Oleh: Firas Fahham
(Arrahmah.id) – “Israel meningkatkan agresi militernya di Suriah pada awal April sebagai bagian dari pelanggaran berkelanjutan terhadap wilayah Suriah melalui serangan darat dan udara. Serangan ini disebut sebagai respons atas meningkatnya kerja sama militer antara Ankara dan Damaskus di bawah pemerintahan Suriah yang baru.
Angkatan Udara “Israel” melancarkan serangan besar-besaran yang menyasar Pangkalan Udara Militer Hama, Pangkalan Udara Tifur di pedesaan Homs, dan sejumlah markas militer di Al-Kiswah, Damaskus.
Tak hanya melalui serangan, Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu juga dikabarkan berupaya memengaruhi Presiden AS Donald Trump agar mengambil sikap terhadap Suriah. Isu ini menjadi salah satu agenda utama dalam pertemuan keduanya yang dijadwalkan berlangsung pada 7 April.

Eskalasi dan Pemerintahan Baru Suriah
Eskalasi militer “Israel” ini terjadi hanya beberapa hari setelah terbentuknya kabinet baru Suriah. Pemerintahan ini mencakup berbagai elemen bangsa dan mendapat sambutan positif dari kawasan dan dunia internasional.
Sebelumnya, “Israel” juga menggempur Suriah setelah Konferensi Dialog Nasional yang menegaskan kesatuan wilayah negara dan monopoli negara atas senjata. Serangan dilakukan bersamaan dengan upaya pejabat “Israel” yang meminta komunitas internasional agar tidak mendukung pemerintahan baru Suriah dan justru memperkuat kelompok minoritas.
Militer Suriah menyebut serangan terbaru menyasar jet-jet tempur yang masih aktif digunakan. Serangan ini terjadi setelah jet tempur Suriah kembali aktif di wilayah udara nasional dan seiring dengan penunjukan perwira khusus untuk restrukturisasi militer.
Sumber Reuters menyebut serangan udara “Israel” dilancarkan sebelum rencana pengerahan pasukan Turki ke pangkalan-pangkalan tersebut. Tiga pangkalan udara telah diperiksa oleh ahli militer Turki, sebagai bagian dari implementasi perjanjian pertahanan antara Ankara dan Damaskus.
Media Turki juga melaporkan bahwa Ankara siap memberikan pelatihan dan dukungan industri pertahanan bagi tentara Suriah.
Namun, “Israel” menolak tidak hanya restrukturisasi militer Suriah, tetapi juga keterlibatan militer Turki—terutama di wilayah tengah Suriah. Kehadiran militer Turki di Idlib dan Aleppo tampaknya masih ditoleransi.
Ancaman terhadap Dominasi Udara “Israel”
Kekhawatiran utama “Israel” adalah potensi Turki menempatkan sistem pertahanan udara canggih di wilayah tengah Suriah, yang hanya berjarak sekitar 230 kilometer dari Dataran Tinggi Golan yang diduduki.
Media keamanan “Israel” menilai hal itu dapat membatasi kebebasan operasional Angkatan Udara “Israel” di langit Suriah.
Turki kemungkinan akan menempatkan sistem pertahanan udara HISAR buatan lokal. Sistem ini mampu menghadapi berbagai jenis ancaman termasuk jet tempur, helikopter, drone, rudal jelajah, dan rudal udara-ke-darat, dengan jangkauan hingga 25 kilometer.
Ada juga spekulasi bahwa Turki, melalui koordinasi dengan AS, bisa saja menempatkan sistem rudal S-400 Rusia di Suriah setelah menarik pasukannya. Langkah ini diperkirakan dapat meredakan ketegangan Ankara-Washington dan membuka kembali pintu bagi keterlibatan Turki dalam program F-35 serta penjualan jet F-16.
Ketakutan “Israel” terhadap Kebangkitan Suriah
“Israel” berupaya mencegah kehadiran pasukan pro-pemerintah baru Suriah di selatan negara tersebut. Mereka ingin mempertahankan “langit Suriah yang bersih”, yakni dominasi udara mutlak.
Perjanjian antara Ankara dan Damaskus dikabarkan mencakup pelatihan dan pengadaan senjata bagi militer Suriah baru. “Israel” menilai hal ini berpotensi memperkuat militer yang loyal kepada Ankara dan memicu skenario seperti serangan 7 Oktober di Gaza.
Tak hanya itu, “Israel” juga memandang aktivitas Turki di Suriah sebagai bagian dari ekspansi peran regionalnya. Media Israel Hayom menyebut kekhawatiran terhadap pengaruh Ankara di Azerbaijan, Libya, dan proyek gas Mediterania.
Menlu “Israel” Gideon Sa’ar bahkan menuduh Turki memainkan peran negatif di Lebanon dan Suriah.
Namun sejumlah pengamat meyakini kekhawatiran “Israel” bukan terhadap Turki secara langsung, melainkan terhadap potensi kebangkitan Suriah yang akan menuntut kembalinya Dataran Tinggi Golan.
Sikap Turki dan Respons Internasional
Turki tampaknya tidak ingin terlibat konfrontasi langsung dengan pemerintahan Netanyahu. Menlu Turki Hakan Fidan menyatakan bahwa Ankara tak berniat berkonfrontasi dengan “Israel” di Suriah.
Fidan juga menyampaikan bahwa Turki tidak menentang perjanjian antara Suriah dan “Israel”. Ankara mendukung pemerintahan Suriah baru untuk menguasai seluruh wilayah dan mencegah skenario pemecahan negara.
Diperkirakan, Ankara akan mengoordinasikan langkah-langkahnya di Suriah dengan pemerintahan Trump, menekankan bahwa keterlibatannya bertujuan memerangi ISIS. Turki berharap AS menekan “Israel” agar mengurangi intensitas serangannya.
Pernyataan positif dari Departemen Luar Negeri AS terhadap pemerintahan baru Suriah memperkuat harapan Ankara. Menlu AS Mark Rubio juga sebelumnya menegaskan dukungan penuh atas kedaulatan Suriah dan kerja sama dengan Turki.
Ankara juga bisa memanfaatkan sikap Eropa yang menolak eskalasi. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Kaja Kallas mengecam serangan “Israel” dan menyebutnya tidak perlu, terlebih di tengah proses normalisasi hubungan Turki-Uni Eropa.
Artikel ini diterjemahkan dari Al Jazeera Net, berjudul: “إسرائيل ترفض التواجد العسكري التركي في سوريا.. ما الأسباب؟” (Israel Tarfuḍu at-Tawajjuda al-‘Askari at-Turki fī Sūriyā.. Mā al-Asbāb?) yang berarti: “Israel Menolak Kehadiran Militer Turki di Suriah, Apa Sebabnya?”
(Samirmusa/arrahmah.id)