Sebuah buldoser “Israel” menghancurkan rumah Mohammed Khalil al-Najjar, mendorong puing-puing bangunan melalui dapur. Puluhan tentara “Israel” kemudian memasuki rumahnya, banyak dari mereka bertopeng, bergerak dari kamar ke kamar dengan senjata di tangan.
“Kami adalah 14 anggota keluarga di dalam rumah ini, semua wanita sipil dan anak-anak, serta dua anak laki-laki saya,” ujar al-Najjar berteriak kepada komandan militer dalam bahasa Ibrani, bahasa yang ia kuasai lebih dari 30 tahun setelah bekerja sebagai buruh bangunan di “Israel”.
“Saya telah membangun di ‘Israel’ lebih dari Anda,” tambahnya saat tentara mengabaikan permintaannya.
“Saya ingin memberikan keamanan untuk 14 anggota keluarga saya,” ujar pria berusia 57 tahun tersebut kepada par atentara, empat jam setelah mereka pertama kali memasuki rumahnya. Beberapa saat kemudian, al-Najjar mengatakan kepada Al Jazeera, tentara “Israel” menggunakan keluarganya sebagai perisai manusia, berjalan di belakang mereka melalui jalan-jalan di Khuza’a, sebuah kota kecil di selatan Gaza.
Para tentara tersebut memerintahkan al-Najjar untuk membawa para perempuan dan pergi ke Khan Younis, Rafah atau kemana saja.
Al-Najjar kembali ke rumahnya selama gencatan senjata yang berakhir pada Jum’at lalu. Pasukan Zionis telah menggeledah rumahnya dan mengancurkan semua furnitur dan harta benda keluarga.
Menurut laporan PBB, sedikitnya 1.922 warga Palestina telah gugur dan 9.806 lainnya terluka sejak operasi militer oleh “Israel” di Jalur Gaza pada 8 Juli hingga hari ini.
Militer Zionis melancarkan serangan darat di Khuza’a, sebuah kota dengan penduduk sekitar 10.000 orang yang berlokasi di dekat Khan Younis, tidak jauh dari perbatasan dengan “Israel”, pada 23 Juli lalu.
Selama serangan brutal tersebut, tentara menembak dan menewaskan puluhan warga sipil, kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan pelanggaran yang jelas dari hukum perang.
Tentara “Israel” dilaporkan memperingatkan warga Khuza’a untuk meninggalkan daerah itu, namun banyak warga yang terjebak di kota karena serangan berat “Israel”. Serangan udara menghantam banyak rumah penduduk dan menghancurkan masjid setempat. Tim medis mencoba mengevakuasi korban terluka dan mengangkat jenazah dari Khuza’a di bawah serangan berat pasukan Zionis.
“Peringatan keluarga untuk melarikan diri tidak serta-merta bisa menjadikan mereka target, karena para warga tidak bisa melakukannya dan sengaja menyerang mereka adalah kejahatan perang,” ujar direktur Human Rights Watch Sarah Leah Whitson.
Kantor juru bicara “Israel” mengatakan kepada Al Jazeera melalui email bahwa pihaknya tidak bisa mengomentari peristiwa tertentu yang terjadi selama operasi di Gaza.
Jaber Wishah, wakil direktur Pusat Palestina untuk Hak Asasi Manusia (PCHR) di Gaza mengungjungi Khuza’a setelah invasi darat “Israel” dan berbicara dengan tiga keluarga di sana.
Dia mengatakan bahwa menurut temuan PCHR, tentara “Israel” memerintahkan warg auntuk meninggalkan rumah mereka dan memaksa mereka untuk melewati sebuah pos pemeriksaan militer sebelum mengizinkan mereka untuk meninggalkan daerah tersebut.
Antara 70-100 warga ditangkap di pos pemeriksaan ini, ujar Wishah dan dipindahkan ke pusat interogasi.
“Ke depan, komite penyelidikan akan dengan mudah menemukan verifikasi yang tidak hanya kejahatan perang, namun kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis. Itu dilakukan tanpa pandang bulu,” lanjut Wishah.
Tentara Zionis menangkap dua anak al-Najjar, Baker dan Saad bersama dengan dua sepupu mereka. HRW memperkirakan bahwa sekitar 100 warga Palestina dari Khuza’a ditangkap pada tanggal 23 Juli, sebagian besar dari mereka adalah anak laki-laki dan laki-laki berusia di atas 15 tahun.
Pasukan “Israel” memaksa seorang imam Masjid di bawah todongan senjata untuk mengumumkan melalui pengeras suara : “Serahkan diri ke tentara ‘Israel’ dan kalian akan aman”.
“Mereka memaksa kami untuk duduk di tanah di bawah teriknya matahari selama sekitar satu jam,” kenang Baker (29).
Para tentara membawa orang-orang dari Khuza’a untuk tujuan yang tidak diketahui dan mereka diborgol serta ditutup matanya selama lima hari.
Baker mengatakan kepada Al Jazeera bahwa salah satu tentara berteriak : “Duduk di atas pantatmu atau aku akan menembakmu” dan ia dipaksa untuk duduk di atas pasir panas dengan tubuh bagian bawah telanjang.
Saudaranya Saad dipaksa duduk di trotoar panas. “Malam dingin, kami telanjang dan hanya mengenakan pakaian dalam kami,” ujar Saad (23).
“Setiap malam, selama lima malam, kami tidur dengan posisi duduk. Mereka membangunkan kami dua sampai tiga kali setiap malam. Kami diborgol selama 24 jam,” tambah Saad.
Mereka akhirnya dibebaskan dari tahanan “Israel” dan diturunkan di persimpangan Erez, di Jalur Gaza Utara. Dari sana, mereka dijemput oleh Komite Palang Merah Internasional dan kembali ke Khan Younis. Dua sepupu mereka tetap hilang dan keluarga masih belum menerima informasi tentang keberadaannya.
Baker yang berencana menikah dalam waktu dekat, mengatakan bahwa ia telah kehilangan banyak hal, dari rumahnya yang telah hancur di Khuza’a bahkan hingga tabungan berjumlah 2.000 USD yang disimpan di dalam rumahnya untuk biaya pernikahan telah dicuri oleh tentara “Israel”. (haninmazaya/arrahmah.com)