Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Konflik antara Israel dan Palestina telah berkecamuk selama beberapa dekade, menyebabkan penderitaan yang tak terhitung bagi kedua belah pihak. Konflik ini melibatkan berbagai isu yang kompleks dan kontroversial, termasuk terorisme negara dan apartheid. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi garis tipis antara terorisme negara dan apartheid di Israel.
Sebelum kita memahami bagaimana terorisme negara dan apartheid berperan dalam konflik Israel-Palestina, penting untuk mengklarifikasi apa arti dari kedua istilah ini. Terorisme negara merujuk pada tindakan teror yang dilakukan oleh suatu negara atau rezim terhadap warganya sendiri atau warga negara negara lain. Sementara itu, apartheid merujuk pada sistem diskriminasi rasial dan politik yang diterapkan oleh suatu negara terhadap kelompok etnis tertentu.
Untuk memahami akar konflik Israel-Palestina, kita perlu melihat konteks sejarah pendirian negara Israel. Setelah berakhirnya Perang Dunia II dan tragedi Holocaust, masyarakat Yahudi di seluruh dunia merasa perlu memiliki negara mereka sendiri. Hal ini memicu gerakan Zionisme yang bertujuan untuk mendirikan negara Yahudi di Tanah Palestina.
Dalam beberapa dekade terakhir, Israel telah dihadapkan pada tuduhan terorisme negara. Beberapa tindakan militer yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina telah menimbulkan kekhawatiran akan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tidak proporsional. Misalnya, operasi militer yang dilakukan di Jalur Gaza pada tahun 2014 menyebabkan banyak korban sipil, termasuk wanita dan anak-anak.
Salah satu contoh yang menyoroti dampak terorisme negara Israel adalah operasi militer di Jalur Gaza pada tahun 2014. Operasi ini, yang dikenal dengan sebutan “Operasi Protective Edge,” menyebabkan ribuan kematian dan luka-luka di antara warga Palestina. Banyak fasilitas sipil, seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah, juga rusak parah selama operasi ini.
Peran Hukum Internasional dalam Mendefinisikan Terorisme Negara dan Apartheid
Hukum internasional memainkan peran penting dalam mendefinisikan terorisme negara dan apartheid. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial mengutuk praktik apartheid dan meminta negara-negara anggota untuk menghentikan dan mencegah praktik semacam itu. Selain itu, Konvensi Jenewa mengatur perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata dan melarang penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh pihak yang terlibat dalam konflik.
Praktik apartheid telah menjadi topik yang kontroversial dalam konteks Israel-Palestina. Beberapa kritikus mengklaim bahwa pemerintah Israel menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap warga Palestina di wilayah yang diduduki. Mereka menunjukkan bahwa akses terbatas terhadap sumber daya, pembatasan pergerakan, dan pemukiman ilegal oleh pendatang Israel di wilayah Palestina merupakan contoh praktik apartheid.
Di wilayah yang diduduki, terdapat berbagai praktik apartheid yang memengaruhi kehidupan sehari-hari warga Palestina. Misalnya, pembangunan pemukiman Israel di wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur telah mengakibatkan pembatasan pergerakan dan akses terhadap sumber daya bagi warga Palestina. Selain itu, pembangunan tembok pemisah yang memisahkan komunitas Palestina dari wilayah Israel juga menjadi penyebab ketegangan dan ketidakadilan.
Reaksi Internasional terhadap Terorisme Negara Israel dan Apartheid
Komunitas internasional telah bereaksi terhadap tuduhan terorisme negara dan apartheid di Israel. Beberapa negara dan organisasi internasional telah mengeluarkan pernyataan resmi dan menerapkan sanksi terhadap Israel sebagai tanggapan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan praktik apartheid yang diduga dilakukan oleh pemerintah Israel.
Konflik Israel-Palestina dan praktik terorisme negara serta apartheid yang terkait dengan Israel telah memiliki dampak yang besar bagi masyarakat Palestina. Mereka menghadapi pembatasan pergerakan, akses terbatas terhadap sumber daya, dan kekerasan yang terus berlanjut. Prospek perdamaian di kawasan ini juga terus terancam oleh ketegangan dan konflik yang belum terselesaikan.
Salah satu isu yang sering diperdebatkan dalam studi tentang terorisme adalah definisi dari terorisme itu sendiri. Kapitan (2003: 47) mengkritik penggunaan kata ‘terorisme’ sebagai istilah yang ambigu, bias, dan manipulatif, yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk mendiskreditkan lawan-lawan mereka. Ia menyarankan agar kita menghindari istilah ‘terorisme’ dan menggunakan istilah-istilah yang lebih spesifik dan netral, seperti ‘serangan bersenjata’, ‘pembunuhan massal’, atau ‘pemboman’. Kapitan juga menekankan pentingnya membedakan antara motif, tujuan, dan metode dari tindakan kekerasan, serta mempertimbangkan konteks sejarah dan politik di mana tindakan tersebut terjadi.
Salah satu contoh dari konteks sejarah dan politik yang relevan dengan studi terorisme adalah kasus Palestina. Suarez (2016) memberikan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa negara Israel telah melakukan berbagai bentuk kekerasan terhadap rakyat Palestina sejak awal pendiriannya, termasuk pembunuhan, penyiksaan, pengusiran, penjarahan, penghancuran, dan penjajahan. Suarez menunjukkan bahwa negara Israel didukung oleh Amerika Serikat, yang memberikan bantuan militer, ekonomi, dan diplomatik yang besar kepada Israel, serta melindungi Israel dari kritik dan sanksi internasional. Suarez menyebut tindakan Israel dan AS sebagai bentuk ‘terorisme negara’, yang mengancam perdamaian dunia.
Kader (2011) juga mengangkat isu terorisme negara dalam konteks Palestina. Ia mengkritik sikap hipokrit AS dan Israel yang menuduh Iran sebagai ancaman nuklir, padahal Israel sendiri memiliki senjata nuklir yang tidak diawasi oleh badan internasional. Ia juga menyoroti peran media Barat dalam menyebarkan propaganda pro-Israel dan anti-Islam, yang mempengaruhi opini publik dunia. Ia mengajak masyarakat dunia untuk bersatu melawan terorisme negara AS-Israel dan mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk kemerdekaan dan keadilan.