GAZA (Arrahmah.id) — Seorang sniper tentara Israel telah menembak mati seorang nenek Palestina yang cucunya memegang bendera putih. Itu terjadi ketika nenek dan cucunya itu berusaha lari Kota Gaza ke “zona aman” di wilayah selatan.
Menurut rekaman video yang dipublikasikan Middle East Eye (MEE) (11/1/2024), Hala Rashid Abd al-Ati sedang berjalan bersama beberapa warga Palestina lainnya ketika mereka berusaha melarikan diri dari lingkungan al-Rimal di Kota Gaza pada 12 November.
Saat itu, tangan Hala bergandengan dengan tangan cucunya yang sedang mengibarkan bendera putih.
Menurut video tersebut, ketika Hala melewati jalan raya yang terhubung dengan Jalan al-Wihda, dia ditembak mati dengan satu peluru yang ditembakkan oleh seorang sniper tentara Israel.
Orang yang merekam kejadian tersebut dari gedung terdekat, yang tidak akan disebutkan namanya oleh MEE karena alasan keamanan, terdengar berkata: “Wanita itu tertembak. Para bajingan (pasukan Israel) menembak wanita itu.”
Dalam rekaman itu, seorang pria Palestina dari kelompok tersebut terlihat berlari menuju Hala untuk memeriksa kondisinya, sementara cucu Hala yang berusia lima tahun; Taim, berlari ke arah orang yang lewat untuk mencari keselamatan.
Menurut keluarga korban, peluru tersebut ditembakkan dari area tempat tentara Israel berada. Anggota keluarga Hala yang masih hidup, yang kini tersebar di Jalur Gaza yang dilanda perang, mengatakan kepada MEE bahwa keputusan untuk memilih rute tersebut keluar dari Kota Gaza diambil setelah mereka beberapa kali menjalin hubungan dengan Palang Merah.
Menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan, Palang Merah, bersama dengan beberapa negara regional lainnya dan Amerika Serikat, mulai bekerja sama dengan Israel untuk menciptakan “zona aman” yang memungkinkan warga Palestina berpindah dari Gaza utara ke bagian selatan.
MEE sebelumnya telah melaporkan serangan udara dan tembakan sniper Israel menewaskan sejumlah warga sipil yang enggan menuju apa yang disebut “zona aman” untuk mencapai Gaza selatan setelah diinstruksikan oleh tentara Israel dan pemerintahnya.
Sarah Bassem Khres, salah satu putri Hala, mengatakan kepada MEE bahwa sehari sebelum keluarga mereka meninggalkan rumah, pasukan Israel telah mengepung lingkungan mereka, menempatkan tank dan sniper di daerah pemukiman padat penduduk.
“Kami terbangun karena suara jeritan dan tangisan orang-orang setelah dua jam dikepung oleh tank, kami menelepon Palang Merah untuk membantu kami mencoba mengungsi,” katanya kepada MEE.
“Mereka mengatakan kepada kami bahwa mereka berhenti bekerja di bagian utara Gaza, dan wilayah tempat kami berada telah menjadi medan perang zona merah dan kami harus segera meninggalkan wilayah tersebut.”
Khres mengatakan keluarganya mulai kehilangan harapan ketika tank-tank Israel mendekat tetapi memutuskan untuk menghubungi Palang Merah lagi, yang mengatakan bahwa situasinya menjadi semakin berbahaya dan mereka harus pergi.
Menurut Khres, pada pagi hari terjadinya pembunuhan ibunya, seluruh keluarga bangun dan berdoa bersama ketika suara bom Israel yang menghantam lingkungan mereka semakin intensif.
Hala kemudian membuatkan mereka sarapan sambil duduk dan membaca Al-Qur’an sebelum bersiap berangkat.
Khres mengatakan mereka hanya bersedia keluar ketika tetangga mereka terdengar berteriak dan mendesak warga lain untuk pergi, yang menurut mereka dilakukan mengikuti instruksi dari Palang Merah.
