TEL AVIV (Arrahmah.com) – Dari hasil pemungutan suara yang dilakukan pada hari hari Minggu (10/10/2010), pemerintah Israel memutuskan bahwa siapapun yang hendak menjadi warga negara Israel harus menyatakan sumpah setianya pada “negara Yahudi dan Israel ‘demokratis'”.
Pemimpin minoritas Arab Israel telah mengutuk sumpah naturalisasi ini sebagai kebijakan yang sangat rasis. Menurut mereka, naturalisasi ini tidak bisa diberlakukan untuk orang Yahudi dengan kewarganegaraan secara otomatis karena imigrasi di bawah “Hukum Pengembalian”.
“Siapa pun yang meminta untuk menerima kewarganegaraan Israel melalui naturalisasi harus menyatakan bahwa ia akan menjadi warga yang loyal kepada negara Israel sebagai negara Yahudi dan demokratis,” kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada wartawan, dikutip Reuters pada Minggu (10/10).
“Itulah esensi dari Zionisme dan negara Israel,” katanya sebelum amandemen undang-undang kewarganegaraan negara itu disetujui dalam pemungutan suara dengan perolehan suara 22:8 di kabinetnya.
Undang-undang ini masih harus diratifikasi oleh parlemen untuk menjadi undang-undang.
Beberapa komentator politik mengatakan dukungan Netanyahu, yang dipromosikan melalui mitra koalisi terbesarnya, partai sayap kanan Yisrael Beitenu, kemungkinan ditujukan untuk mengamankan dukungan dari pemimpinnya, Menteri Luar Negeri Avigdor Lieberman, untuk menjamin perundingan ‘damai’ di masa depan dengan Palestina.
Persyaratan untuk bersumpah setia kepada negara Yahudi juga memungkinkan akan menghalangi warga Palestina atau non-Yahudi yang menikahi warga negara Israel untuk memperoleh kewarganegaraan Israel.
“Ini adalah kesalahan besar,” kata Menteri Minoritas Avishay Braverman mengenai undang-undang.
“Di dunia, pendapat publik kebanyakan akan melawan kita. Bahkan lebih dari itu, anda sedang menghasut minoritas Arab. Mengapa? Karena Netanyahu harus menenangkan Lieberman. Ini adalah sebuah kesalahan besar,” ujar Braverman, seorang anggota Partai Buruh, partai kiri di Israel.
Netanyahu telah memaksakan bahwa pengakuan warga Palestina terhadap Israel sebagai negara Yahudi merupakan syarat utama untuk melaksanakan perjanjian ‘damai’ di masa depan. Ini adalah sebuah permintaan yang menuntut para pemimpin Palestina untuk menolaknya. (althaf/arrahmah.com)