RAMALLAH (Arrahmah.id) – Beberapa jam setelah berakhirnya pertemuan Sharm El-Sheikh antara pejabat “Israel” dan Palestina, yang diawasi oleh Mesir dan dihadiri oleh Yordania dan AS, Pasukan Pertahanan “Israel” (IDF) menangkap sejumlah warga Palestina setelah dua pria “Israel” terluka dalam serangan di kota Hawara di Tepi Barat utara pada Ahad (19/3/2023).
Toko-toko di Hawara ditutup karena takut akan serangan balas dendam oleh pemukim “Israel”, dan terjadi gangguan setelah personel IDF dikerahkan di jalanan.
Saat fajar pada Senin (20/3), IDF menyerbu beberapa kota dan desa di Provinsi Jenin, dan mengintensifkan serbuan mereka di sekitar Nablus di Tepi Barat utara.
Polisi “Israel” menangkap beberapa aktivis Palestina di Yerusalem Timur – beberapa hari sebelum dimulainya Ramadhan.
Muin Al-Dumaidi, walikota Hawara, mengatakan kepada Arab News bahwa pasukan “Israel” dikerahkan di dalam kota dan di atap rumah, mencegah pemilik toko membuka toko mereka.
“Penutupan kota akan menghancurkan ekonomi Hawara dan mengusir pemilik toko di sepanjang jalan utama menjelang Ramadhan, sementara perdagangan merupakan mata pencaharian utama penduduk kota,” kata Al-Dumaidi.
Dia mengatakan penutupan itu bertujuan untuk memfasilitasi pergerakan pemukim “Israel” yang melewati kota itu agar tidak terhalang oleh kemacetan lalu lintas.
“Pemilik toko terus menelepon saya, menanyakan kapan kami akan diizinkan membukanya kembali, dan saya tidak punya jawaban,” kata Al-Dumaidi.
Pada 26 Februari, pemukim “Israel” membakar lebih dari 40 rumah dan lebih dari 50 kendaraan di kota itu.
Elisha Yared, juru bicara politisi “Israel”, Limor Son Har Melech, menyerukan agar kota Hawara di Palestina dihancurkan.
“Habisi Hawara sekarang, tanpa permintaan maaf dan keraguan … Selama kami tidak memahami ini, pembunuhan (warga Israel) akan terus berlanjut di jalanan,” tulis Yared di Twitter sebagai tanggapan atas serangan Hawara.
Sementara itu, para pemukim menyerang warga Palestina di berbagai bagian Tepi Barat, seperti Jericho, Ramallah, dan Nablus, menghancurkan jendela kendaraan mereka dan menyerang mereka tanpa intervensi dari IDF atau polisi.
Mereka menggeledah beberapa toko di Kota Tua Hebron, dan menyayat ban kendaraan serta menuliskan slogan-slogan rasis di dinding rumah di Salfit. Sebelumnya pada hari itu, pemukim menghancurkan jendela beberapa mobil di pintu masuk desa Beitin, sebelah timur Ramallah.
Menteri Keamanan Nasional “Israel”, Itamar Ben-Gvir menandatangani keputusan yang melarang stasiun radio resmi Voice of Palestine di Yerusalem pada Senin (20/3), memindahkan menara siarannya. Sumber “Israel” mengatakan bahwa keputusan Ben Gvir datang dalam kerangka memerangi apa yang dia gambarkan sebagai “hasutan Palestina.”
Sementara itu, warga Palestina bereaksi dengan marah atas pernyataan Menteri Keuangan “Israel”, Bezalel Smotrich yang menyangkal keberadaan rakyat Palestina.
Menolak pernyataan ini, Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh berkata: “Kami adalah orang-orang yang memberi Palestina nama dan tanahnya beserta nilai dan statusnya… Kami telah belajar dari sejarah bahwa kolonialisme akan segera berakhir dan bahwa keinginan dan kepemilikan rakyat kami tidak terguncang oleh pernyataan para pemalsu sejarah dan klaim palsu mereka.”
Secara terpisah, parlemen “Israel”, Knesset, akan memberikan suara pada RUU untuk membatalkan undang-undang “pelepasan” di Tepi Barat yang diduduki, yang memungkinkan kembalinya permukiman yang dievakuasi “Israel” pada 2005 di Tepi Barat utara.
Media “Israel” melaporkan bahwa Komite Legislatif di Knesset mengubah kata-kata proposal untuk memastikan bahwa itu tidak berlaku untuk permukiman yang dievakuasi di Jalur Gaza pada 2005.
Sementara itu, warga Palestina di Tepi Barat mengatakan mereka tidak mengharapkan adanya perubahan dalam hidup mereka setelah KTT Sharm El-Sheikh pada Ahad (19/3), mereka yakin “Israel”tidak akan memenuhi janji atau kesepakatan apapun yang telah disepakati.
Analis politik Riyad Qadriya mengatakan kepada Arab News bahwa dia mengesampingkan penerapan salah satu kesepakatan keamanan Sharm El-Sheikh pada Ahad (19/3), baik oleh “Israel” ataupun Otoritas Palestina.
“Tidak mungkin menerapkan ketentuan keamanan dari kesepakatan Sharm El-Sheikh tanpa menyerahkan semua Area A kepada keamanan Palestina,” kata Qadriya. (zarahamala/arrahmah.id)