.
Padahal, katanya, istilah itu sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak menyehatkan, mengingat saat ini diperlukan sinergi antara tiga lembaga penegak hukum yakni KPK, kepolisian, dan kejaksaan.
“Tiga lembaga itu seharusnya sama-sama menjadi buaya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga istilah itu sebaiknya tidak digunakan lagi,” katanya.
Ia mengemukakan, upaya mengurangi penggunaan istilah itu mungkin bisa dilakukan, namun menghilangkannya sama sekali relatif sulit karena pengaruhnya sudah sedemikian besar di masyarakat.
Kalaupun media massa nantinya sudah tidak lagi menggunakan istilah itu, katanya, masyarakat tidak akan lupa karena banyak media lain seperti kaos dan stiker bertema itu telah beredar di masyarakat saat ini.
“Istilah itu memang menjadi pembangkit semangat masyarakat untuk mendukung KPK, namun di sisi lain justru akan melemahkan kinerja penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi,” katanya. (ant/arrahmah.com)