“Sekitar pukul 11.00 terdengar suara sniper dan bom, dan tetangga kami berteriak ‘pergi, pergi’, jadi kami mengambil barang-barang kami, mengibarkan bendera putih dan pergi, sementara pesawat tempur berputar di atas kepala kami dan peluru tajam ditembakkan pada kami secara acak,” katanya.
Menurut Khres, keluarganya kemudian meninggalkan rumah menuju Jalan al-Shaheed Abdel Qader al-Husain ke arah Jalan Omar Bin Abdul Aziz. Khres mengatakan mereka bergabung dengan setidaknya 100 orang lainnya, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.
Menurut Khres, begitu mereka berjalan ke tengah jalan, dia melihat ibunya terjatuh ke tanah disertai suara tembakan.
“Ibu saya sedang menggendong cucunya (putra saudara perempuan saya) yang terjatuh ke tanah saat dia dibunuh,” katanya.
“Saya berteriak memanggil ibu saya…rasanya seperti kami merasakan kematian ribuan kali setiap menitnya,” imbuh dia.
Adik perempuan Khres, Heba, ibu dua anak berusia 28 tahun, mengatakan kepada MEE bahwa keluarga mereka berulang kali diberitahu oleh penduduk setempat lainnya bahwa mereka akan pergi bersama karena mungkin lebih aman.
“Instruksi yang diberikan kepada kami berdasarkan informasi dari Palang Merah. Kami diberitahu akan ada koridor aman di selatan Gaza. Ibu saya sedang menggendong putra saya; Taim,” katanya.
“Saya sedang berada di pintu keluar rumah menunggu suami saya ketika saya mendengar suara tembakan dan jeritan saudara perempuan dan sepupu saya. Mereka terus berteriak ‘kembali dan kembali’, lalu saya melihat tubuh ibu saya yang sudah tak bernyawa,” paparnya.
“Saudara laki-laki saya Mohammed, berusia 22 tahun, mempertaruhkan nyawanya untuk mengambil jenazah ibu saya dari jalan dan membawanya pulang.”
Heba mengatakan bahwa ketika ibunya dibunuh, dia membawa tas roti dan minyak zaitun karena dia tidak yakin berapa lama mereka akan berada jauh dari rumah dan apakah mereka akan menerima makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
Menurut Heba, pembunuhan tersebut telah memisahkan dia dan suaminya Yousef dari putra mereka; Taim, sehingga menambah rasa sakit dan penderitaan yang tak terukur pada nasib mereka.
“Saya sedang mengumpulkan barang-barang di rumah kami dan bersiap untuk pergi ketika saya mendengar teriakan di luar,” kata Yousef kepada MEE.
“Saya tidak mengira itu adalah keluarga kami…Saya keluar untuk mencari Taim dan melihat sebuah tank sangat dekat dengan kami. Ketika saya kembali ke rumah, ibu mertua saya sudah meninggal di dalam dan Taim hilang.”
Setelah pembunuhan tersebut, Taim dibawa ke Nuseirat oleh seorang tetangga dan kemudian ke Rafah di Gaza selatan di mana dia tinggal bersama bibinya. Tidak jelas apakah dan kapan orang tuanya akan bertemu dengannya lagi.
Sepupu Heba dan Sarah, Malak Anwar al-Khatib (18), juga menceritakan kepada MEE saat Hala ditembak mati.
“Setelah dia dibunuh, bibi saya dibawa ke dalam rumahnya dan kami mencoba merawatnya tetapi dia sudah meninggal.
“Kami mendoakan jenazahnya dan menguburkannya di dekat rumah…setelah itu, kami diberitahu bahwa Palang Merah akan membantu kami pergi lagi tetapi kami kehilangan kepercayaan dan tidak siap mengambil risiko lagi bagi keluarga kami.”
Militer Israel belum menanggapi pertanyaan mengenai pembunuhan tersebut, namun sebuah foto yang diterbitkan oleh militer pada hari yang sama dengan kejadian tersebut menunjukkan tank tentara dan sniper ditempatkan di Jalan al-Nasr, jalan yang sejajar dengan rumah Hala.
Foto tersebut juga tampak menunjukkan tentara sedang berada di area perempatan tempat peluru ditembakkan. (hanoum/arrahmah.id)