TEL AVIV (Arrahmah.com) – Para pemimpin Israel yang waspada terhadap kemungkinan yang muncul pasca jatuhnya Presiden Suriah Bashar al-Assad, telah meredam kritik mereka terhadap kekerasan berdarah yang dilakukan pasukannya terhadap para demonstran.
Meskipun masih terdapat sengketa antara kedua negara yang bertetangga soal Dataran Tinggi Golan, sebuah wilayah perbatasan yang direbut Israel selama perang Enam Hari pada 1967 dan kemudian dianeksasi oleh negara Yahudi itu, namun Israel-Suriah telah banyak diam sejak perang Yom Kippur tahun 1973.
Meski Israel dan Suriah tidak pernah secara resmi berdamai, para pejabat Israel telah banyak mendiamkan sikap Assad yang otoriter, seperti perlakuan negara zionis itu terhadap ayah Assad. Hal ini dilakukan karena pemimpin Suriah merupakan penjamin status quo bagi Israel di wilayah perbatasan.
Sementara kekerasan di Suriah telah memicu kecaman internasional, para pemimpin Israel lebih memilih diam dan enggan menyerang Assad secara langsung.
“Kami melihat pembantaian tentara Suriah terhadap rakyatnya sendiri,” kata Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada pertemuan kabinet pada hari Minggu lalu. “Kami juga telah melihat peristiwa berdarah serupa di wilayah kami. Banyak pemimpin yang tidak punya rasa bersalah karena membunuh tetangga mereka dan juga membunuh rakyat mereka sendiri.”
Lebih dari 6.000 orang tewas sejak awal pemberontakan terjadi di Suriah pada pertengahan Maret 2011, menurut aktivis Suriah.
Namun para pejabat takut jika Assad yang jatuh dari kekuasaan, senjata rezimnya itu bisa jatuh ke tangan kelompok ‘militan’, termasuk Hizbullah yang didukung oleh Lebanon dan Iran.
Israel dan Amerika Serikat menduga Damaskus memiliki gudang senjata kimia dan biologis.
Dan pada tahun 2007, angkatan udara Israel menghancurkan fasilitas nuklir yang dibangun oleh Suriah dengan bantuan Korea Utara. (althaf/arrahmah.com)